Dua orang sahabat yang terbiasa bersama baru menyadari kalau mereka telah jatuh cinta pada sahabat sendiri setelah jarak memisahkan. Namun, terlambat kah untuk mengakui perasan ketika hubungan mereka sudah tak seperti dulu lagi? Menjauh tanpa penjelasan, salah paham yang berakibat fatal. Setelah sekian tahun akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Akankah mereka bersama setelah semua salah paham berakhir?
Ikuti lika-liku perjalanan dua sahabat yang manis dalam menggapai cinta dan cita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EuRo40, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Angga melirik Ana yang sedang melihat layar ponselnya. “Siapa? Kenapa nggak diangkat?” tanya Angga.
“Bukan siapa-siapa, nggak penting,” jawab Ana sambil tersenyum canggung.
“Oh, An, apa lo punya pacar?” tanya Angga.
“Hah!” Ana terkejut Angga menanyakan hal itu.
Bukan saja Ana, Angga sendiri terkejut. Saking merasa gugup dia asal bertanya karena bingung ingin mengontrol apa. Sekarang ia takut mendengar jawaban Ana. Ia takut jawaban Ana akan membuatnya patah hati.
“Eh, nggak usah dijawab. Maaf, itu urusan pribadi. Kamu masih suka nonton drakor?” tanya Angga mengalihkan topik.
Dalam hati Ana merasa lega karena Angga membahas hal lain. Ia belum siap Angga tahu ia memiliki kekasih lalu menjauh. Padahal ia berpacaran dengan Galang untuk melupakan Angga.
“Udah nggak sesering dulu, sih, sekarang pusing sama tugas kuliah,” jawab Ana.
“Iya, kuliah beda dengan zaman SMA. Santai dikit kita langsung ketinggalan banyak,” ucap Angga sambil melirik ke arah Ana. Ingin rasanya ia memakaikan jaket yang dipakainya pada Ana, agar tidak kedinginan, tapi ia takut ditolak Ana.
“Memangnya di sana juga sama?” tanya Ana menatap Angga.
“Ya, sama aja. Lebih padat malah.”
Angga melihat Ana memeluk dirinya sendiri sambil mengusap-usap lengannya. Angga tak tahan lagi, ia lalu membuka jaket kemudian memasangkan jaket tersebut di bahu Ana.
“Eh, nggak usah Ga, nanti lo kedinginan.” Ana menolaknya.
“Nggak, gue pakai baju dobel. Lo pakai aja. Nanti sakit.”
Ana lalu melepaskan jaket yang menutup bahu kemudian memakai jaket itu. “Makasih, ya, Ga,” ucap Ana tersenyum lembut.
Angga tersenyum membalas ucapan Ana. Senyum Ana terlihat sangat cantik. Senyum yang ia rindukan. Kini Ana ada di hadapannya, tetapi ia tidak bisa dekat seperti dulu.
Hujan pun telah berhenti, Angga mengajak Ana pulang. Sesampainya di depan rumah Ana. Gadis itu turun membuka helm dan ingin membuka jaket yang dipakainya, tetapi Angga melarang. “Pakai aja dulu, nggak enak dibuka di sini,” ucap Angga sambil menaruh helm dari Ana.
“Oh, oke. Pasti lo pengen di cuci dulu ‘kan sebelum dipulangin? Nggak enak, ya kalau bekas orang?” tanya Ana, tak jadi membuka jaketnya.
“Bukan gitu, nggak usah di cuci. Nggak dipulangin juga nggak apa-apa.” Angga dengan cepat membantah. Memang bukan itu maksudnya.
Ana terkekeh, ia hanya bercanda saja pada Angga. “Gue, bercanda kok, Ga.”
Ana tak sengaja melirik ke seberang jalan dan di sana ia melihat Galang sedang duduk di atas motornya. Ana langsung merasa gelisah bola matanya bergerak cepat ke arah Galang dan Angga.
“Eh, Ga, lo masuk dulu, gih! Pasti lo kedinginan, tadi nggak pakai jaket atau lo mau mampir dulu, gue bikinin minuman hangat.” Dalam hati Ana berdoa semoga Angga menolak. Ia takut Galang datang menghampiri.
“Nggak, deh. Makasih. Gue pulang aja. Lo juga istirahat, ya,” ucap Angga.
Ana bernapas lega.
“Iya, Ga, dah.”
Angga menyalakan motornya. “An, nanti malam boleh nggak gue telepon lo?” tanya Angga.
Ana yang sedang mencuri lirik pada Galang tersentak. “Ah, boleh, boleh. Telepon aja,” jawab Ana sambil tersenyum.
Angga mengangguk kemudian melaju pelan ke rumahnya. Angga melirik Ana sebelum masuk ke dalam rumahnya. Ana melambaikan tangannya sambil tersenyum.
Setelah Angga tak terlihat lagi. Ana segera berlari ke seberang jalan. “Galang! Ngapain di sini?” tanya Ana langsung.
“Kenapa? Siapa tadi? Kenapa telepon gue nggak diangkat? Sengaja? Nggak mau keganggu waktu berduaan sama selingkuhan?” Galang memberondong Ana dengan berbagai pertanyaan. Sifat posesifnya adalah salah satu yang tidak Ana sukai.
“Kamu apa-apaan, sih? Kalau nanya itu satu-satu. Lagian siapa yang selingkuh, sih? Dia itu sahabat gue yang baru datang liburan kuliah. Dia kuliah di luar negeri. Rumahnya aja deketan gitu. Kita sahabatan dari kecil, dan masalah HP, dayanya abis. HP nya mati,” Ana menjawab dengan sedikit ketus.
Mata Galang fokus pada jaket yang dipakai Ana. “Itu jaket dia, ‘kan?” tanyanya menunjuk dengan dagu.
“Iya, kan tadi ujan. Gue kedinginan, dia kasih jaketnya. Emang kenapa?” Ana bersikap lugu seolah tidak paham maksud dari Galang.
“Aku nggak suka kamu pakai barang dari orang lain. Sini jaketnya, biar aku yang pulangin!” Galang berkata dengan tegas.
“Apa, sih. Lang? Kamu jangan begitu, ya. Lagian jaket ini nggak berarti apa-apa, dia cuma pinjemin doang!”
“Tetap aja aku nggak suka!” Galang berteriak marah. Ia tak suka perkataannya dibantah.
Ana juga menjadi terpancing emosi. Ia tak suka dibentak. “Aku nggak suka sama kamu yang kayak gini. Cemburu kamu itu keterlaluan. Posesif! Aku nggak boleh punya teman cowok. Asal kamu tahu, Angga dan aku udah lebih dulu dekat sebelum kamu. Kami cuma sahabatan, terserah kamu mau bilang apa, aku nggak mau dikekang dan diatur harus berteman dengan siapa, aku capek sama kamu!” Bola mata Ana membesar, napasnya terengah.
“Oh, jadi kamu capek sama aku? Oke, kalau begitu aku pulang, kamu istirahat aja dulu. Silakan senang-senang dengan sahabatmu itu!” Galang berteriak di akhir kalimat lalu menyalakan motornya. Ia langsung melajukan motor dengan kencang meninggalkan rumah Ana.
Sedangkan Ana tak ingin mencegah Galang. Menurutnya mereka memang butuh waktu sendiri-sendiri dulu untuk menenangkan diri. Selepas kepergian Galang, Ana berjalan ke rumahnya. Ia tak menyadari jika Angga melihat semua perdebatan itu.
***
Malamnya setelah makan malam, Angga menelepon Ana. Ia mencoba untuk mendekatkan diri lagi pada Ana agar hubungan mereka bisa dekat seperti dulu. Bahkan lebih dekat lagi.
Namun, di antara mereka tidak ada yang membahas kesalahpahaman masa lalu mungkin mereka hanya tak ingin membuat suasana canggung dan jauh seperti dulu. Jadi, lebih baik anggap semua tidak terjadi.
Sesungguhnya mereka hanya sedang mengulur waktu masalah yang akan semakin besar. Bak sebuah bom yang bisa meledak kapan saja, tinggal menunggu sumbunya terbakar.
“An, lagi ngapain?” tanya Angga pada Ana.
“Baru beres ngerjain tugas, kenapa, Ga?” tanya Ana di sana.
“Mau nggak kita beli martabak, udah lama gue ngak makan matabak.” Angga berharap Ana mau.
“Emang, Lo, nggak capek?” tanya Ana.
“Nggak kok, mau ya? Gue ke sana sekarang.” Angga sedikit memaksa.
“Oke, gue tunggu.”
Sambungan telepon lalu terputus. Ana melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Beruntung ponsel tersebut mendarat dengan sempurna.
Ana bergegas membuka lemari bajunya. Ia menatap ke arah pakaian yang tertata rapi. “Gue pakai baju yang mana, ya?” tanyanya pada diri sendiri.
Satu per satu yang menurutnya bagus ia coba di depan cermin tanpa memakainya. “Aduh, yang mana? Ini atau ini?” Ana melempar ke tempat tidur yang menurutnya tidak cocok.
Pakaian sudah berserakan di atas tempat tidur, tetapi belum satu pun yang terpilih. Ia melirik pada jam di dinding, sudah sepuluh menit berlalu. “Argh, nggak ada waktu. Yang mana aja lah!”
Mata Ana menangkap sebuah celana Levis hitam, ingatannya langsung tertuju pada sebuah hoodie yang kembaran dengan Angga. Akhirnya ia mengambil itu lalu melesat ke kamar mandi.
Sementara itu, di rumah Angga. Lelaki itu akan berangkat ketika ia kedatangan tamu seorang gadis, teman kuliahnya. Mereka memang pulang bersama.
“Ga, aku ganggu tidak?” tanya Gadis itu.
“Nggak, kok. Lo, sama siapa? Kenapa nggak telepon kalau mau datang? Nyasar nggak?”
“Aku diantar sama sepupu. Mau bikin surprise aja. Tidak nyasar, kok!” ucap gadis bernama Anya. Gadis itu blasteran Inggris dan Indonesia. Ia tinggal di luar negeri ikut papanya yang bekerja di kedutaan.
“Oh, silakan duduk. Sebentar aku panggil orang tuaku, dulu ya.”
...----------------...