Alena: My Beloved Vampire
Sejak seratus tahun yang lalu, dunia percaya bahwa vampir telah punah. Sejarah dan kejayaan mereka terkubur bersama legenda kelam tentang perang besar yang melibatkan manusia, vampir, dan Lycan yang terjadi 200 tahun yang lalu.
Di sebuah gua di dalam hutan, Alberd tak sengaja membuka segel yang membangunkan Alena, vampir murni terakhir yang telah tertidur selama satu abad. Alena yang membawa kenangan masa lalu kelam akan kehancuran seluruh keluarganya meyakini bahwa Alberd adalah seseorang yang akan merubah takdir, lalu perlahan menumbuhkan perasaan cinta diantara mereka.
Namun, bayang-bayang bahaya mulai mendekat. Sisa-sisa organisasi pemburu vampir yang dulu berjaya kini kembali menunjukan dirinya, mengincar Alena sebagai simbol terakhir dari ras yang mereka ingin musnahkan.
Dapatkah mereka bertahan melawan kegelapan dan bahaya yang mengancam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syafar JJY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Ulang Tahun Nina
Chapter 54: Hadiah Pulang Kerja
Di rumah keluarga Reinhard, jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Di ruang tamu yang diterangi sinar matahari senja, Alena duduk sendiri di sofa, jemarinya sesekali menggulir layar ponsel. Namun, pikirannya melayang, menunggu sesuatu..atau seseorang.
"Ting... nung...!"
Suara bel pintu memecah kesunyian. Wajah Alena seketika berbinar, senyum lembut mengembang di bibirnya. Ia meletakkan ponselnya dan bergegas membuka pintu.
Di sana, Alberd berdiri dengan kemeja sedikit kusut, dasi yang longgar, dan ekspresi lelah yang tertutupi senyum hangatnya.
"Sayang, aku pulang..." suaranya terdengar berat, tetapi penuh kerinduan.
"Selamat datang, sayang..." Alena membalasnya dengan nada lembut, matanya menatap dalam seakan menyerap kehadiran suaminya.
Mereka berpelukan sejenak..
"Kamu sendiri?" tanya Alena, memastikan.
Alberd mengangguk seraya melepas sepatu.
"Ayah masih di kantor, masih ada urusan yang harus diselesaikan."
Begitu mereka masuk ke dalam, Alberd meletakkan tasnya di sofa.
"Di mana ibu dan Nina?" tanyanya seraya merenggangkan otot bahunya.
Alena mendekat, tangannya terulur melepas dasi Alberd dengan gerakan anggun.
"Mereka di dapur. Ibu melarangku membantu dan menyuruhku menunggumu pulang."
Alberd tersenyum kecil lalu duduk disofa.
"Aku akan mengambil minum.." ucap Alena.
Ia hendak menanggapi, tapi Alena berbalik, berniat menuju dapur.
Namun, sebelum sempat melangkah, Alberd menarik tangannya dengan lembut, menariknya ke dalam dekapan. Alena terkejut sesaat, tubuhnya jatuh ke dalam pelukan suaminya.
"Ah... Sayang, kamu..."
Alberd tidak menjawab. Ia hanya merangkul erat pinggang istrinya, lalu membenamkan wajahnya di dada Alena.
"Aku merindukanmu..." bisiknya pelan. "Bukankah sudah kukatakan? Aku merindukanmu setiap detik..."
Alena tersenyum, jari-jarinya menyusuri rambut Alberd, membelainya dengan kelembutan yang hanya dimiliki seorang istri.
"Aku di sini..." balasnya pelan.
Alberd mendongak, matanya bertemu dengan mata istrinya. Ada sesuatu di sana, rindu yang tak terkatakan, hasrat yang tertahan. Tatapannya turun ke bibir Alena yang merah merekah, tampak basah di bawah cahaya senja.
"Aku tidak butuh air minum..." bisiknya. "Aku hanya butuh... ini."
Sebelum Alena sempat memahami maksudnya, Alberd sudah menutup jarak, bibirnya menyapu bibir Alena dengan lembut.
Alena sempat terkejut, tetapi tidak menolak. Bibirnya merespons, menerima sentuhan suaminya dengan kehangatan yang dalam. Tangannya mulai merangkul erat punggung suaminya seraya memejamkan mata. Ciuman itu berawal lembut, namun perlahan menjadi lebih dalam.
Alena tanpa sadar mendorong Alberd ke sofa, tubuhnya menindih suaminya. Alberd menariknya semakin dekat, satu tangannya membelai punggungnya, sementara yang lain menahan tengkuknya.
Tenggorokannya naik turun seperti sedang menenggak sesuatu..
Waktu terasa melambat. Napas mereka bercampur, lidah mereka menari dalam keheningan yang penuh gairah.
Satu menit... dua menit... tiga menit...
Saat akhirnya bibir mereka berpisah, Alena menatap suaminya yang masih terbaring, matanya dipenuhi kasih sayang.
Alberd menelan ludah, lalu tersenyum kecil.
"Manis sekali... Apa ini? sepertinya aku pernah merasakan sebelumnya"
Alena mengusap bibirnya dengan ujung jari, lalu tersenyum samar.
"Itu liur vampir... Rasanya memang manis. Selain itu, juga bisa memulihkan stamina dan menghilangkan rasa lelah."
Alena lalu menambahkan,
"Sebelumnya kamu tidak menyadari karena terbawa suasana.."
Alberd mengerjap, matanya berbinar. "Pantas saja tubuhku terasa lebih segar..." Ia bangkit perlahan, mendekatkan wajahnya lagi.
"Kalau begitu, aku mau lagi..."
Alena terkikik kecil.
"Tentu saja tidak masalah..."
Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Alberd, lalu berbisik lembut,
"...tapi tidak sekarang."
Alberd mengerutkan kening, sedikit kecewa. "Kenapa?"
Alena menelusuri wajah suaminya dengan jemarinya, menatapnya dalam. "Liur vampir selain menyegarkan tubuh, juga bisa meningkatkan hasrat... Jika terlalu banyak, efeknya bisa... berlebihan."
Alberd terdiam sejenak, lalu menghela napas, bersandar di sofa. Ekspresi kecewanya begitu jelas hingga Alena terkikik.
Ia kemudian menarik kepala Alberd ke dadanya, membelainya dengan lembut, seolah menenangkan seorang anak kecil.
"Tapi nanti malam..." Alena berbisik, suaranya terdengar menggoda.
"Istrimu berjanji akan memuaskanmu."
Alberd mendesah pelan, lalu tertawa kecil. "Aku akan menagihnya."
Setelah beberapa saat, Alberd menegakkan punggungnya.
"Dua hari lagi ulang tahun Nina. Menurutmu, hadiah apa yang cocok untuknya?"
Alena tersenyum.
"Aku juga sedang memikirkannya."
Alberd mengusap dagunya, berpikir. "Dia suka boneka dan novel fantasi. Bagaimana kalau kita masing-masing memberikannya satu? Aku boneka, kamu novel?"
Alena mengangguk. "Ide bagus."
Alberd menghela napas pelan.
"Dia mengalami banyak hal akhir-akhir ini... Semua ini terlalu berat untuknya."
Alena menggenggam tangan Alberd. "Ya... Tapi dia sangat kuat. Aku bangga padanya."
Alberd mengangguk.
"Aku juga terkejut mengetahui dia bisa mengalahkan penjahat... Dia seperti orang yang berbeda dibanding dulu."
Alena tersenyum tipis.
"Dibandingkan dengan apa yang telah dia lalui, menghadapi satu orang bukanlah apa-apa. Dia sudah tumbuh begitu banyak."
Saat itu, langkah kaki terdengar dari arah dapur. Tak lama, Nina muncul di ruang tamu.
"Kakak..." panggilnya.
Ia langsung duduk di antara Alberd dan Alena, tubuhnya tampak sedikit lelah setelah memasak.
Alena tersenyum seraya mengusap kepala Nina dengan lembut.
"Dua hari lagi ulang tahunku... Ibu dan ayah setuju untuk mengadakan pesta barbeque lagi." Nina tersenyum, tetapi senyumnya perlahan memudar. "Sebelumnya, pesta kita hancur... Jadi kali ini, aku ingin kita membuatnya lebih baik."
Alena menatap adiknya dengan lembut, lalu memeluknya.
"Kali ini tidak akan ada masalah, sayang. Kakak janji."
Alberd mengusap kepala Nina.
"Ya, kali ini akan menjadi ulang tahun terindah untukmu."
Nina mengangguk. "Terima kasih, Kak..."
Tiba-tiba, dia menatap Alena dengan penuh harap.
"Kak.. boleh aku memesan hadiah?"
Alena mengangguk tersenyum.
"Katakan saja, kakak akan memberikan apa pun yang kamu mau."
Nina mengangkat wajahnya, matanya berbinar.
"Aku ingin kakak membawaku terbang... Bolehkah?"
Alena terkekeh pelan.
"Tentu. Itu tidak masalah."
Nina langsung tersenyum antusias. "Terima kasih, Kak!"
Di bawah sinar senja, ruang tamu terasa hangat oleh tawa dan kebersamaan mereka. Dua hari lagi, mereka akan menciptakan kenangan yang lebih indah bersama.
Chapter 55: Perayaan Untuk Nina
Malam itu, halaman belakang rumah keluarga Reinhard dipenuhi cahaya hangat dari api unggun yang menyala lembut. Bulan sabit menggantung di langit, dikelilingi bintang-bintang yang berkelip seolah turut merayakan kebahagiaan malam ini. Angin sejuk berembus, membawa aroma daging barbeque yang terpanggang sempurna di atas pemanggang.
Di sekitar api unggun, suara tawa dan obrolan mengalir tanpa henti. Semua anggota keluarga Reinhard berkumpul di sana, merayakan ulang tahun Nina dengan penuh sukacita. Grinfol, Stefani, Alberd, dan Alena duduk bersama, ditemani Bibi Venny Benatta Reinhard dan putrinya, Jeane Sielsa Benatta. Mereka menikmati malam yang penuh kebersamaan, setelah sekian lama melewati hari-hari yang penuh ketegangan.
Di dekat pemanggang, Nina dengan cekatan menyiramkan saus ke daging panggangnya, matanya berbinar penuh semangat.
"Bibi, Jeane, terima kasih sudah datang," ucapnya dengan senyum manis.
Venny tersenyum hangat, lalu membelai kepala Nina dengan lembut. "Tentu saja, sayang. Kami tak mungkin melewatkan hari spesialmu."
Ia lalu mengeluarkan dua kotak kado dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepada Nina. Jeane, yang berdiri di samping ibunya, juga ikut mengulurkan sebuah kotak kado dengan wajah sedikit malu-malu.
"Ini dariku, Kak Nina," katanya dengan senyum kecil.
Nina dengan penuh antusias membuka kado dari Jeane terlebih dahulu. Begitu melihat isinya, matanya berbinar kagum. "Wah… gelang ini cantik sekali! Terima kasih, Jeane!"
Jeane tersenyum senang, merasa hadiah kecilnya dihargai.
Kemudian Nina membuka kado dari Bibinya, dan begitu melihat sepasang anting berkilauan di dalamnya, ia langsung menatap Venny dengan mata berbinar. "Bibi… ini indah sekali. Terima kasih!" serunya sambil memeluk wanita itu dengan penuh rasa syukur.
Venny tertawa kecil, membalas pelukan Nina. "Sama-sama, sayang. Bibi senang kau menyukainya."
Saat itu, Alberd dan Alena mendekat. Alena membawa dua kotak kado di tangannya, sementara Alberd dengan ekspresi sedikit panik berusaha menyelamatkan barbeque milik Nina yang hampir gosong.
"Nina," panggil Alena dengan suara lembut. "Ini hadiah dariku dan kakakmu."
Nina menerima kado dari Alena dengan penuh antusias, nyaris tak bisa menahan senyum bahagianya.
Stefani pun ikut maju, menyerahkan dua kotak kado lagi. "Ini juga dari ibu dan ayah," katanya dengan senyum penuh kasih.
Sekarang tangan Nina penuh dengan kotak-kotak kado, membuatnya sedikit kewalahan. Tapi wajahnya sama sekali tak menunjukkan keluhan, sebaliknya ia terlihat sangat bersemangat.
Ia menatap Alena, lalu ibunya. "Terima kasih… kakak, ibu, ayah… semuanya…"
Nina menarik napas dalam, menatap orang-orang yang ia sayangi berkumpul di sekelilingnya. Hatinya terasa begitu hangat. "Aku benar-benar sangat senang hari ini. Ini adalah ulang tahun terbaikku."
Semua orang tersenyum mendengar itu.
"Aku akan membuka semua kadonya nanti," lanjut Nina dengan tawa kecil. "Untuk sekarang… aku harus menyelamatkan barbeque-ku!"
Alberd tertawa kecil, lalu menyodorkan piring berisi daging panggang yang setengah gosong ke adiknya. "Terlambat. Lihatlah barbeque-mu ini, seperti habis bertempur di medan perang."
Nina tertawa mendengar candaan Alberd. Namun sebelum ia bisa mengambilnya, Grinfol datang dengan membawa sepiring barbeque yang dipanggang dengan sempurna.
"Sayang," ucapnya lembut. "Ayah memasaknya khusus untukmu. Selamat ulang tahun, putriku."
Mata Nina sedikit membesar. Kejutan kecil dari ayahnya itu membuat hatinya menghangat seketika. Dengan mata yang nyaris berkaca-kaca, ia menerima piring tersebut dan tersenyum penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Ayah."
Stefani ikut tersenyum, menepuk pundak putrinya dengan lembut. "Selamat ulang tahun, sayang."
Satu per satu, semua orang yang hadir mengucapkan selamat ulang tahun untuk Nina. Kebahagiaan memenuhi hatinya. Setelah hari-hari sulit yang ia lalui, malam ini terasa seperti pelukan hangat yang menenangkan. Malam yang dipenuhi kebersamaan, canda tawa, dan cinta keluarga.
Dan untuk Nina, itu lebih dari cukup.
Setelah pesta barbeque usai, malam semakin larut, tetapi kebahagiaan masih terasa menggantung di udara.
Di balkon rumah Reinhard, Alberd duduk seorang diri, menikmati suasana malam dengan segelas jus di tangannya. Sisa makanan ringan masih tersisa di piring kecil di hadapannya, sementara di meja sampingnya tampak dua gelas jus lain yang sudah kosong, menandakan bahwa sebelumnya ada dua orang yang menemaninya di sana.
Matanya menatap langit dengan ekspresi tenang. Di atas sana, samar-samar ia melihat dua sosok yang melayang bebas di udara, Alena dan Nina. Gadis itu tampak tertawa senang, sementara Alena membawanya terbang dengan gerakan anggun, seolah mereka sedang menari di langit berbintang.
Alberd hanya menghela napas kecil sambil mengunyah camilannya. "Seru sekali sepertinya," gumamnya pelan.
Beberapa saat kemudian, dua sosok itu akhirnya mendarat ringan di balkon, angin malam yang berembus lembut mengibarkan helaian rambut mereka.
"Wahh… kakak! Itu luar biasa! Terima kasih sudah mengabulkan permintaanku!" seru Nina dengan wajah penuh kegembiraan, napasnya sedikit terengah karena masih terpacu adrenalin.
Alena tersenyum lembut, menepuk kepala Nina dengan kasih. "Sama-sama, sayang. Apapun permintaanmu, kakak pasti akan mengabulkannya."
Alberd yang sejak tadi memperhatikan, menatap ke arah mereka dengan ekspresi santai. "Nampaknya kalian bersenang-senang sekali."
Mendengar itu, Nina menoleh ke Alberd dengan senyum penuh arti. Lalu, dengan sedikit main-main, ia menjulurkan lidahnya mengejek.
"Tentu saja! Aku tidak takut ketinggian… tidak seperti… hmm…" ia melirik Alberd sekilas dengan tatapan menggoda.
Alberd mengangkat alisnya, berpura-pura tidak terpengaruh. "Hei, aku juga berani terbang kalau mau, tahu."
Nina tertawa kecil, lalu berjalan mendekati meja dan langsung mengambil gelas jus. Tanpa ragu, ia meneguknya sampai habis dalam satu kali minum, lalu meletakkannya kembali dengan ekspresi puas.
"Hei, itu jus ku.." ucap Alberd..
Nina tak menjawab hanya terkekeh kecil.
"Kak, kalau begitu aku kembali ke kamarku ya. Aku mau membuka kado di sana!" katanya penuh semangat.
Alena mengangguk pelan. "Baiklah, jangan tidur terlalu larut ya."
"Hehe, baik kak!"
Nina berjalan pergi dengan langkah riang, bahkan sedikit melompat-lompat kecil karena terlalu gembira. Alberd dan Alena hanya bisa saling pandang sebelum akhirnya menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat tingkah adik mereka itu.
Begitu suasana kembali sunyi, Alena duduk di samping Alberd. Angin malam yang sejuk menerpa wajah mereka, membawa aroma samar dari bunga-bunga di taman bawah.
Perlahan, Alena meraih tangan suaminya, menggenggamnya dengan hangat.
"Sayang, kamu juga mau terbang?" bisiknya dengan suara menggoda.
Alberd yang sedang menikmati camilannya tiba-tiba terdiam. Ia menoleh pelan, lalu terkekeh kecil dengan sedikit canggung.
"Ehh… hehe, tidak, tidak perlu sayang…" jawabnya cepat, matanya sedikit menghindari tatapan Alena.
Alena hanya tersenyum kecil, menatap suaminya dengan tatapan lembut yang penuh arti.
"Baiklah… tapi kalau nanti kamu berubah pikiran, aku selalu siap membawamu terbang."
Alberd tertawa pelan dan mengusap tengkuknya. "Aku akan mempertimbangkannya… mungkin nanti."
Malam itu berlalu dalam kehangatan. Di bawah langit yang dipenuhi bintang, di antara suara angin yang berhembus lembut, kebersamaan mereka terasa begitu damai, seperti malam yang ingin terus mereka simpan dalam ingatan.
Info karakter:
Venny Benatta Reinhard (40 tahun), adik kandung Grinfol, dia 8 tahun lebih muda dari kakaknya dan 3 tahun lebih muda dari Stefani. Sifatnya lembut dan penyayang.
Jeane Sielsa Benatta (17 tahun), anak satu satunya Venny, sepupu dari Alberd dan Nina. Sifatnya polos dan sedikit pemalu.
makasih Thor 👍 salam sehat selalu 🤗🙏
Bagian awal di bab pertama harusnya jangan dimasukkan karena merupakan plot penting yang harusnya dikembangkan saja di tiap bab nya nanti. Kalau dimasukkan jadinya pembaca gak penasaran. Kayak Alena kenapa bisa tersegel di gua. Lalu kayak si Alberd juga di awal. Intinya yang tadi pakai tanda < atau > lebih baik tidak dimasukkan dalam cerita.
Akan lebih baik langsung masuk saja ke bagian Alberd yang dikejar dan terluka hingga memasuki gua dan membangunkan Alena. Sehingga pembaca akan bertanya-tanya, kenapa Alberd dikejar, kenapa Alena tersegel di sana dan lain sebagainya.
Jadi nantinya di bab yang lain nya akan membuat keduanya berinteraksi dan menceritakan kisahnya satu sama lain. Saran nama, harusnya jangan terlalu mirip atau awalan atau akhiran yang mirip, seperti Alena dan Alberd sama-sama memiliki awalan Al, jadi terkesan kembar. Jika yang satu Alena, nama cowoknya mungkin bisa menggunakan awalan huruf lain.
Novel ini adalah karya pertama saya, sekaligus debut saya sebagai seorang penulis.
Mengangkat tema vampir dan bergenre romansa-fantasy yang dibalut berbagai konflik dalam dunia modern.
Novel ini memiliki dua karakter utama yang seimbang, Alena dan Alberd.
Novel kebanyakan dibagi menjadi dua jenis; novel pria dan novel wanita.
Novel yang bisa cocok dan diterima oleh keduanya secara bersamaan bisa dibilang sedikit.
Sehingga saya sebagai penulis memutuskan untuk menciptakan dua karakter utama yang setara dan berusaha menarik minat pembaca dari kedua gender dalam novel pertama saya.
Saya harap pembaca menyukai novel ini.
Selamat membaca dan terima kasih,
Salam hangat dari author.