Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 20 — Tangisan Selamat Datang —
Hutan malam itu begitu sunyi. Hanya suara angin yang berbisik pelan di antara dedaunan dan langkah kaki kami yang terdengar, menyeret rasa lelah yang kian menguasai tubuhku. Setiap langkah terasa berat, seperti membawa seluruh beban dunia di pundakku. Tubuhku nyaris tak mampu bertahan, tetapi tangannya—tangan kecil itu—memeluk pinggangku erat, menopangku agar aku tidak jatuh.
"Eirene, aku bisa berjalan sendiri," gumamku, meski aku tahu ucapanku lebih menyerupai kebohongan daripada kebenaran.
"Diam," jawabnya singkat, tetapi penuh dengan ketegasan yang tidak memberiku ruang untuk berdebat.
Kami terus berjalan, menyusuri jalan setapak yang remang. Aroma hutan, lembap dan segar, seolah menenangkan sebagian kecil pikiranku. Namun, rasa sakit yang menjalar dari setiap luka di tubuhku membuatku tetap waspada, mengingatkan betapa rapuhnya aku saat ini.
Akhirnya, kami sampai di sebuah tempat terbuka yang cukup aman. Cahaya bulan menembus celah-celah dedaunan, menciptakan pola-pola bayangan yang menari di atas tanah. Eirene menghentikan langkahnya, menarikku untuk duduk di bawah pohon besar yang rindang.
Sebelum aku sempat berkata apa-apa, ia mendekat dan kembali memelukku.
Pelukannya begitu erat, seolah ia takut aku akan menghilang lagi jika ia sedikit saja melonggarkan cengkeramannya. Hangat tubuhnya terasa nyata di tengah dinginnya malam, tetapi tubuhku yang lelah hampir tidak mampu menahan beban itu. Lututku gemetar, dan aku hampir terjatuh jika saja aku tidak memaksakan diriku untuk tetap tegap.
Tanganku perlahan terangkat, gemetar karena kelelahan, dan aku membalas pelukannya. Tubuhku terasa ringan sekaligus berat saat itu—ringan karena hangatnya pelukan itu, tetapi berat karena rasa bersalah yang menghantui pikiranku.
"Eirene..." suaraku serak, hampir tidak terdengar.
Ia tidak menjawab. Hanya suara isakannya yang lirih terdengar di telingaku, seperti melodi yang memilukan. Aku bisa merasakan bahunya bergetar, dan setiap tangisnya membuat dadaku semakin sesak.
"Kenapa kau pergi, Hayato?" akhirnya ia bertanya dengan suara yang pecah di tengah isakannya. "Aku... aku sendirian. Aku kesepian. Aku takut kau tidak akan kembali."
Aku terdiam. Kata-katanya menusukku lebih dalam daripada luka mana pun di tubuhku. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar, tetapi mendengar kata-katanya langsung membuat rasa bersalah itu semakin nyata.
"Maafkan aku, Eirene," kataku akhirnya, meski suaraku terdengar begitu kecil. "Aku tidak seharusnya meninggalkanmu. Aku terlalu bodoh, terlalu naif. Aku berpikir..."
Ia tiba-tiba menarik diri, memutuskan pelukan itu untuk menatap mataku. Air mata masih mengalir di pipinya, tetapi tatapannya penuh dengan keteguhan.
"Jangan meminta maaf, Hayato," katanya dengan suara tegas. "Kau tidak salah. Kau hanya mencoba melakukan apa yang kau pikir benar. Tapi sekarang... kau kembali. Itu sudah cukup bagiku."
Mataku membelalak, terkejut mendengar kata-katanya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Tatapannya begitu tulus, begitu penuh kasih sayang, meski aku tahu aku telah menyakitinya.
Ia tersenyum kecil, meski air mata masih mengalir. Tangannya yang kecil dan lembut terangkat, mengusap wajahku dengan hati-hati, seolah ia takut menyakitiku.
"Selamat datang kembali, Hayato," katanya dengan suara yang lembut.
Kata-katanya membuat dadaku terasa hangat, meski tubuhku masih penuh dengan rasa sakit. Aku hanya bisa mengangguk pelan, membiarkan kehangatan dari senyumnya meredakan sedikit rasa bersalah yang masih menghimpit hatiku.
Kami duduk bersama di bawah pohon itu. Eirene menatapku tanpa henti, matanya penuh dengan kekhawatiran. Ia tidak berhenti menanyakan apakah aku baik-baik saja, apakah aku membutuhkan sesuatu.
"Aku baik-baik saja, sungguh," kataku, mencoba tersenyum untuk menenangkannya.
Tapi dalam hati, aku tahu aku tidak baik-baik saja. Bukan hanya tubuhku yang terluka, tetapi hatiku juga. Aku merasa hancur, merasa seperti seorang pengecut yang telah melarikan diri dari tanggung jawabku.
Eirene, sebaliknya, tampak begitu kuat. Ia mengumpulkan ranting-ranting untuk membuat api unggun kecil, lalu membantuku membersihkan luka-lukaku dengan daun-daunan yang ia kumpulkan. Gerakannya penuh kehati-hatian, dan aku hanya bisa menatapnya dengan rasa terima kasih yang mendalam.
"Hayato," katanya tiba-tiba, menghentikan kegiatannya. "Jangan pernah meninggalkanku lagi."
Aku menatapnya, melihat ketulusan di matanya. "Aku tidak akan pergi lagi, Eirene. Aku berjanji."
Ia tersenyum, lalu kembali merawat lukaku. Sementara itu, aku hanya bisa merenung, memikirkan betapa beruntungnya aku memiliki seseorang seperti Eirene di sisiku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi untuk saat ini, aku merasa sedikit damai di tengah kekacauan dunia ini.
Eirene kemudian duduk di sebelahku, api unggun kecil di depan kami memberikan kehangatan di tengah dinginnya malam hutan. Udara malam yang segar bercampur dengan aroma kayu yang terbakar, menciptakan suasana yang hampir menenangkan. Tapi pikiranku masih kacau, berputar-putar tanpa arah.
Eirene menatapku lekat, matanya penuh perhatian dan kekhawatiran. Aku tahu ia ingin bertanya banyak hal, tetapi mungkin ia menunggu waktu yang tepat. Sementara itu, aku hanya menatap api di depan kami, mencoba mengatur pikiran yang tidak kunjung tenang.
Setelah beberapa saat keheningan, Eirene akhirnya bersuara, suaranya lembut namun tegas.
"Hayato... kemana tujuan kita sekarang?"
Aku terdiam, memikirkan jawabanku. Pertanyaan itu sederhana, tetapi jawabannya tidak. Bagaimana aku harus mengatakannya? Setelah apa yang terjadi, setelah semua luka dan kelelahan ini, aku tahu jawaban itu akan membawa kami ke jalan yang lebih berbahaya.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri. Lalu, dengan suara pelan tetapi penuh keyakinan, aku menjawab.
"Kita akan menuju ke kastil Raja Iblis."
Eirene terdiam, menatapku dengan mata membelalak. Ia tampak terkejut, mungkin tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Ke... kastil Raja Iblis?" tanyanya, memastikan.
Aku mengangguk pelan. "Ya. Itu tujuanku sejak awal. Dan itu... tempat di mana aku seharusnya berada."
Eirene menatapku lama, seolah mencari sesuatu dalam tatapanku. Aku tahu ia sedang berusaha memahami alasanku, mencoba mencari kebenaran di balik kata-kataku.
"Tapi kenapa, Hayato?" tanyanya akhirnya. "Kenapa ke sana? Apa yang ada di kastil Raja Iblis yang begitu penting bagimu?"
Aku mengalihkan pandangan, menatap api unggun yang berkilauan. Rasanya sulit untuk mengungkapkan semuanya, tetapi aku tahu ia pantas mendapatkan penjelasan.
"Eirene..." aku memulai, suaraku pelan. "Aku bukan seperti yang kau kira. Aku mungkin bukan orang baik ataupun seorang pahlawan, bukan pula orang yang dipanggil untuk menyelamatkan dunia ini. Aku adalah... calon Raja Iblis."
Kata-kata itu terasa berat di lidahku, tetapi begitu keluar, rasanya seperti beban yang sedikit terangkat. Eirene terdiam lagi, ekspresinya sulit terbaca. Aku tidak tahu apakah ia terkejut, marah, atau bahkan takut.
Aku melanjutkan bicaraku sembari mengangguk, menundukkan kepala. "Mereka tahu siapa aku, atau setidaknya mereka mencurigainya. Itulah sebabnya teman sekelasku mencoba membunuhku. Dan itulah mengapa aku harus pergi ke kastil Raja Iblis. Itu satu-satunya tempat di mana aku bisa menemukan jawaban, tempat di mana aku bisa menjadi diriku sendiri."
Eirene menatapku lagi, kali ini dengan ekspresi yang lebih lembut. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi aku bisa melihat dalam matanya bahwa ia mencoba memahami.
"Kalau begitu, aku ikut denganmu," katanya tiba-tiba.
"Eh?!"
Jujur saja, aku terkejut dengan kata-katanya.
untuk sistemnya sebenarnya gaada yang spesial, tapi gua suka liat cara MC manfaatin skill yang ada dari sistem itu, dia kaya berusaha nyoba semua skillnya pas bertarung, ga kaya kebanyakan di cerita lain yang skillnya itu cuma jadi pajangan alias ga dipake samsek dengan alasan ini itu.
di bagian pacing, ceritanya emang berjalan agak lambat, tapi gua masih bisa nikmatin karena itu jadi nilai plus sesuai apa yang gua sebut di awal tapi, yaitu realistis.