**"Siapa sangka perempuan yang begitu anggun, patuh, dan manis di depan Arga, sang suami, ternyata menyimpan sisi gelap yang tak pernah ia duga. Di balik senyumnya yang lembut, istrinya adalah sosok yang liar, licik, dan manipulatif. Arga, yang begitu percaya dan mencintainya, perlahan mulai membuka tabir rahasia sang istri.
Akankah Arga bertahan ketika semua topeng itu jatuh? Ataukah ia akan menghancurkan rumah tangganya sendiri demi mencari kebenaran?"**
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
alya
Aku tersenyum santai sambil menyesap segelas anggur di balkon kamar. Malam ini begitu tenang, seolah semua masalah dalam hidupku tak pernah ada. Arga belum pulang, seperti biasa dia pasti sibuk menenggelamkan dirinya di kantor. Baguslah. Aku tak perlu repot-repot berpura-pura.
Arga... suamiku. Pria itu sungguh bodoh. Dia terlalu baik, terlalu lembut, terlalu... mudah ditipu. Aku tahu dia menyayangiku, tapi aku tidak bisa mencintainya seperti dia mencintaiku. Bukan karena aku tidak mencoba, aku sudah mencobanya. Namun, hatiku sudah tertambat pada Reza sejak dulu.
Reza... hanya memikirkannya saja sudah membuatku merasa hidup. Dia mungkin tidak kaya, tidak sesempurna Arga di mata dunia, tapi dia punya sesuatu yang tak dimiliki pria lain: gairah. Bersama Reza, aku merasa diinginkan, dicintai dengan cara yang tak bisa Arga berikan. Di ranjang, Reza selalu membuatku lupa segalanya.
Namun, aku bukan perempuan bodoh. Aku tahu, cinta saja tidak cukup untuk bertahan hidup. Reza tidak akan pernah bisa memberiku kenyamanan yang aku dapatkan bersama Arga. Rumah megah ini, pakaian mewah, perhiasan, semua itu datang dari Arga. Dia pria sempurna penyayang, perhatian, dan kaya raya. Kehilangan dia? Tidak, aku tidak sebodoh itu.
Aku hanya perlu memainkan peranku dengan baik. Sikap lembut, patuh, dan sesekali manjaku cukup untuk membuat Arga percaya aku adalah istri yang ideal. Dia tidak perlu tahu apa yang terjadi di belakang punggungnya.
Tapi malam tadi, aku melihat Mentari. Gadis itu benar-benar menyebalkan. Matanya terus memandangku dan Reza seperti seorang hakim yang siap menjatuhkan vonis. Aku tahu dia pasti mendengar percakapan kami. Untuk berjaga-jaga, aku mengancamnya. Aku tidak takut. Gadis sepertinya mudah sekali dilumpuhkan.
Namun, di sisi lain, ada ketakutan kecil yang mengintip dari dalam hatiku. Aku tahu, jika semua ini terbongkar, Arga tidak akan pernah memaafkanku. Dia mungkin akan pergi, dan aku... aku akan kehilangan segalanya.
Tapi aku tidak bisa meninggalkan Reza. Bagaimanapun juga, dia adalah cinta pertamaku. Bersamanya, aku merasa bebas. Bersama Arga, aku merasa terkurung. Tapi ironisnya, aku membutuhkan keduanya Reza untuk hatiku, dan Arga untuk hidupku.
Sekarang, aku hanya perlu bermain cerdas. Selama Mentari tetap diam, semuanya akan baik-baik saja. Dan jika dia berani membuka mulut... aku akan pastikan dia menyesal.
Aku adalah Alya. Aku tidak akan kalah.
Pagi ini terasa begitu segar. Aku melangkah turun dari kamar dengan senyum yang masih tersisa dari malam tadi. Reza benar-benar tahu cara membuatku lupa akan segalanya. Tapi, hari ini aku harus kembali memainkan peranku sebagai istri yang lembut dan anggun.
Saat aku sampai di ruang tamu, mataku langsung menangkap sosok Mentari yang sedang mengepel lantai. Gadis itu terlihat tenang, seperti tidak terjadi apa-apa semalam. Aku tersenyum puas. Rupanya ancamanku berhasil. Mentari pasti bungkam.
"Kamu rajin sekali, Mentari," ucapku dengan nada manis yang aku tahu bisa membuat siapa pun lengah.
Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Mentari berhenti mengepel dan menatapku dengan tatapan yang berbeda. Ada kekecewaan di sana, juga sesuatu yang lain seperti kebencian. Aku terdiam sejenak, bingung dengan keberanian mendadaknya.
"Kamu kenapa menatapku seperti itu?" tanyaku, tetap dengan nada lembut, meski dalam hati aku mulai merasa terganggu.
Dia tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala pelan sebelum melanjutkan pekerjaannya. Tapi tatapan itu... aku tahu apa artinya. Mentari tidak bungkam. Dia tahu segalanya, dan lebih dari itu, dia tidak bisa menerima apa yang aku lakukan.
Hatiku tiba-tiba terasa panas. Siapa dia berani menatapku seperti itu? Hanya seorang pembantu yang tidak tahu tempatnya! Tapi aku tetap menjaga senyumku. Aku tidak boleh kehilangan kendali.
Dalam hati, aku tertawa kecil. Gadis itu pasti sedang berjuang dengan pikirannya sendiri. Dia tahu aku tidak main-main dengan ancamanku. Aku bisa menghancurkan keluarganya dengan mudah jika aku mau. Dan dia tahu itu.
"Kerja yang rajin, ya. Jangan terlalu banyak melamun," kataku sambil melangkah pergi, memastikan suaraku terdengar ringan tapi penuh arti.
Namun, saat aku berjalan menuju dapur, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Tatapan Mentari tadi, meskipun penuh kebencian, juga menyiratkan keberanian. Aku tidak suka itu. Gadis itu terlalu berbahaya untuk dibiarkan.
Aku harus memastikan dia tetap diam, dengan cara apa pun. Jika dia membuka mulut kepada Arga... aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkan hidupku termasuk gadis kecil tak berguna itu.
POV Mentari
Aku menatap Mbak Alya dengan rasa benci yang sulit ku sembunyikan. Kenapa aku harus memiliki sepupu seperti dia? Seseorang yang dulu aku anggap sebagai pelindung, yang memberiku pekerjaan dan tempat tinggal. Aku merasa berutang budi padanya, tapi sekarang, semuanya terasa seperti kebohongan yang tak termaafkan.
Aku selalu merasa terjebak di antara rasa terima kasih dan kebencian yang semakin hari semakin membengkak di dalam hatiku. Di satu sisi, aku berterima kasih padanya karena telah memberiku kesempatan untuk bekerja dan tinggal di rumah yang nyaman. Tanpa dia, aku tak tahu apa yang akan terjadi dengan hidupku. Namun di sisi lain, aku tak bisa lagi menahan rasa jijik melihat apa yang telah dia lakukan pada Pak Arga, suaminya sendiri.
Mbak Alya selalu memainkan peran sebagai istri yang penuh cinta di depan Pak Arga, berpura-pura menjadi wanita yang sangat mencintainya. Padahal di belakang suaminya, dia malah berani bermain api dengan pria itu. Reza. Aku tak bisa membayangkan bagaimana dia bisa begitu tega dengan suaminya, dengan seorang pria yang telah memberinya segalanya, bahkan melebihkan apa yang pantas didapatkannya.
Yang lebih membuatku merasa marah adalah kenyataan bahwa Reza, pria yang dipilihnya untuk diselingkuhi, bahkan tidak setampan Pak Arga. Arga adalah pria yang penuh perhatian, baik hati, dan tampan—sangat jauh berbeda dengan pria itu. Dan Mbak Alya, dia memilih untuk menyia-nyiakan semuanya demi hubungan yang, menurutku, hanyalah sebuah pengkhianatan yang hina.
Aku tak tahu lagi bagaimana caranya untuk mendamaikan hati ini. Bagaimana bisa seorang wanita yang tampak begitu lembut, baik, dan penuh cinta, bisa melakukan hal sekeji ini? Bagaimana bisa dia menyakiti orang yang begitu baik hanya demi mengejar kebahagiaan sesaat?
Aku menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. Semua rasa terima kasih yang dulu aku miliki kini terasa hampa. Aku tak bisa lagi menutup mata dan membiarkan semuanya begitu saja. Aku tidak akan membiarkan Pak Arga terus disakiti. Aku tidak akan diam.
Aku termenung, bertanya-tanya dalam hati. Kenapa aku bisa begitu prihatin dengan Pak Arga? Kenapa rasanya sakit melihat dia disakiti oleh Mbak Alya? Padahal, aku tahu aku hanya seorang pelayan, tidak lebih dari itu. Namun, setiap kali aku melihat Pak Arga yang penuh perhatian dan kebaikan, hati ini terasa begitu pedih ketika mengetahui dia dihianati oleh wanita yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya.
Apa yang membuatku begitu terikat dengan dia? Aku tak bisa menahan diri untuk merasa kasihan—bukan hanya pada Pak Arga, tetapi juga pada diriku sendiri. Aku merasa seperti ada beban berat di dadaku, dan aku bahkan tak tahu kenapa aku begitu peduli.
Mungkin ini karena aku membenci perselingkuhan. Melihat seseorang yang begitu setia dan tulus, seperti Pak Arga, dihianati dengan begitu kejam, membuat hatiku seolah teriris. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi Pak Arga—diyakini oleh orang yang kita cintai, hanya untuk dikhianati di belakang.
Aku tidak bisa membiarkan semuanya berjalan begitu saja. Aku merasa seolah ada sesuatu dalam diriku yang mendorongku untuk bertindak, meskipun aku sendiri tak tahu dari mana rasa ini muncul.
semangat Thor