"Hanya satu tahun?" tanya Sean.
"Ya. Kurasa itu sudah cukup," jawab Nadia tersenyum tipis.
"Tapi, walaupun ini cuma pernikahan kontrak aku pengen kamu bersikap selayaknya istri buat aku dan aku akan bersikap selayaknya suami buat kamu," kata Sean memberikan kesepakatan membuat Nadia mengerutkan keningnya bingung.
"Maksud kamu?"
"Maksud aku, sebelum kontrak pernikahan ini berakhir kita harus menjalankan peran masing-masing dengan baik karena setidaknya setelah bercerai kita jadi tau gimana rasanya punya istri atau suami sesungguhnya. Mengerti, sayang!"
Loh, kok jadi kayak gini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
Seminggu berlalu setelah operasi. Hari ini Nadia sudah akan pulang dan dirawat di rumah saja.
Tama dan Gina datang untuk ikut mengantar Nadia pulang. Sungguh Nadia sangat senang karena dioperasinya yang kedua ini dia tidak sendirian. Bahkan Gina hampir setiap hari datang ke sana meski tidak terlalu lama sebab dia juga harus bekerja. Bukan hal yang mudah memang menjadi seorang dokter. Mereka selalu dituntut untuk siap sepanjang waktu.
"Gimana perasaan kamu?" tanya Gina pada sahabatnya yang kini sudah bisa duduk dengan leluasa.
"Sudah lebih baik kok," jawab Nadia tersenyum simpul.
"Syukurlah," timpal Gina.
"Oh iya, Tama, makasih juga ya udah dateng," kata Nadia menatap suami sahabatnya yang berdiri di belakang Gina.
"Iya sama-sama. Semoga kamu cepat sembuh ya," kata Tama yang ditimpali Nadia dengan anggukan kepala.
Tak berselang lama kemudian, Sean datang dan memberitahu jika dirinya sudah mengurus kepulangan Nadia. Gina dan Tama ikut mengantar Nadia hingga ke apartemen Sean. Sekalian mereka juga berkunjung untuk yang pertama kalinya ke sana.
"Wah! Tempatnya bagus banget ya," puji Gina melihat kamar Nadia dan Sean yang begitu luas dan mewah.
"Iya," jawab Nadia. "Ingat gak sih dulu tempat tinggal kita pas masih kuliah?" tanyanya kemudian mengenang masa lalu.
Gina tertawa kecil. "Kalo dibandingkan dengan tempat ini, kayaknya rumah sewa kita hanya sebatas kamar ini aja," ujarnya.
"Iya bener," jawab Nadia ikut tertawa.
Gina dan Nadia memang bukan dari keluarga yang tidak berpunya hingga tak mampu menyewa tempat yang lebih bagus saat itu. Hanya saja mereka memang lebih suka tinggal di tempat yang sederhana asalkan nyaman dan mereka selalu bersama.
Obrolan mereka tentang masa lalu pun kembali berlanjut mengundang tawa antara kedua wanita itu hingga saat kedua suami mereka masuk ke dalam kamar keduanya kompak terdiam dan menatap ke arah dua pria tampan yang juga tengah menatap mereka.
"Udah ya ngobrolnya. Kamu kan harus istirahat." Siapa lagi jika bukan Sean.
Gina yang merasa jika karna dirinya yang mengajak Nadia mengobrol membuat wanita itu tidak bisa istirahat langsung bangkit dari sana. Membiarkan Sean yang duduk di tempatnya tadi.
"Tapi, aku masih pengen ngobrol sama Gina," tolak Nadia.
"Cukup untuk sekarang ya. Kamu bisa ngobrol sama Gina setelah istirahat." Namun Sean juga keras kepala.
Nadia baru akan merengut jika saja Gina tidak membuka suara.
"Iya, Nad. Sean bener. Kamu harus istirahat," kata Gina membuat Nadia menatapnya tak percaya. Seharusnya sebagai seorang teman Gina membelanya, tapi kenapa wanita itu malah membela suaminya.
Dasar tidak setia kawan! Batin Nadia menggerutu sambil mengerucutkan bibirnya lucu. Dan tambah kesal lagi ketika dia melihat Sean tersenyum penuh kemenangan di sana.
"Lagian aku dan Gina juga harus pamit pulang karna ada urusan mendadak di kantor," tambah Tama.
Sepertinya Nadia sudah tidak punya peluang lagi. Jika sudah seperti ini mau tidak mau dia harus istirahat seperti yang dikatakan sang suami.
"Ya udah deh." Pada akhirnya Nadia hanya bisa pasrah.
"Kalo begitu kami pamit ya," kata Gina mengusap lembut lengan Nadia.
"Iya! Hati-hati di jalan ya, Gina, Tama," timpal Nadia.
"Iya," jawab Gina sementara Tama hanya mengangguk sembari tersenyum kemudian berlalu dari sana.
"Aku antar Gina sama Tama dulu ya," kata Sean yang dijawab anggukan kepala oleh Nadia.
Baiklah sekarang lebih baik Nadia istirahat sebelum Sean kembali. Dia tidak ingin mendengar pria itu mengoceh nanti jika melihat Nadia belum melakukan apa yang dititahkannya. Walau sebenarnya tak bisa Nadia pungkiri, dia suka ketika Sean memberikan perhatian. Lagipula Sean juga tidak mengoceh seperti ibu-ibu kok yang akan membuat kuping terasa panas. Justru suara berat dan lembut Sean itu sangat menggelitik telinga membuat Nadia merasa begitu disayangi.
Jika terus seperti ini Nadia benar-benar akan luluh. Atau tepatnya dia memang sudah luluh.
Sementara itu....
"Aku seneng deh liat interaksi Nadia dan Sean. Sean keliatan sayang banget sama Nadia," ujar Gina tak bisa menahan rasa senangnya. Wanita itu sampai senyum-senyum sendiri sejak keluar dari apartemen Sean hingga kini dirinya duduk di dalam mobil di samping sang suami.
"Bukannya kamu bilang kalian pernah satu sekolah saat SMA? Dan Nadia sendiri memang cukup dekat dengan Sean. Jadi gak heran sih kalo interaksi mereka bisa seperti itu," timpal Tama.
"Iya sih." Gina mengangguk. "Makanya pas kamu bilang kalo cowok yang lagi cari calon istri itu Sean aku langsung setuju buat temuin dia sama Nadia," Gina menatap lurus ke depan melihat mobil yang mulai berjejer rapih menunggu giliran di lampu merah.
"Entah kenapa saat itu aku yakin banget kalo Sean adalah orang yang paling tepat untuk mengobati luka Nadia," ujar Gina lagi tanpa sadar meneteskan air mata. Setiap kali ingatan tentang kejadian naas itu terlintas, wanita itu pasti tidak akan bisa menahan air matanya.
Tama meraih tangan Gina lalu menautkannya dengan tangan besarnya.
"Kamu udah ngelakuin yang terbaik buat sahabat kamu, Sayang," kata Tama. Dia juga ada di sana ketika musibah itu menimpa Nadia jadi dia sangat tahu bagaimana perasaan Gina maupun Nadia.
Gina tersenyum tipis lalu merangkul lengan Tama. "Semoga Nadia bisa menemukan kebahagiaannya bersama Sean."
"Amin," kata Tama.
Doa tulus dua orang sahabat yang begitu menyayangi Nadia.
***