Sinopsis
Caca, adik ipar Dina, merasa sangat benci terhadap kakak iparnya dan berusaha menghancurkan rumah tangga Dina dengan memperkenalkan temannya, Laras.
Hanya karena Caca tidak bisa meminta uang lagi kepada kakaknya sendiri bernama Bayu.
Caca berharap hubungan Bayu dan Laras bisa menggoyahkan pernikahan Dina. Namun, Dina mengetahui niat jahat Caca dan memutuskan untuk balas dendam. Dengan kecerdikan dan keberanian, Dina mengungkap rahasia gelap Caca, menunjukkan bahwa kebencian dan pengkhianatan hanya membawa kehancuran. Dia juga tak segan memberikan madu untuk Caca agar bisa merasakan apa yang dirasakan Dina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 MERASA TERASINGKAN
Mbak Dina tersenyum lebar, senyumnya yang penuh kemenangan. “Caca, dunia ini memang penuh dengan orang-orang seperti kamu. Mereka yang terlalu lemah untuk berjuang, yang terlalu takut kehilangan semuanya. Jadi, aku hanya mengambil apa yang aku inginkan.”
Perkataannya semakin membuatku merasa seolah aku telah kalah. Tapi aku tahu, aku harus kuat, walaupun saat itu hatiku terasa hancur. Mbak Dina mungkin sudah mencapai tujuannya, tetapi aku masih memiliki sisa-sisa keberanian untuk berdiri, meskipun aku merasa terjatuh dan terhina.
Setelah pesta pernikahan yang megah itu berakhir, suasana hotel menjadi lebih sepi. Tamu-tamu undangan sudah pulang, meninggalkan kami yang hanya tinggal di ruang besar hotel.
Kini, di hadapanku ada keluarga besar yang akan berunding mengenai masa depan Belinda dalam kehidupan kami, dan aku tahu bahwa ini adalah momen yang sangat menentukan.
Aku ingin sekali menolak, menuntut agar Belinda tidak tinggal bersama kami, namun keinginan itu hanya bisa tertahan dalam hatiku, tak mampu untuk keluar menjadi kata-kata.
Mertuaku membuka percakapan. “Caca, kita harus membicarakan hal ini secara serius,” katanya dengan nada yang penuh pertimbangan. “Sekarang, Danu sudah menikah dengan Belinda. Kami berpikir, untuk menjaga keharmonisan keluarga, Belinda akan tinggal di sini sementara waktu. Ini juga agar semua bisa berjalan lancar.”
Aku menatap mereka semua, mencoba mengendalikan perasaan yang begitu berat. Dalam hatiku, aku ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa aku tidak setuju dengan keputusan ini, bahwa aku tak bisa menerima keberadaan Belinda di rumah ini. Namun, aku hanya bisa terdiam. "Apakah ini benar-benar perlu?" tanyaku dengan suara yang bergetar. “Bagaimana saya bisa hidup bersama dengan perempuan yang sudah merebut suami saya?”
Mertuaku menatapku dengan wajah yang penuh harapan. “Caca, kita harus memikirkan keluarga ini. Danu sudah membuat keputusan, dan kita harus menghormatinya. Belinda adalah bagian dari keluarga sekarang, dan kita harus bisa menerima itu.”
Aku merasa dadaku sesak mendengar kata-kata itu. "Tapi, saya merasa seperti tidak ada tempat bagi saya lagi di sini," kataku, mencoba menahan air mata yang ingin tumpah. “Semua ini terjadi begitu cepat. Saya masih belum siap menerima semua perubahan ini.”
Mertua lelaki ku, dengan suara yang lebih tegas, berbicara. “Caca, kamu harus lebih bijak. Ini sudah keputusan Danu. Tidak ada gunanya terus-menerus menentang takdir. Belinda akan tinggal bersama kita, dan kamu harus bisa menerima itu. Kalau kamu merasa tidak nyaman, kita bisa cari solusi lain, tapi jangan membuat masalah di rumah tangga kalian.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menorehkan luka dalam hatiku. Aku merasa seperti tidak ada lagi tempat untukku di sini, seolah semuanya sudah diatur tanpa aku punya suara. “Tapi bagaimana dengan saya?” tanyaku, hampir tidak percaya. “Bagaimana saya bisa menerima ini setelah semua yang terjadi?”
Mbak Dina, yang sedari tadi diam, akhirnya ikut bersuara. “Sudahlah, Caca. Ini bukan waktu untuk melawan,” katanya dengan nada yang penuh dengan keangkuhan. “Belinda sudah menjadi bagian dari keluarga ini, dan kamu harus belajar menerima kenyataan. Jangan berpura-pura tidak tahu, Mas Danu sudah memilih, dan kamu tidak bisa mengubah itu.”
Aku merasa seperti tenggelam dalam lautan kata-kata mereka. Semua terasa tidak adil. Setiap detik yang berlalu, aku merasa lebih kecil, tak berarti apa-apa di mata mereka. Tapi apa yang bisa kulakukan? Mereka semua sudah membuat keputusan, dan aku hanya bisa mengikuti.
Akhirnya, aku menundukkan kepala, berusaha menahan rasa sakit yang begitu mendalam. "Baiklah," kataku pelan, dengan suara hampir tidak terdengar. "Jika ini yang diinginkan, saya tak bisa berbuat apa-apa. Tapi saya ingin kalian tahu, saya merasa sangat terluka."
Mas Danu, yang selama ini diam, menatapku dengan mata yang penuh penyesalan, tetapi dia tidak mengatakan apapun. Aku tahu, dia sudah memilih jalan ini, dan aku hanya bisa mengikuti arusnya.
"Saya hanya ingin keluarga ini bisa harmonis," katanya dengan suara yang hampir tidak terdengar, seolah tak ingin menambah beban perasaan yang sudah cukup berat.
Aku merasa kehilangan arah, namun aku tahu, untuk sementara waktu, aku harus menerima kenyataan ini. Walaupun hati ini hancur, aku tak punya pilihan lain.
...****************...
Sejak Belinda tinggal di rumah mertuaku, aku merasa seperti seorang asing di tempat yang seharusnya menjadi rumahku. Hari-hariku dipenuhi dengan kesendirian dan rasa sakit yang semakin mendalam.
Aku melihat bagaimana Belinda dengan mudahnya beradaptasi, seolah dia sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Dia tidak hanya mengambil peran sebagai istri Mas Danu, tetapi dia juga berhasil memenuhi semua kebutuhan suamiku—sesuatu yang dulu aku lakukan dengan sepenuh hati.
Sementara itu, aku hanya bisa berdiam di kamar, menahan rasa sakit yang sangat dalam di dalam hatiku. Melihat bagaimana mereka berdua berjalan bersama di rumah ini, berbicara dengan akrab, tertawa, seolah tidak ada yang berubah, membuatku merasa terasingkan.
Tidak ada lagi perhatian yang aku terima, tidak ada lagi kasih sayang yang dulu aku nikmati. Semua itu kini berpindah ke tangan Belinda, dan aku hanya bisa mengamati dari kejauhan, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Aku merasa begitu kecil di tengah rumah ini, di mana dulu aku merasa menjadi bagian dari keluarga. Kini, perasaan itu sudah hilang, tergantikan oleh kehadiran Belinda yang seakan menguasai segalanya.
Setiap kali aku keluar dari kamar, aku merasa canggung, seolah ada jarak yang begitu besar antara aku dan orang-orang di rumah ini. Bahkan ketika aku mencoba berbicara dengan Mas Danu, ada rasa dingin yang terbentuk, seolah-olah semua yang pernah ada di antara kami sudah tak ada lagi.
Aku sering kali berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar, berusaha menenangkan diri. Tapi yang bisa kurasakan hanyalah kesakitan.
Dulu, suamiku adalah tempatku bergantung, tempatku mencari kenyamanan, namun kini semuanya terasa begitu jauh. Setiap malam, aku terjaga, bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan pernikahanku.
Apakah aku akan terus terperangkap dalam kesedihan ini, atau apakah ada jalan keluar yang bisa aku temukan? Namun, yang lebih aku takutkan adalah kenyataan bahwa aku mungkin sudah kehilangan segalanya—termasuk diriku sendiri.
Hari-hari berlalu, dan aku semakin merasa terasing di rumah ini. Belinda semakin menunjukkan kemampuan untuk mengurus segalanya, dari pekerjaan rumah hingga memasak, yang selalu menjadi hal-hal yang aku banggakan dulu.
Melihat semua itu membuat hatiku semakin berat. Aku tidak bisa menyangkal bahwa Belinda memang pintar dan terampil dalam segala hal, namun kenapa harus aku yang merasa kalah?
Suatu pagi, aku sedang duduk di meja makan ketika Mertuaku berbicara dengan nada yang lebih tegas dari biasanya. “Caca, kamu tahu kan, Belinda memang sangat pandai memasak. Pagi ini dia buatkan sarapan yang begitu enak. Kamu harus belajar darinya, kalau begitu,” kata Mertuaku sambil tersenyum, memandang Belinda yang sedang mengatur meja makan.
Belinda tersenyum, tampak bangga dengan pujian itu. Aku hanya bisa menatap mereka berdua, merasakan bagaimana hatiku seperti teriris. Aku mencoba tersenyum, meski terasa sangat berat. "Iya, aku akan coba lebih banyak belajar," jawabku, suara saya sedikit bergetar.
Mas Danu yang duduk di sebelah Belinda menambahkannya, "Ya, memang kalau dibandingkan dengan masakanmu, masakan Belinda lebih lezat. Mungkin kamu bisa coba belajar sedikit." Aku merasa seperti ada benda tajam yang menghujam hatiku saat mendengar kata-kata itu.
Mertuaku mengangguk setuju. “Benar, Caca. Kalau kamu bisa lebih seperti Belinda, pasti rumah ini akan lebih harmonis. Tak hanya itu, kamu juga akan lebih disayangi Mas Danu. Semua orang butuh perhatian, dan Belinda tahu bagaimana caranya.”
bantu ngga.
mudah2an mereka bertiga dpt balesanya
blm sadar jga y,ngga minta maaf Ama Dina.
tuh mantan suami Dina kpn dapet karmanya.
kadang kasian Ama Caca, tp kenapa dia ngga mikir y gimana perasaan Dina. yg skg dia alami.
apa Caca ngga sadar ini ulahnya.
makin merasa terzolimi padahal dia sendiri pelakunya