"Aku dimana?"
Dia Azalea. Ntah bagaimana bisa ia terbagun di tubuh gadis asing. Dan yang lebih tidak masuk akal Adalah bagaimana bisa ia berada di dunia novel? Sebuah novel yang baru saja ia baca.
Tokoh-tokoh yang menyebalkan, perebutan hak waris dan tahta, penuh kontraversi. Itulah yang dihadapai Azalea. Belum lagi tokoh yang dimasukinya adalah seorang gadis yang dikenal antagonis oleh keluarganya.
"Kesialan macam apa ini?!"
Mampukah Azalea melangsungkan kehidupannya? Terlebih ia terjebak pernikahan kontrak dengan seorang tokoh yang namanya jarang disebut di dalam novel. Dimana ternyata tokoh itu adalah uncle sang protagonis pria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon queen_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OMB! (9)
Selamat Membaca
*****
Aldrick membawa Auris ke taman yang tidak jauh dari kediaman Dirgantara. Aldrick menyuruh Auris duduk di salah satu kursi panjang di sana. Sementara dirinya pergi ntah kemana.
Auris menghela napas berulang kali. Ia mengusap air matanya yang turun tanpa diminta. "Keluargamu terlalu jahat Auris. Mereka kejam," gumam Auris sambil menatap langit malam yang bertaburan bintang.
"Minum,"
Auris menoleh. Aldrick berdiri di sebelahnya sambil menyodorkan sebuah air mineral. Auris mengambil air tersebut dan meneguknya beberapa kali. "Terima kasih."
Aldrick mengangguk. Ia duduk di sebelah Auris. "Mereka sering memperlakukanmu seperti itu?"
"Seperti apa?" tanya Auris balik.
"Grace sudah menceritakan semuanya," kata Aldrick menatap wajah Auris dari samping. Satu kata, cantik. Terlebih rambutnya yang berterbangan karena ditiup angin.
"Sejak kecil, apalagi sejak Caramel tinggal seatap denganku. Sejak saat itu penderitaanku yang sebenarnya di mulai," cerita Auris. "Ntahlah, aku rasa papa tidak menyukaiku karena aku perempuan."
"Sepertinya keluarga mu buta. Padahal sepupumu itu sangat jelek, bahkan mas sendiri tidak sudi melihat wajahnya," balas Aldrick.
Auris tertawa kecil, "Jahat sekali."
Aldrick ikut tertawa. "Teruslah tertawa seperti ini Au."
"Kenapa?"
"Kamu lebih cantik saat tertawa,"
Pipi Auris bersemu merah. Oh ayolah, kenapa hatinya murahan sekali? Bisa-bisa dia yang lebih dulu jatuh pada Aldrick jika sikapnya seperti ini. Terlebih Auris adalah penggemar pria tampan. "Oh ya? Kira-kira aku perempuan ke berapa yang mendapat perkataan seperti ini?"
"Bagaimana jika yang pertama?"
"Sulit dipercaya." Auris tertawa lebar membuat Aldrick pun ikut tersenyum.
Aldrick berdiri kemudian mengulurkan tangannya. Dengan senang hati Auris menerima uluran tersebut. Keduanya berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih. Ketika sampai di mobil Aldrick segera membukakan pintu untuk Auris.
"Terima kasih mas,"
Aldrick mengangguk, kemudian beralih ke pintu sebelah. Mobil mereka perlahan menjauh dari taman tersebut. "Jika mengantuk tidur saja. Mas akan menggendongmu nanti,"
"Yakin? Aku berat loh. Takutnya mas tidak sanggup menggendongku," goda Auris tersenyum miring.
"Sure, kita lihat saja nanti."
*****
Caramel menangis meraung-raung di kamarnya. Melempar semua barang yang ada di sana. Sofia yang juga berada di kamarnya terus berusha menenangkan putrinya itu. Tapi yang ada Sofia malah di dorong kasar oleh Caramel.
"Caramel! tenang Car, tolong tenang," sentak Sofia.
Caramel menatap Sofia dengan air mata yang berlinang, "Mama.." Caramel menghampiri Sofia dan memeluknya, "Reynold jahat mama! Di-dia mempermainkanku!"
"Tenang sayang, jangan menangis seperti ini."
"Reynold hanya milikku mama. Hanya aku yang pantas menjadi istrinya!" Caramel begitu benci jika mengingat bagaimana reynold mengatakan bahwa dia mulai menyukai Auris. "Tidak boleh ma! Bagaimanapun caranya, Aku harus secepatnya menjadi istri Reynold."
Sofia mengangguk pelan. "Iya sayang. Memang hanya kamu yang pantas."
Caramel melepas pelukan mamanya dan mengusap kasar air matanya. "Mama bisa membantuku?"
"Bagaimana caranya?"
Caramel tersenyum miring. Rencana jahat sudah tersusun di otaknya. "Mama hanya perlu tutup mulut dan bersandiwara. Aku akan membuat Reynold menjadi milikku seutuhnya."
*****
Kedatangan Aldrick di sambut oleh Alex dan Zanna. Aldrick hanya menatap datar kedua manusia itu. Benci sekali rasanya mengingat bagaimana Alex selaku ayahnya Auris hanya diam saja melihat putrinya diperlakukan seperti itu.
"Dimana kamarnya?"
"Berikan dia padaku," pinta Alex.
Aldrick tersenyum sinis, "Untuk apa? Mau mengurungnya di gudang? Atau mau menyiksanya tuan Alex?"
Alex mengepalkan tangannya. "Berikan putriku sekarang!"
"Dimana kamarnya?"
Perdebatan mereka membuat Auris yang tertidur di pelukan Aldrick sedikit terusik. Hal itu membuat Aldrick menatap tajam Alex.
"Kau mengganggunya!" desis Aldrick tajam, "Sekarang tunjukkan kamarnya."
Zanna menahan Alex yang akan memulai perdebatan lagi. Ia menggeleng pelan pada Alex. Kemudian menatap Aldrick, "Ikuti Aku."
Zanna menuntun Aldrick menuju kamar Auris. Sesampainya di sana, ia membaringkan AUris perlahan-lahan agar gadis itu tidak terbangun. Kemudian menyelimuti Auris hingga sebatas dada.
"Terima kasih," kata Zanna tersenyum tulus.
Aldrick hanya mengangguk tanpa menjawab. Ia segera keluar dari kamar Auris dan turun ke bawah. Saat berselisih dengan Alex, Aldrick melempar senyum miring. Ia berjalan angkuh sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
"Jika besok aku tidak melihat Auris di kantor, jangan salahkan aku akan mengobrak-abrik kediamanmu," tegas Aldrick tanpa menoleh ke belakang. Ia lanjut berjalan tanpa tahu Alex menggeram marah atas ucapannya.
Aldrick menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Mengendarai dengan satu tangan sementara tangan lainnya sibuk dengan kegiatan lain. Sesampainya di kediamannya, Aldrick segera masuk dan menuju kamarnya.
Ia membuka kemejanya sehingga sekarang ia bertelanjang dada. Aldrick berjalan menuju balkon kamarnya. Memandang langit malam sambil ditemani sebatang rokok dan segelas wine kesukaannya. Ia duduk di kursi santai yang tersedia di balkon miliknya.
Aldrick menggoyangkan gelas winenya kemudian meminumnya dengan sekali teguk. Menyesap rokoknya sesekali tersenyum miring. "Auristella,"
Aldrick mengambil hpnya kemudian menghubungi asistennya, Marshall.
"Marshall. Jangan lupa jemput Auris dikediamannya besok,"
"Baik tuan, dimengerti."
Tut...
Aldrick memutuskan panggilan itu sepihak. Sudut bibirnya tertarik ke atas melihat gambar Auris yang terpampang jelas di layar hpnya. Aldrick terus tersenyum mengingat pertemuan pertamanya dengan Auris.
"Sepertinya aku harus memberi Grace hadiah."
Aldrick pun menghubungi Gracella melalui telepon. Rasanya sangat malas untuk berjalan menuju kamar putrinya itu.
"Ada apa papa menghubungiku? Padahal kita serumah, bisa-bisanya papa menelponku!"
Aldrick terkekeh pelan, "Hadiah apa yang kamu mau?"
"Hadiah? Aku rasa aku tidak sedang berulang tahun."
"Katakan apa yang kamu inginkan," titah Aldrick.
Aldrick dapat mendengar jika Gracella tertawa di sana.
"Tidak banyak papa, hanya satu macam."
"Sebutkan Grace."
"Jadikan Auris mama sambungku."
*****
Makasih udah baca>