Kinara Wirasti seorang wanita berusia 55 tahun, bertemu dengan kekasihnya di masa lalu yang bernama Anggara Tirta pria seumuran dengannya. Ternyata Anggara adalah mertua dari anaknya. Bagaimana kisah cinta mereka? Akankah bersatu di usia senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Tidak Sopan
Niko merasa sangat senang, setelah mendengarkan cerita dari Anggara. Ia memberikan restu, atas hubungan Anggara dan Kinara. Sudah banyak rintangan yang dilaluinya, Niko merasa kagum dengan cinta keduanya.
"Pah, perjuangkan cinta kalian. Halangan kalian tinggal restu dari Angel." Niko menepuk pundak Anggara.
"Tidak semudah itu, Niko. Kinara sangat menyayangi istrimu," ungkap Anggara.
"Soal Angel, aku bisa bantu." Niko begitu yakin kalau bisa meluluhkan hati Angel.
Anggara menyuruh Niko untuk pergi, agar tidak ada yang curiga dengan persembunyiannya. Ia sangat berharap Niko bisa melindunginya dan tidak memberitahukan keberadaannya.
"Kenapa anak itu bisa tahu? Sial!" umpat Anggara.
Pikiran Anggara kembali ke Kinara, wanita yang sangat dia cintai dan sayangi sepanjang hidupnya. Ia terbayang wajah cantik Kinara, membuatnya tidak sabar ingin bertemu. Namun, untuk akhir waktu ini harus ia tahan.
"Tuan, ada Nyonya Miranda di depan. Satpam sudah mengusirnya tapi, tidak mau pergi." Bik Siti memberikan kabar buruk.
"Wanita itu selalu saja mengganggu ketenangan!" Anggara mengepalkan tangannya, membentuk sebuah tinjuan.
"Kita harus bagaimana, Tuan?" Bik Siti merasa panik.
"Biarkan saja, Bik. Kita lihat dari ruangan sebelah," ujar Anggara.
Kedatangan tamu yang tidak pernah diharapkan, memang seperti pengganggu. Apalagi Miranda datang hanya untuk membahas hal tidak penting, semuanya membuat Anggara semakin muak.
Bik Siti membuka tirai jendela di lantai atas yang bisa menampakkan siapa yang datang. Walaupun sudah ada CCTV-nya, mereka lebih sering melihat langsung.
Terlihat Miranda sedang berdebat dengan satpam di rumah Anggara. Hal itu membuat Bik Siti dan Anggara tersenyum tipis.
"Tuan, Nyonya Miranda dari dulu selalu egois." Bik Siti sudah hafal dengan sikap Miranda.
"Mungkin dia sudah gila, Bik. Apapun keinginannya harus terwujud," timpal Anggara.
"Untung saja bukan istri, Tuan." Bik Siti melirik Anggara.
Anggara mengangkat alisnya sebelah, melihat wajah Miranda saja sudah membuatnya kesal. Jadi, tidak mungkin menikahinya.
"Anggara!" teriak Miranda dari depan rumah. Suaranya begitu keras, hingga terdengar dari ruangan lantai atas.
Mungkin suara Miranda masih bisa mereka abaikan, tetapi wanita itu menggedor-gedor pintu rumah.
Bik Siti menjadi panik, takut pintunya rusak dan juga khawatir Anggara tidak bisa menahan amarahnya.
"Tuan, lakukan sesuatu," pinta Bik Siti.
"Bibi tenang saja! Aku telepon Niko dulu." Anggara mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan ke putranya.
Beberapa saat kemudian, Miranda sudah menghentikan perbuatannya. Ia seperti orang ketakutan, meninggalkan rumah Anggara begitu saja.
"Lihatlah, Bik. Wanita itu sudah pergi." Anggara menunjukkan kepada asisten rumah tangganya.
"Syukurlah! Sekarang lebih baik istirahat, Tuan." Bik Siti sangat berharap kondisi kesehatan Anggara segera membaik.
Anggara sangat bersyukur, masih ada orang yang peduli dengannya. Mau memperhatikannya, merawat dan memberikan dukungan berupa doa.
***
Di cafe yang tidak jauh dari rumah Anggara, seorang pria tampan sedang menunggu seseorang. Siapa lagi kalau bukan Niko yang sedang menunggu kedatangan Miranda.
"Lama sekali, Bu." Niko menyapa dengan sinis.
Miranda menarik kursi di depan Niko, lalu mendudukkan diri. "Selalu saja ikut campur!"
"Apa yang baru saja Ibu lakukan sangat memalukan!" Niko menatap tajam ibunya.
"Justru Ibu sedang berjuang, Niko. Agar nantinya kamu bisa hidup enak, menikmati semua hasil kerja kerasmu." Miranda berencana mendekati Anggara, agar semua warisan jatuh ke tangan putranya. Dengan begitu, ia bisa ikut menikmati.
Perbuatan Miranda membuat Niko merasa pusing, mempunyai seorang ibu yang selalu saja membuat malu di depan papah angkatnya. Kalau bukan karena Anggara, mungkin saat ini Niko dan Miranda hidup terlantar.
"Bu, tolong sadar diri. Kita bisa bertahan hidup karena papah!" kata Niko penuh ketegasan.
"Harta Anggara ada hak kamu juga, kita harus berjuang untuk memperjuangkan. Perusahaan dia banyak, tapi kamu diminta mengurus perusahaan kecil." Miranda tidak rela.
"Peninggalan Ayah sudah habis sejak dulu. Perusahaan papah juga milik sendiri, kita tidak berhak." Niko sangat berharap ibunya mengerti kondisi.
Keduanya terlibat perdebatan sengit, hingga membuat mereka menjadi pusat perhatian banyak orang. Pengunjung cafe lainnya merasa terganggu kenyamanannya, dan ada yang melaporkan ke pihak cafe.
Niko dan Miranda dibawa masuk ke dalam kantor di cafe itu. Pihak pemilik cafe meminta mereka untuk mengganti rugi atas keributan yang baru saja terjadi.
"Anda mau merampas kita!" Niko marah kepada manager cafe itu.
"Sudah prosedur, Pak. Anda harus bertanggung jawab," kata Manager cafe.
"Enak saja tanggung jawab! Kita tidak merusak apapun." Miranda menatap tajam Manager cafe.
Manager cafe mengambil sebuah kertas yang berisi tentang aturan berkunjung di cafe itu, dan meminta Miranda untuk membacanya.
Namun, Miranda masih menyangkal aturan tersebut karena tidak tertera di papan pengumuman. Ia menganggap pihak cafe mengunakan kesempatan dalam kesempitan, untuk meraih keuntungan.
"Cepat ganti rugi seratus juta atau kita laporkan ke pihak berwajib!" Manager cafe berkata tegas.
"Aku pastikan cafe ini akan tutup!" Niko tidak mau kalah dengan ancaman Manager.
Niko mengambil ponselnya, lalu mengirim pesan ke Anggara meminta bantuan. Kurang dari sepuluh menit, polisi datang ke cafe dan mencabut izin berdirinya cafe tersebut.
Ternyata setelah diselidiki, sudah banyak yang menjadi korban. Pengunjung melakukan kesalahan kecil saja, harus mengganti rugi dengan tarif yang tidak masuk akal.
"Niko, kamu minta bantuan Anggara lagi?" tanya Miranda ketika mereka sudah dalam perjalanan pulang.
"Siapa lagi yang bisa bantu kita selain papah, Bu." Niko mendengus kesal.
Mulai saat ini juga, Miranda melarang Niko bergantung pada Anggara. Ia ingin anaknya lebih mandiri. Apalagi setelah ada kejadian yang membuatnya sakit hati. Tetapi, ia tidak bisa mengendalikan Niko.
"Ibu ingin bertemu Angel," ucap Miranda.
"Untuk apa, Bu?" tanya Niko, terkejut. Biasanya Miranda tidak akan mau bertemu dengan menantunya.
"Kamu tidak perlu ikut campur! Antarkan ke rumahmu saja." Miranda tersenyum licik.
Niko berharap ibunya bisa menjalin hubungan baik dengan sang istri, sehingga menuruti permintaannya untuk mengantarkan ke rumah. Ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi, agar cepat sampai.
Sebelum turun dari mobil, Niko berpesan agar tidak ada keributan lagi. Ia tidak bisa menemani masuk ke dalam rumah, karena ada urusan lain.
Miranda melangkahkan kaki dengan pelan, ia mengetuk pintu rumah putranya.
"Iya, sebentar!" sahut Angel dari dalam rumah, dengan suara keras.
Tak lama kemudian, pintu rumah terbuka lebar. Angel terlihat gugup melihat mertuanya berdiri di depan pintu, ia segera mempersilahkan masuk ke dalam.
"Untuk apa Ibu datang ke sini? Niko masih kerja," kata Angel.
Miranda tersenyum licik, "Ada penawaran menarik untukmu."
Angel mengerutkan dahinya, ucapan Miranda membuatnya penasaran. Ia tahu kalau mertuanya selalu bersikap menyimpang dari jalan kebenaran.
"Penawaran apa, Bu?" tanya Angel.
"Bantu aku menjauhkan mamah mu dengan Anggara. Kalau tidak bercerai lah dengan putraku!" Miranda berkata tegas.
Angel menjadi bingung dengan permintaan Miranda, soal hubungan Kinara dan Anggara ia sudah tidak menyetujuinya. Tetapi, bercerai dengan Niko menurutnya hal yang mustahil. Ia merasa tidak bisa hidup tanpa Niko, rasa cintanya begitu besar walaupun sering terjadi perdebatan.
"Kenapa diam?" tanya Miranda penuh harap.
"Bu, tolong jangan bawa-bawa hubungan mereka dalam kehidupan saya." Angel menundukkan kepalanya.
"Kinara adalah mamah mu , Angel! Beri tahu dia soal semua ini. Apa kamu mau hubungan Anggara dan Niko terputus!" Mata Miranda melotot, seakan keluar dari tempatnya.
Miranda menekan Angel, demi keinginannya tercapai. Ia juga menceritakan seolah-olah Anggara buruk di mata Angel, agar tidak setuju.
"Menjalin hubungan dengan laki-laki seperti Anggara hanya akan terluka, di luar negeri banyak sekali wanita simpanannya. Kamu tahu harta Anggara sangat banyak, untuk membeli wanita cantik saja dia mampu. Angel, jangan pernah percaya." Miranda tersenyum puas.
"Saya juga berpikir seperti itu, Bu." Angel merenungkan kata-kata Miranda.
"Kamu harus secepatnya memberitahukan semua kepada mamah mu," ujar Miranda.
Angel menganggukkan kepalanya, ia segera bergegas menyelesaikan pekerjaan rumah. Ia sudah tidak sabar memberitahukan kepada Kinara.
"Angel, boleh Ibu tinggal di sini untuk beberapa hari kedepan?" Miranda berencana menghasut Angel lebih dalam.
"Iya, Bu." Angel kemudian melangkahkan kaki keluar dari rumah, ia akan pergi ke rumah Kinara.
Hampir satu jam, Angel tidak mendapatkan angkutan umum maupun taksi. Ia berdiri di bawah terik matahari, hingga membuat keringatnya bercucuran membasahi wajahnya.
Angel mengambil ponselnya yang berada di dalam tas, lalu menghubungi suaminya. Tetapi, tidak ada jawaban dari Niko.
"Niko pasti marah aku pergi tidak bilang." Gumamnya dalam hati. Ia mengirimkan sebuah pesan untuk memberikan kabar ke Niko.
Karena sudah tidak sabar ingin segera ke rumah Kinara, Angel memutuskan berjalan kaki menuju sebuah halte bus. Walaupun sedikit kebingungan, ia berusaha bertanya kepada penumpang lain.
Perjalanan dengan menggunakan bus memakan waktu hampir setengah jam, padahal kalau ditempuh kendaraan pribadi hanya sekitar sepuluh menit.
Perut Angel terasa sangat mual, bau parfum orang dan keringat bercampur aduk di dalam bus tadi.
Hoek ... hoek ....
Angel menegang perutnya yang terasa sakit, karena banyak mengeluarkan cairan. Tubuhnya merasa lemas, ia istirahat di tepi jalan.
"Non, apa yang kamu lakukan?" tanya satpam komplek.
"Pak, tolong antarkan saya ke rumah ibu." Angel berusaha berdiri.
"Wajah Non pucat sekali. Ayo saya bantu," ujar satpam itu.
Satpam mengantarkan Angel mengunakan sepeda motor bututnya, ia menurunkan Angel tepat di depan rumah sederhana Kinara.
"Sampai, Non." Satpam itu tersenyum.
"Terima kasih, Pak. Ini buat Anda." Angel memberikan selembar uang seratus ribuan kepada satpam itu, sebagai bentuk rasa terima kasihnya.
Satpam itu awalnya tidak mau menerima, tetapi Angel terus memaksanya. Setelah satpam pergi, Angel masuk ke dalam rumah.
Kinara sudah duduk di ruang tamu bersama Tyas yang menemaninya sejak tadi.
"Sayang, kenapa kamu pucat sekali?" tanya Kinara mengerutkan dahinya.
"Ceritanya panjang, Mah." Angel merebahkan dirinya di atas sofa.
"Mungkin Angel lelah," timpal Tyas.
"Tidak, Tante. Tolong buatkan aku teh manis hangat," pinta Angel.
Tyas kemudian pergi ke dapur, untuk membuatkan Angel teh hangat agar meredakan rasa mualnya. Ia memang sudah terbiasa melayani Angel yang manja.
"Mah, ada yang ingin aku bicarakan." Angel sudah tidak sabar.
"Ada apa, Sayang?" tanya Kinara penasaran.
"Mamah, jangan berhubungan lagi dengan papah! Dia suka main wanita, aku tidak ingin terjadi sesuatu." Angel memegang tangan Kinara.
"Mamah tidak ada hubungan dengan dia," jawab Kinara, ia merasa gugup. Wajahnya terlihat begitu cemas, tetapi berusaha menutupi semua.
Angel menceritakan semua tentang Anggara, seperti apa yang dikatakan oleh Miranda tadi. Namun, Kinara hanya diam tanpa membela kekasihnya.
Dalam hati Kinara sangat yakin, kalau Anggara tidak seperti yang diungkapkan putrinya. Baginya Anggara sosok yang bertanggung jawab, dan tegas.
"Sayang, kamu dengar dari siapa?" tanya Kinara lagi.
"Tidak ada, Mah. Papah sendiri yang cerita." Angel sengaja berbohong.
"Oh, biarkan saja. Semua yang dilakukan Tuan Anggara tidak ada hubungannya dengan Mamah. Angel, lebih baik kamu istirahat di kamar." Jantung Kinara berdetak kencang. Ia berharap Angel tidak membahas soal Anggara lebih jauh lagi.
Tyas dari tadi hanya menjadi pendengar, setelah Angel pergi baru berani membuka suaranya. Semuanya dilakukan demi keutuhan keluarga Kinara, lebih baik tidak ikut campur.
"Kinara, apa benar yang dikatakan putrimu?" tanya Tyas dengan suara pelan.
Kinara menggelengkan kepalanya, "Mas Anggara tidak seperti itu, dia orang yang baik."
"Kamu yang sabar, ya. Mungkin sudah jalan takdirmu, belum bisa bersatu dengan Anggara," ucap Tyas, merasa sangat prihatin.
Kinara tidak pernah menyesali semuanya, ia justru bersyukur bisa hidup dengan jalan berliku seperti yang sudah dilaluinya. Memang tidak mudah, menjalani hubungan secara sembunyi-sembunyi. Dari dulu yang menghalangi hubungannya dengan Anggara adalah restu.
Raut wajah Kinara menjadi sedih, buliran air mata menetes di wajahnya. Namun, ia segera mengusapnya dengan tangan agar Tyas tidak melihat.
"Tyas, nanti suamimu marah tidak?" tanya Kinara, berusaha mencairkan suasana yang hening sesaat.
"Tidak, Kinara. Suamiku mau pergi ke rumah temannya," balas Tyas, kalau di rumah suaminya sering keluar tidak jelas.
"Aku sudah baikan kok, rasanya tubuhku sudah tidak lemas. Mungkin darah yang aku terima kemarin punya orang sehat," kata Kinara tersenyum tipis.
Tyas sebenarnya sangat menyesal, tidak bisa menolong Kinara ketika sedang sakit. Golongan darah mereka juga berbeda. Ia menatap wajah Kinara, terlihat berbeda dari biasanya.
"Kamu kelihatan lebih segar," ucap Tyas.
"Yang benar saja kamu?" Kinara meraba-raba wajahnya yang sudah mulai mengkerut.
"Mamah, kenapa masih saja sok cantik? Biar papah tergoda ya?" Angel tiba-tiba berdiri di ambang pintu, sambil melipat tangannya di dada.
Kinara menghembuskan napas beratnya, hatinya sedikit terasa perih. Baru kali ini putrinya berkata tidak sopan, apalagi di depan orang lain. Ia merasa malu dengan Tyas.
"Angel, sopan sedikit sama orang tua!" Tyas memberanikan diri menegur Angel.
"Tante, masih belain dia." Angel menunjuk ke arah Kinara.
Kedua wanita paruh baya itu terperanjat, mendengar ucapan Angel tidak enak di telinga. Mereka tidak menyangka akan seperti ini, terlebih Kinara menjadi bertambah sedih.
"Seharusnya sebagai orang tua bisa menjadi contoh yang baik, bukan malah menjalin hubungan dengan mertua anaknya." Angel kembali berkata pedas.
"Angel!" Kinara berdiri dari duduknya. Ia mengangkat tangannya, hendak menampar putrinya.
Makin tua, makin jadi🤣
setuju kalian menikah saja
jamgan hiraukan angel
semoga segera dapat donor darah yg cocok dan bisa selamat
ayo semangat kejar kinara🥰
semoga kamu dapat restu anggara.. semangat