Anara Bella seorang gadis yang mandiri dan baik hati. Ia tak sengaja di pertemukan dengan seorang pria amnesia yang tengah mengalami kecelakaan, pertemuan itu malah menghantarkan mereka pada suatu ikatan pernikahan yang tidak terduga. Mereka mulai membangun kehidupan bersama, dan Anara mulai mengembangkan perasaan cinta terhadap Alvian.
Di saat rasa cinta tumbuh di hati keduanya, pria itu mengalami kejadian yang membuat ingatan aslinya kembali, melupakan ingatan indah kebersamaannya dengan Anara dan hanya sedikit menyisakan kebencian untuk gadis itu.
Bagaimana bisa ada rasa benci?
Akankah Anara memperjuangkan cintanya?
Berhasil atau berakhir!
Mari kita lanjutkan cerita ini untuk menemukan jawabannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama eNdut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perlakuan Manis
Nara berniat memesan taksi online untuk Vian sementara dirinya akan mengendarai motornya sendiri, namun Vian segera menolak, ia bersikeras ingin pulang bersama dengan Nara. Lelaki itu tidak mungkin membiarkan Nara pulang sendiri mengendarai motor dengan kaki yang belum sembuh.
“Suami mana yang akan membiarkan istrinya seperti itu”.
Ucapan Vian terngiang di kepala Nara yang kini tengah membonceng di belakang dan diam-diam tersenyum senang, dengan ragu-ragu di sertai rasa malu ia berpegangan pada jaket yang di pakai oleh Vian.
“Mungkin aku harus lebih berani”, batin Nara yang kemudian gadis itu memberanikan diri memajukan tangannya melingkar di perut Vian.
Tak ada respon penolakan dari lelaki itu membuat Nara Kembali tersenyum senang. Tanpa Nara ketahui, di balik helm Vian juga mengulum senyumnya saat melihat tangan Nara yang memeluknya erat. Satu tangan Vian mengelus pelan punggung tangan Nara sementara satu tangannya yang lain memegangi stang kemudi.
“Dia mengusap-usap tanganku”. Nara mengulum senyumnya, semburat merah keluar di wajah gadis itu. ”Ah bukankah dia terlalu manis?”.
Tidak ada perbincangan serius antara keduanya di sepanjang perjalanan pulang, hanya sesekali Vian menanyakan arah jalan dan Nara yang menjawab seperlunya. Tak butuh waktu lama keduanya telah sampai di rumah, Nara yang memang harus berangkat kerja setelahnya, menyempatkan diri untuk menyiapkan makan siang untuk suaminya. Walaupun mereka membeli makan dari luar di perjalanan pulang tadi untuk mempersingkat waktu, namun Nara lebih dulu memanaskannya dan menyiapkannya di meja makan.
“Mas, aku berangkat kerja dulu ya. Tidak apa kan aku tinggal?”.
“Tidak apa-apa Nara. Yakin tidak mau di antar?”.
“Lain kali saja Mas, Mas harus istirahat. Untuk makan siang, aku sudah menyiapkan makanannya di atas meja ya Mas”.
“Iya, terimakasih. Kamu yang hati-hati ya, kaki kamu masih sakit. Jika ada apa-apa segera kabari Mas”.
“Siap. Ya sudah aku berangkat”. Tak lupa Nara meraih tangan Vian dan mencium punggung tangannya.
Kedatangan Nara di tempat kerja pun mendapatkan senyuman aneh nan mencurigakan dari teman-temannya, Nara menduga jika ada sesuatu yang terjadi saat ia tidak berangkat kerja kemarin. Namun Nara hanya membalas senyuman mereka dan berlalu ke dalam ruangan yang memang di sediakan untuk para karyawannya bersiap-siap sebelum memulai aktivitasnya. Perlu di ketahui jika toko roti dan tempat pembuatan roti berada di bangunan yang terpisah walaupun saling berdekatan, sehingga di tempat Nara bekerja hanya ada delapan karyawan. Dia yang mendapat shift siang bersama dengan Lia dan dua temannya yang lain segera bersiap-siap mengganti seragamnya dengan kemeja krem dan rok span berwarna coklat pekat. Tak lupa mereka juga memakai appron dan tanda pengenal.
Pergantian shif di mulai, Nara memeriksa rak roti yang terlihat kosong dan segera mendatanya. Di toko roti tersebut juga menyediakan tempat bagi para pengunjung jika akan menikmati rotinya di tempat, namun tak banyak minuman yang tersedia di sana karena memang toko ini memfokuskan penjualan rotinya.
Jam istirahat telah tiba, Nara dan Lia berjalan ke loker masing-masing untuk mengambil bekal mereka dan membawanya ke taman belakang dimana tempat itu biasa di gunakan untuk para karyawannya saat jam istirahat tiba. Di tempat Nara bekerja memang tidak menyediakan jatah makan, namun setiap hari akan ada uang makan yang di perhitungkan di akhir bulan.
“Bawa apa kamu Nar?”, tanya Lia setelah mereka duduk di kursi dan saling berhadapan. Gadis itu membuka bekalnya dan terlihat nasi goreng dengan telur dan sosis utuh sebagai lauknya.
“Aku tidak memasak Li, jadi aku hanya membawa ini”, tunjuk Nara pada sebuah roti kemasan yang ia beli saat di perjalanan menuju ke sini.
Dengan menggigit roti berisi selai stroberry tersebut tangan Nara bergerak lincah memainkan ponselnya, satu pesan masuk di ponsel Nara saat gadis itu mulai mematikan mode pesawat yang sebelumnya ia pasang. Dia tersenyum saat mendapati pesan itu dari suaminya yang menanyakan keadaaanya. Dengan cepat Nara membalasnya, sembari menunggu Vian membalasnya ia berpindah membaca status whatsapp dari orang-orang yang kontaknya tersimpan di ponselnya. Nara terkejut saat mendapati status milik sepupunya, dia mengunggah foto candid Ibunya yang terlihat duduk di sebuah kursi namun yang menyita perhatiannya adalah background di belakang Ibunya yang bertuliskan nama puskesmas di Desannya.
“Kenapa Ibu disana? Apa ada yang sakit?”, batin Nara.
Nara mengirimi sepupunya pesan namun pesan tersebut hanya di baca dan tak lekas di balas membuat Nara yang tidak sabar menunggu segera menelponnya. Tak lama panggilan itu tersambung dan terdengar sapaan dari seberang telepon. Nara berpindah tempat sedikit menjauh dari tempat duduknya, tanpa basa-basi Nara langsung menanyakan maksud dari status whatsaap sepupunya itu.
“Sebenarnya Budhe melarangku untuk bicara padamu Mbak, tetapi aku rasa kamu perlu tahu. Budhe baru saja keluar dari puskesmas setelah tiga hari di rawat di sana, kondisinya drop gara-gara gosip tentangmu yang beredar di kampung Mbak”, jelas Mia, sepupunya itu setelah di tekan oleh Nara.
“Gosip? Gosip apa Mi?”.
“Kabar tentang pernikahanmu di kota tersebar Mbak. Beberapa hari ini aku ingin menanyakan kebenaran dari kabar tersebut tetapi aku ragu Mbak”.
Reflek, Nara menurunkan ponselnya, memeluknya di dada. Gadis itu mengerti sekarang. Pantas saja waktu Ibunya telepon terakhir kali, beliau menanyakan kabarnya dan mendesaknya untuk bercerita apa saja yang ia alami hari itu.
“Jika kamu punya sesuatu hal untuk ceritakan sama Ibu, ceritakan Nak, Ibu siap mendengarkan Ibu janji tidak akan marah”.
Nara menempelkan kembali ponsel ke telinga nya, dari seberang terdengar Ami yang memanggil-manggil namanya.
“Iya Mi, hallo. Mbak masih disini”.
“Iya Mbak, apa tidak sebaiknya Mbak menjelaskan semuanya ke Budhe?”.
“Dalam waktu dekat Mbak akan pulang ke kampung dan menjelaskan semuanya Mi, tolong kamu jaga Ibu ya Mi”.
“Baik Mbak, Mbak hati-hati ya disana”.
Panggilan di akhiri, Nara Kembali ke tempat duduknya, di mana Lia masih menikmati makan siangnya. Dengan wajah yang di tekuk Nara menelungkupkan wajahnya pada lipatan tangannya, mendengar kabar tersebut membuatnya tak berselera untuk meneruskan makan, jam istirahat juga hampir usai. Lia yang melihat itu merasa heran bukankah sebelumnya dia begitu ceria saat menceritakan momen indah bersama suaminya namun setelah telepon Nara malah terlihat murung.
“Ada apa Nar, telepon dari siapa?”.
Nara menarik nafas dalam lantas menatap wajah sahabatnya. "Sepertinya aku harus pulang Li".
“Kamu sakit? Atau suami kamu yang sakit?”.
“Bukan, tetapi Ibu aku yang ada di kampung Li, selain itu kabar pernikahanku juga sudah menyebar di sana dan pasti Ibu sangat syok mendengarnya”.
“Lah bagaimana bisa? Bukannya kamu belum cerita sama Ibu kamu?”
“Entah aku juga belum tau pasti bagaimana kabar tersebut bisa sampai ke sana Li".
“Kampungmu jauh Nar, paling tidak kamu membutuhkan libur tiga sampai empat hari kan”.
“Ya, maka dari itu, aku bingung sekarang".
“Begini saja, ambilah cuti Nar, aku dan Joy akan bergantian mengisi jam kerjamu”.
“Tapi …..”
“Jangan pikirkan yang lain-lain, kamu sering menggantikan kita, sekarang giliran kita untuk menggantikanmu, masih ada waktu istirahat, lebih baik kamu menemui Mas Andre sekarang Nar”.
Nara mengangguk, ia segera merapikan bekal makanannya dan berlalu menuju ruangan Mas Andre untuk meminta izin. Untung saja Nara memiliki teman baik yang mau membantunya dengan menggantikan pekerjaannya.
"Kamu tahukan syarat yang saya berikan jika ada karyawan yang ingin mengambil cuti secara mendadak", ucap Mas Andre setalah Nara mengatakan maksud kedatangannya ke ruangan atasannya itu.
"Saya tahu Mas Andre, Lia dan Joy akan menggantikan pekerjaan saya selama saya mengambil libur".
"Baiklah jika begitu, kapan kamu akan berangkat Nar?".
"Besok pagi Mas".
Andre mengangguk lantas mengambil sebuah amplop putih dari laci mejanya. "Ada sedikit uang untukmu, salam untuk Ibu kamu, semoga lekas sehat". Andre memang seorang pemimpin yang baik, ia begitu mengayomi karyawannya.
"Terimakasih banyak Mas, saya permisi dulu".
Nara keluar dari ruangan Mas Andre dengan perasaan lega. Ia segera menghampiri Lia yang sedang menungguinya di taman belakang. "Bagaimana Nar, apa Mas Andre mengizinkan?", tanya Lia penasaran.
Nara mengangguk, "Iya, aku di izinkan cuti mulai besok pagi".
"Syukurlah, sekarang kamu bisa tenang dan mengurus masalah di kampungmu".
"Iya, terimakasih Lia, dan tolong sampaikan pada Joy juga nanti. Aku sangat berterimakasih pada kalian berdua", ucap Nara dengan rasa syukur.
Lia tersenyum, "Sama-sama Nara, kita adalah teman, bukankah sesame teman harus saling membantu", ucap Lia.
Mereka berdua kemudian kembali ke tempat kerja, menyelesaikan sisa pekerjaan mereka sebelum jam kerja berakhir. Setelah selesai bekerja, Nara segera pulang ke rumahnya, mempersiapkan diri untuk perjalanan esok pagi. Ia juga memastikan bahwa semua barang yang dibutuhkan sudah terbawa, termasuk pakaian dan dokumen penting. Malam itu, Nara tidur lebih awal dari biasanya, karena ia harus bangun pagi untuk memulai perjalanan panjang menuju kampung halamannya.