"Aletha jangan pulang terlambat!"
"Aletha jangan berteman dengan dia, dia tidak baik!"
"ALETHA!"
"KAKAK! Tolong berhenti mengatur hidupku, hidupku ya hidupku. Tolong jangan terus mengaturnya seolah kau pemilik hidup ku. Aku lelah."
Naraya Aletha, si adik yang sudah lelah dengan sikap berlebihan kakak tiri nya.
Galang Dwi Ravindra, sang kakak yang begitu membutuhkan adiknya. Dan tidak ingin sang adik berpaling darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmawi97, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
"Papa tau aku tidak bisa terlalu berdekatan dengan wanita! Dan sekarang Papa ingin menjodohkan ku?! Papa gila!" Galang memandang marah ayahnya setelah pulang dari restoran malam ini. Wajahnya memerah, napasnya memburu, dan tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Tatapan matanya penuh dengan kemarahan bercampur kebencian yang tak bisa ia sembunyikan.
"Papa hanya ingin kau perlahan sembuh dan tidak terlalu mengekang adikmu. Naraya itu sudah besar, sudah saatnya dia punya kehidupannya sendiri! Jangan terlalu membebani Naraya, Galang!" Papa Kim mencoba memberikan pengertian dengan nada yang tenang, tetapi gurat kekhawatiran terpampang jelas di wajahnya. Dia menatap putranya dengan sorot mata penuh harap, seolah mencoba menembus tembok emosi yang mengelilingi Galang.
"SHIKEURO!" Suara Galang menggema di seluruh ruangan. Ia mengibaskan tangannya dengan kasar, seakan berusaha menyingkirkan semua ucapan ayahnya. Rahangnya mengeras, dan bibirnya tertarik menjadi garis lurus yang dingin.
"Aku pikir Papa cukup mengerti, bagaimana terluka-nya aku karena seorang perempuan! Bagaimana menderita-nya aku karena seorang perempuan!" Suaranya bergetar, bukan hanya karena marah, tetapi karena ada sesuatu yang lebih dalam—rasa sakit yang selama ini ia pendam. Matanya memancarkan amarah sekaligus luka, sebuah pertunjukan nyata dari pertempuran batin yang ia alami.
"Tidak semua perempuan sama, Galang! Kau perlu tahu itu!" Papa Kim bersikeras, meski suaranya mulai mengandung nada putus asa. Ia menatap Galang dengan sorot mata penuh kasih seorang ayah yang hanya ingin anaknya bahagia. Namun, ucapan itu hanya membuat Galang semakin gusar.
"Tidak bisa!" Galang hampir berteriak, tubuhnya berguncang ringan karena emosi yang memuncak. "Aku tidak bisa menerima perjodohan itu! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menikah dengan siapapun!" Matanya berkaca-kaca, meski ia berusaha keras menahannya. Dia mengalihkan pandangannya, menatap dinding kosong dengan tatapan hampa, seakan melarikan diri dari kenyataan yang begitu menyesakkan.
.
.
Naraya terbangun saat mendengar suara berisik dari luar. Udara dingin malam menyelinap masuk lewat celah jendela yang sedikit terbuka, tetapi suara keras dari luar kamarnya membuat rasa kantuknya menghilang seketika.
"Kak Galang dan Papa bertengkar? Kali ini karena apa?" gumamnya pelan, alisnya bertaut. Ia mengernyit heran saat mendengar nada tinggi yang biasa hanya muncul saat dua Ravindra itu terlibat dalam perdebatan besar.
Naraya tetap terdiam di tempat tidur, tubuhnya tertutup selimut, namun telinganya fokus mendengarkan perdebatan yang memanas di luar pintu kamarnya. Napasnya tertahan ketika akhirnya suara kunci pintu terdengar berderik, membuka paksa gembok kecil yang sengaja dipasang. Ia dengan cepat memejamkan mata, pura-pura tertidur, berusaha tidak menarik perhatian.
"Kau mengunci Naraya lagi?! Kali ini apa salah Naraya, Galang?! Jelaskan!" Suara Papa Kim menggema, sarat dengan nada frustrasi yang sulit disembunyikan.
Naraya menahan senyum kecil. Setidaknya, kali ini ada yang membela dirinya. Namun hatinya masih penuh pertanyaan. Apa sebenarnya yang ada di pikiran kakaknya itu?
"Sudah ku katakan Papa tidak perlu tahu dan tidak perlu ikut campur dengan urusan ku dalam mendidik Naraya!" Suara Galang terdengar meninggi, seperti seorang pria yang merasa posisinya terancam. Sorot tajam matanya tak terlihat dari balik pintu, tetapi Naraya bisa membayangkan raut tegang kakaknya yang kini sedang kehilangan kendali.
"Keterlaluan! Kau sudah terlalu jauh Galang! Kalau kau terus seperti ini, Naraya akan semakin jauh dari mu. Bahkan mungkin meninggalkan mu!" Papa Kim berusaha menyadarkan putranya dengan suara yang tegas, namun penuh emosi.
Naraya merasakan degup jantungnya semakin cepat. Benar Papa... beri pengertian pada Kak Galang... batinnya. Wajahnya menyeringai kecil, merasa puas bahwa ada yang akhirnya memihaknya.
"Jangan sembarangan! Naraya itu adikku! Dan selamanya akan seperti itu!" bentak Galang dengan keras, suaranya seperti bergetar menahan emosi.
BRAK!
"Galang!"
Papa Angga terdiam saat Galang mengunci pintu kamar Naraya dari dalam, memutus percakapan tanpa peduli pada teguran ayahnya. Langkah-langkah berat terdengar mendekat, membuat Naraya memejamkan mata lebih rapat. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya kaku di bawah selimut.
Galang menghela napas panjang, terdengar putus asa. Dari sela-sela kelopak matanya yang hampir tertutup, Naraya melirik. Kakaknya berdiri di tengah kamar, mengacak rambutnya dengan frustasi. Ia tampak seperti seseorang yang membawa beban berat di pundaknya.
"Sialan!"
Naraya sedikit berjengit mendengar umpatan kasar itu. Ia kembali merapatkan selimut ke tubuhnya, mencoba menenangkan diri, tetapi perasaan tidak nyaman menyelimutinya. Tak lama, ia merasakan tempat tidurnya bergerak, membuatnya semakin kaku.
Galang naik ke tempat tidur, kemudian memeluknya dari belakang. Pelukan itu erat, seperti seseorang yang takut kehilangan. "Jangan pernah meninggalkan Kakak, Raya," ucapnya, suaranya bergetar. "Hanya kau yang Kakak percayai di dunia yang keras ini. Hiks... jangan pernah pergi... Kakak membutuhkanmu."
Naraya merasakan panasnya napas Galang di tengkuknya, bercampur dengan tangis tertahan. Ia mematung. Hatinya luluh mendengar ucapan tulus itu, tetapi rasa sesak di dadanya juga tak bisa ia abaikan. Ini terlalu berat. Ia tahu kakaknya butuh pertolongan, tapi sikap posesif itu tak bisa terus dibiarkan.
'Maaf, Kakak... tapi kau tidak bisa terus bergantung padaku... Kau harus sembuh, Kak Galang...' batinnya. Naraya menelan ludah, seolah menyusun kekuatan untuk keputusan yang akan ia ambil.
.
.
Pagi-pagi Galang berpendar ke seluruh rumah mencari Naraya. Matanya menyapu setiap sudut ruangan dengan gelisah, keningnya berkerut tajam. Biasanya, Naraya akan menunggunya untuk diantar ke sekolah.
"Kau melihat Naraya?" tanyanya dengan nada mendesak pada salah satu pelayan yang sedang sibuk membersihkan ruang tamu.
"Nona Naraya? Tadi pagi-pagi sekali, Nona muda Naraya sudah berangkat," jawab pelayan itu, suaranya tenang meski wajahnya sedikit bingung melihat ekspresi Galang yang berubah tajam.
"Dengan siapa?" Galang bertanya lagi, nada suaranya semakin rendah, tetapi penuh tekanan.
"Oh, sepertinya sendirian, karena Tuan besar juga belum bangun," jelas pelayan tersebut sambil menunduk sopan.
"Apa?" Galang langsung memijit pelipisnya, wajahnya menunjukkan rasa frustrasi yang mulai memuncak.
Dia segera merogoh kantongnya mencari ponsel dan dengan cepat menghubungi Naraya. Napasnya memburu, tangannya menggenggam ponsel erat seolah menyalurkan kemarahannya. Anak itu masih dalam masa hukumannya, tetapi dengan berani pergi dari rumah sendirian.
"Naraya! Kau di mana?" serunya, suaranya berat, penuh kemarahan yang ia coba tahan.
"Aku? Kenapa memangnya?" jawab Naraya di seberang, nadanya terdengar santai, bahkan sedikit tak acuh.
Galang mendengus, rahangnya mengeras mendengar nada bicara adiknya. Amarahnya semakin membara. "Pulang sekarang, Naraya!" suaranya naik setengah oktaf, penuh penekanan.
"Ah, kenapa sih? Kenapa harus pulang? Aku sudah sampai di sekolah."
Galang mengepalkan tangan kirinya, menahan diri agar tidak membanting ponselnya saat itu juga. "Dengan siapa kau berangkat?" tanyanya, suaranya mulai bergetar menahan kesal.
"Sendirian. Kenapa memangnya?" jawab Naraya tanpa beban.
Galang meremas rambutnya, matanya menyipit tajam. "Kakak sedang mempertimbangkan agar kau tidak perlu sekolah lagi di sana, Naraya! Atau kalau kau terus menjadi anak pembangkang, Kakak akan memaksamu untuk home schooling!"
"Kakak gila! Aku tidak mau pindah sekolah ke mana pun! Dan aku tidak mau home schooling!" Naraya menjerit di seberang, nadanya tajam dan penuh perlawanan.
TUT.
Galang melotot kaget saat mendengar bunyi panggilan yang diputus. Naraya benar-benar mematikan teleponnya begitu saja. Rahangnya mengeras, wajahnya memerah karena amarah yang memuncak.
Sambil menggeram, ia langsung meraih kunci mobilnya yang tergeletak di meja, gerakannya kasar. Ia melangkah cepat menuju garasi, matanya menyiratkan tekad bulat. "Anak itu benar-benar cari masalah," gumamnya pelan, hampir seperti sebuah ancaman. Ia tidak peduli apapun. Naraya harus pulang sekarang, meskipun ia harus menyeretnya keluar dari sekolah.
.
.
Naraya menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke depan. Ponsel di tangannya terasa berat, seolah ucapan Galang tadi masih menggantung di udara, menyisakan rasa cemas yang tak kunjung reda.
Pak Davin, yang duduk tak jauh darinya, memperhatikan perubahan raut wajah muridnya itu. Alisnya berkerut, nada suaranya penuh perhatian ketika bertanya, "Naraya, kau tidak apa-apa?"
Naraya menggeleng lemah, bahunya merosot. "Aku tidak baik-baik saja, Kak Davin~" suaranya terdengar putus asa.
"Kenapa? Kakakmu lagi?" tanyanya, menebak dengan mudah.
Naraya mengangguk, bibirnya mencebik saat mengingat ancaman Galang. "Dia akan memindahkan sekolahku, atau bahkan memaksaku untuk home schooling. Aku jelas tidak mau, Pak!" serunya, nada protes terdengar jelas di setiap kata.
Pak Davin menatapnya penuh simpati, mencoba meredakan keresahannya. "Kau bisa jelaskan pada Kakakmu, bahwa kau tidak nyaman dengan sikap berlebihan itu," nasihatnya lembut.
Naraya mendengus, tangannya mengepal di atas meja. "Sudah sering, tapi semuanya akan berakhir dengan Kak Galang yang menyakiti dirinya sendiri dan membuatku merasa bersalah. Selalu seperti itu! Dia selalu membuatku dalam posisi yang tidak nyaman!" serunya dengan nada yang semakin meninggi. Matanya berkilat frustrasi, dan tangannya gemetar menahan emosi yang bercampur dengan kelelahan.
"Mau Kakak bantu?" tawar Davin dengan nada tulus, matanya memandang Naraya penuh tekad.
Naraya mengangkat alis, menatapnya ragu. "Memangnya Kakak bisa membantu?" tanyanya, suaranya penuh keraguan, tetapi juga mengandung harapan kecil.
Davin mengangguk mantap sambil tersenyum. "Tentu bisa. Kakak akan mencoba yang terbaik," jawabnya tegas, mencoba menenangkan muridnya itu.
Namun, Naraya segera menggeleng, tubuhnya bergetar ketika bayangan perlakuan Galang muncul di benaknya. "Aku yakin, setelah ini Kak Galang akan kemari dan menyeretku lagi. Dia pasti mengunci aku di dalam kamar seharian, atau bahkan berhari-hari. Aku tidak mau..." ucapnya cepat, kepalanya menggeleng berkali-kali. Hidungnya kembang-kempis, napasnya memburu, menunjukkan betapa paniknya dia hanya dengan memikirkan skenario itu.
"Kau tenang saja," ujar Davin, suaranya menenangkan. "Kakak akan membantumu." Tatapannya menguatkan, seolah ingin meyakinkan Naraya bahwa dia tidak sendirian.
Naraya akhirnya tersenyum kecil, meski matanya masih menyimpan kekhawatiran. Namun, senyumnya langsung sirna ketika matanya menangkap sosok Galang berjalan cepat ke arahnya, langkahnya mantap dan penuh amarah.
"Naraya!" panggil Galang dengan nada rendah yang tajam, matanya menyala penuh intensitas.
Naraya menegang, tubuhnya seolah membeku di tempat. Jantungnya berdegup kencang, dan ia melirik Pak Davin dengan wajah panik, berharap sesuatu bisa menghentikan badai yang sebentar lagi akan menerjangnya.
Tebechh...
Haii
Adakah yang masih baca n nunggu cerita ni lanjut?