Sudah tahu tak akan pernah bisa bersatu, tapi masih menjalin kisah yang salah. Itulah yang dilakukan oleh Rafandra Ardana Wiguna dengan Lyora Angelica.
Di tengah rasa yang belum menemukan jalan keluar karena sebuah perbedaan yang tak bisa disatukan, yakni iman. Sebuah kejutan Rafandra Ardana Wiguna dapatkan. Dia menyaksikan perempuan yang amat dia kenal berdiri di altar pernikahan. Padahal, baru tadi pagi mereka berpelukan.
Di tengah kepedihan yang menyelimuti, air mata tak terasa meniti. Tetiba sapu tangan karakter lucu disodori. Senyum dari seorang perempuan yang tak Rafandra kenali menyapanya dengan penuh arti.
"Air mata adalah deskripsi kesakitan luar biasa yang tak bisa diucapkan dengan kata."
Siapakah perempuan itu? Apakah dia yang nantinya akan bisa menghapus air mata Rafandra? Atau Lyora akan kembali kepada Rafandra dengan iman serta amin yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Diberi Pencerahan
Wajah cerah di pagi yang begitu hangat berubah ketika melihat cctv. Seketika raut wajah kalem berubah seram. Segera dilihat jam yang masih menunjukkan pukul enam.
Di lain kamar seorang perempuan yang tak diperbolehkan pulang semalam sudah terbangun dan sudah segar. Sang pemilik kamar berjanji akan mengantarkannya dulu ke kosan untuk berganti pakaian. Baru saja hendak menghubungi Rafandra, suara ketukan pintu membuatnya harus bangkit dari sana.
"Mbak, ini dari Mas Andra."
Salah satu asisten rumah tangga memberikannya sebuah goody bag merk ternama. Bingung sudah pasti, tapi dia harus menerimanya. Ketika dibuka alangkah terkejutnya ketika baju kerja yang ada di sana. Selang beberapa detik ponselnya bergetar.
"Saya enggak bisa antar kamu ke kosan. Jadi, pakailah itu. Kita langsung ke kantor dari sini."
Hembusan napas kasar keluar dari bibirnya. Ingin marah, tapi baru saja mereka berbaikan. Mau tidak mau dia harus manut saja.
"Pagi, Pak."
Rafandra yang sudah berada di ruang makan sambil memegang ponsel dengan raut datar menoleh ke asal suara. Dan dia cukup terpana dengan penampilan Talia pagi ini.
"Ke-kenapa?" tanyanya.
"Apa ada yang salah dengan penampilan saya?" Rafandra menggeleng dengan cepat. Lalu, menyuruhnya untuk sarapan.
Di perjalanan menuju kantor, ponsel Talia terus bergetar. Diraihnya ponsel yang ada di dalam tas. Bukannya dijawab, Talia malah terus memandangi layar ponsel tersebut. Tanpa dia sadari ada ujung mata yang sedari tadi memperhatikan dengan tajam. Talia terkejut ketika ada jari yang menggeser layar ponselnya agar panggilan itu terjawab. Speaker pun sudah diaktifkan.
"Tata!!"
Suara seseorang membuat Talia sontak menoleh ke arah Rafandra yang masih fokus pada jalanan dengan wajah sulit diartikan. Degup jantungnya sudah berdetak lebih cepat.
"Aku udah di depan kosan kamu. Mumpung aku lagi gak terlalu sibuk aku mau antar kamu kerja."
Sungguh Talia tak bisa berkata. Ponsel ditangan Talia kini sudah berpindah.
"Saya sudah di jalan mengantar Talia. Tolong sadar diri Anda siapa." Segera sambungan telepon itu diakhiri.
Rafandra mulai menoleh ke arah Talia yang juga masih menatapnya.
"Blokir." Singkat, jelas dan padat.
Di sepanjang perjalanan menuju kantor Talia terus memperhatikan mimik wajah Rafandra. Marahnya Rafandra begitu kentara.
"Pak, saya enggak pernah ngasih nomor saya ke dia. Saya--"
"Saya percaya." Menoleh sekilas untuk memastikan.
"Bapak bohong kan? Itu buktinya muka Bapak masih begitu."
Rafandra tersenyum mendengar ketidakpercayaan perempuan itu sambil terus memfokuskan pandangan pada jalanan.
,
.
Baru saja mendudukkan bokong di kursi kerja, suara nyinyiran karyawan senior terdengar. Namun, tak Talia hiraukan. Terserah mereka mau berkata apa. Talia mencoba untuk tak peduli.
Langkah kaki seseorang terdengar mendekat dan mulut mereka pun terkatup rapat. Ternyata yang datang bukan Rafandra melainkan putra dari Mas Agha yang sedang menelepon seseorang.
"Pa, kayaknya divisi Abang kudu kita bersihin deh. Sekalian kasih racun kecoa soalnya mulut-mulut kecoanya seperti enggak pernah makan bangku sekolah."
Mereka yang baru saja menyinyir Talia saling tatap dengan raut penuh takut. Pasalnya, lelaki tampan itu jika sudah berkata akan terealisasi. Apalagi dia sudah melapor ke pusat. Alhasil, Gyan sangat dibenci kehadirannya oleh para karyawan Wiguna karena dia seperti pemberantas hama yang datang tiba-tiba.
"Gy!"
Suara Rafandra terdengar. Talia tersenyum kecil melihat Rafandra yang meliriknya beberapa detik sebelum menghampiri Gyan. Dua lelaki itu berbincang serius dan tak lama masuk ke dalam ruangan.
Seperti biasa di jam istirahat Rafandra yang keluar bersama Gyan tetap memesankan makan siang untuk Talia.
"Sebegitunya jaga kakaknya si Varsha?"
Sang Abang yang tengah memilih makanan untuk dikirim kepada Talia mulai menegakkan kepala.
"Kan Abang udah terikat janji sama dia, Gy."
"Awalnya terikat janji sama adiknya. Ujungnya terikat cinta sama kakaknya," ejek Gyan seraya tertawa.
Rafandra terdiam. Respon seperti itu yang paling Gyan takuti. Lelaki si pemberani saja takut akan diamnya Rafandra. Bagaimana dengan Talia?
"Apa Abang bersikap berlebihan kepada dia?" Rafandra menatap serius Gyan.
"Kalau Abang emang enggak ada rasa sama dia, ya sangat berlebihan menurut Gy. Tapi, kalau Abang emang ada rasa ya wajar." Rafandra masih terdiam.
Keheningan tercipta di meja tempat mereka berada. Gyan masih menatap sang kakak.
"Setahu Gy sikap Abang kepada si liliput dan kepada kakaknya si Varsha sangat berbeda." Ucapan Gyan membuat Rafandra mendengarkan dengan seksama.
"Terbalik," lanjutnya.
"Ngejaga dia, Gy," kekeh Rafandra.
Gyan menghembuskan napas kasar karena kakaknya tetap kekeh dengan jawaban itu. Dia kembali menatap sang Abang yang memang baiknya kebangetan.
"Jika, Abang hanya menjaga si tali rapia, Abang bisa serahkan ke anak buah Abang yang udah Abang sebar tanpa harus Abang meninggalkan meeting yang belum selesai."
Kembali Rafandra terdiam. Dia mulai mencerna ucapan Gyan yang memang tanpa diberitahu apapun olehnya akan tahu segalanya karena mata adik sepupunya pun banyak.
"Selami hati Abang. Kalau emang Abang ada perasaan ungkapkan. Tapi, kalau hanya ingin menjaga jangan buat anak perawan orang kebaperan."
Rafandra seperti tengah diberi pencerahan oleh lelaki yang tiga tahun lebih muda darinya. Di mana lelaki itu seperti bunglon bisa memposisikan dirinya di manapun dia berada dan bersama siapa.
"Apa semudah itu Abang move on?"
"Bukan Abang yang mudah move on. Tapi, emang Abang enggak pernah cinta sama si liliput. Hanya sebatas terbiasa dan nyaman."
Tak ada jawaban dari Rafandra. Hanya hembusan napas kasar yang keluar.
"Ingat gak pesan Baba?" tanya Gyan kepada sang kakak yang mulai kembali memfokuskan perhatiannya padanya.
"Lelaki sebaik dan setulus Abang harus bersanding dengan perempuan yang lebih baik dan lebih tulus dari Abang."
...*** BERSAMBUNG ***...
Setelah membaca budayakan tinggalkan komentar. Kalau bisa yang banyak biar author semakin semangat up-nya.
semangat
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
gak papa mah kalo msih belom sadar ma perasaan masing2,pelan2 aja deh bang rafa &talia...