Amira kira setelah menikah hidupnya akan bahagia tapi ternyata semua itu tak sesuai harapan. Ibu mertuanya tidak menyukai Amira, bukan hanya itu setiap hari Amira hanya dijadikan pembantu oleh mertua serta adik iparnya. Bahkan saat hamil Amira di tuduh selingkuh oleh mertuanya sendiri tidak hanya itu setelah melahirkan anak Amira pun dijual oleh ibu mertuanya kepada seorang pria kaya raya yang tidak memiliki istri. Perjuangan Amira begitu besar demi merebut kembali anaknya. Akankah Amira berhasil mengambil kembali anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Non Mey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Nia Ke Tempat Laundry
Pagi itu terasa biasa saja bagi Amira di laundry Bu Sari. Ia menikmati pekerjaannya yang meskipun melelahkan, jauh lebih menenangkan dibandingkan tekanan yang ia hadapi di rumah. Namun, siapa sangka hari itu akan berubah menjadi momen yang tak terlupakan.
Ketika Amira sedang melipat pakaian pelanggan, pintu laundry terbuka, dan Nia masuk dengan langkah percaya diri. Ia membawa sekantong besar pakaian kotor. Wajahnya yang dipoles riasan sempurna tampak menyiratkan kesombongan.
“Permisi,” sapa Nia dengan nada sinis sambil meletakkan kantong pakaian di meja. Matanya langsung tertuju pada Amira. Ia pura-pura terkejut.
“Lho, Amira? Ternyata kamu kerja di sini?” tanya Nia, suaranya terdengar lebih keras dari yang diperlukan. Beberapa pelanggan lain di laundry mulai memperhatikan.
Amira menatap Nia dengan tenang meski hatinya berdebar. “Iya, Mbak Nia. Ada yang bisa saya bantu?”
Nia menyeringai. “Wah, aku nggak nyangka. Jadi istri Angga ternyata nggak cukup untuk hidup enak ya? Harus kerja juga? Kasihan banget.”
Amira tetap diam, memilih untuk tidak menanggapi sindiran itu. Namun, Nia tidak berhenti di situ.
“Kamu tahu nggak, Amira? Angga dulu selalu bilang dia ingin wanita yang bisa mengimbanginya. Wanita yang cantik, cerdas, dan... ya, punya status. Tapi ternyata dia pilih kamu. Aku benar-benar heran, sih,” ujar Nia sambil tertawa kecil, memamerkan penghinaan terselubungnya.
Mendengar percakapan itu, Bu Sari yang sejak tadi memperhatikan dari belakang langsung keluar dari ruang kerjanya. Wajahnya tampak marah.
“Eh, Mbak, kalau mau mencuci pakaian, silakan taruh di sini. Tapi kalau cuma mau nyindir pegawai saya, lebih baik pulang saja,” ujar Bu Sari dengan nada tegas.
Nia tersenyum sinis. “Saya cuma kaget, Bu. Ternyata istri Angga kerja di tempat seperti ini. Saya pikir Angga bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untuk istrinya.”
Bu Sari melipat tangannya. “Amira bekerja di sini karena dia ingin mandiri, Mbak. Itu sesuatu yang harus dihargai, bukan direndahkan. Kalau Anda cuma datang untuk membuat keributan, saya minta Anda pergi sekarang juga.”
Namun, Nia tidak menyerah. Ia mengambil salah satu pakaian kotor dari kantongnya dan menunjukkannya ke Bu Sari. “Ini, saya mau cuci baju ini. Tapi kalau saya tahu pekerjanya adalah Amira, saya rasa saya harus pikir-pikir lagi. Saya nggak yakin dia bisa mencuci pakaian mahal seperti ini dengan baik.”
Mendengar itu, Bu Sari langsung mengambil kantong pakaian milik Nia dan melemparkannya ke arah wanita itu. “Mbak Nia, saya tidak butuh pelanggan yang suka merendahkan orang lain. Kalau Anda tidak menghormati pegawai saya, lebih baik Anda cari tempat laundry lain.”
Beberapa pelanggan yang melihat kejadian itu mulai berbisik-bisik. Nia merasa malu, tetapi ia tetap berusaha menjaga wajahnya agar terlihat tenang.
“Baiklah, saya akan pergi. Tapi ingat, Amira. Kamu tidak akan pernah selevel denganku,” ujar Nia sambil melangkah keluar.
Setelah Nia pergi, Bu Sari mendekati Amira yang terlihat sedikit gemetar. “Amira, kamu nggak usah pikirin omongan dia. Kamu itu jauh lebih berharga daripada orang seperti dia. Orang yang suka merendahkan orang lain biasanya hanya ingin menutupi kekurangan dirinya sendiri.”
Amira menunduk, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Bu Sari. Saya nggak tahu harus bilang apa.”
Bu Sari menepuk bahu Amira dengan lembut. “Kamu nggak perlu bilang apa-apa, Amira. Kamu sudah cukup kuat selama ini. Saya cuma nggak mau ada orang yang seenaknya memperlakukan kamu seperti itu.”
Malam harinya, ketika Amira pulang, ia menceritakan kejadian di laundry kepada Angga. Amira tidak ingin menyembunyikan apa pun, meskipun ia tahu hal ini akan membuat suaminya marah.
Angga mengepalkan tangannya dengan emosi. “Nia benar-benar sudah keterlaluan! Aku nggak akan diam saja, Amira. Kalau dia berani menghina kamu lagi, aku sendiri yang akan bicara padanya.”
Amira memegang tangan Angga, mencoba menenangkannya. “Mas, aku nggak apa-apa. Bu Sari sudah membela aku. Aku cuma ingin kita fokus menabung untuk pindah dari sini. Aku nggak mau hal-hal seperti ini mengganggu kita.”
Angga menghela napas, lalu menarik Amira ke dalam pelukannya. “Kamu terlalu baik, Amira. Tapi aku janji, aku nggak akan biarkan siapa pun merendahkan kamu lagi.”
Keesokan harinya, Ratna mengetahui kejadian di laundry dari Nia. Ia merasa malu karena Nia, wanita yang sangat ia dukung, dipermalukan oleh Bu Sari. Ratna mendatangi Amira dan menyalahkannya atas kejadian tersebut.
“Amira, kamu bikin malu keluarga ini! Kalau Nia sampai nggak mau datang ke sini lagi, aku nggak akan pernah maafkan kamu!” seru Ratna dengan nada tinggi.
Namun, kali ini Amira tidak tinggal diam. “Bu, saya bekerja untuk membantu keluarga ini. Kalau Ibu merasa malu, saya minta maaf. Tapi saya tidak akan berhenti bekerja hanya karena Nia merasa terganggu. Saya hanya ingin hidup tenang dengan suami saya.”
Ratna terdiam, tidak menyangka Amira akan berbicara dengan nada setegas itu. Untuk pertama kalinya, Amira merasa ia mampu berdiri untuk dirinya sendiri.
Meskipun hubungan mereka masih jauh dari kata baik, Amira tahu bahwa ia tidak sendirian. Dengan dukungan Angga, Loli, dan Bu Sari, ia merasa lebih kuat untuk menghadapi segala rintangan di rumah itu.