Di tolak tunangan, dengan alasan tidak layak. Amelia kembali untuk balas dendam setelah delapan tahun menghilang. Kali ini, dia akan buat si tunangan yang sudah menolaknya sengsara. Mungkin juga akan mempermainkan hatinya karena sudah menyakiti hati dia dulu. Karena Amelia pernah berharap, tapi malah dikecewakan. Kali ini, gantian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*33
"Apakah aroma bunga kenanga yang tuan muda maksudkan?"
Sontak, Ricky langsung bangun dari duduknya. Wajahnya pun penuh dengan semangat.
"Iya, Yas. Aroma bunga kenanga. Kamu menciumnya, bukan?"
"Benar, tuan muda. Saya menciumnya. Saya pikir, itu adalah parfum yang nona muda pakai. Tapi, wanginya tetap sama sejak pertama bertemu, hingga saya mengantarnya pulang. Seolah, wanginya itu tidak terpengaruhi oleh aroma yang lainnya. Tetap saja sama."
Seketika, senyum di bibir Ricky terkembang.
"Aku sudah tahu itu. Sekarang, tidak ada keraguan lagi dalam hatiku. Dia, memanglah dia."
Iyas yang ada di ujung panggilan dibuat bingung akan ucapan tuan mudanya. Namun, belum sempat Iyas angkat bicara, Ricky malah sudah mengakhiri panggilannya dengan cepat.
"Aish, apa yang tuan muda katakan? Sungguh sangat membingungkan."
Iyas menggelengkan kepalanya. Meletakkan ponsel ke atas nakas setelah memperhatikan layar ponsel yang sudah tidak lagi menyala. Napas dia tarik dengan kasar. Setelahnya, merebahkan tubuh di atas kasur. Bagaimanapun, dia cukup tahu seperti apa tuan muda Amerta nya itu. Sangat menakutkan dan susah untuk di tebak.
"Huft."
Sementara itu, di sisi lain, Ricky yang baru selesai menghubungi anak buah kepercayaannya itu malah semakin gundah. Kali ini, bukan dilema antara tebakannya benar atau salah. Malah, tentang bagaimana caranya agar dia bisa berkunjung ke kediaman Racham. Tapi, tidak sebagai tunangan Citra. Karena dia sangat ingin melihat Melia. Dan, tidak ingin membuat gadis pujaan hatinya semakin membenci dirinya.
"Ah!" Ricky menutup matanya dengan tangan. Wajahnya dia dongakkan ke atas.
"Fendi!"
"Fendi ...!"
Yang di panggil malah tidak kunjung muncul. Alhasil, rasa gusar dalam hati Ricky malah semakin membesar. Harus dia ulang lagi panggilannya supaya Fendi segera datang.
"Fendi ...!"
Bagaimana mungkin Fendi akan segera datang. Ricky di kutub utara, Fendi nya ada di kutub selatan. Ya kali Fendi langsung muncul setelah Ricky panggil. Bagaimanapun setianya Fendi, tetap saja dia tidak akan muncul jika kupingnya tidak mendengar sedikitpun suara Ricky yang sedang memanggil namanya.
Ricky menarik napas berat. Sesaat kemudian dia baru ingat kalau jarak antara ruang kerja dengan kamar Fendi itu sangat jauh. Mana mungkin Fendi bisa datang untuk memenuhi panggilannya.
"Huhf!"
Hembusan napas berat kembali Ricky perdengarkan. Ringan tangan Ricky meraih kembali ponsel yang ada di atas meja kerjanya. Lincah pula tangan itu menekan layar dari ponsel tersebut. Namun, baru juga jarinya ingin menekan layar untuk menghubungi Fendi, nama Iyas malah langsung muncul.
"Iyas?"
Ricky langsung menggeser layar ponsel untuk menjawab panggilan dari Iyas. Seketika, suara Iyas terdengar agak panik. Tidak seperti biasanya. Pria yang selalu tenang itu kini mengeluarkan nada agak tinggi dengan tergesa-gesa.
"Tuan muda. Sesuatu yang besar telah terjadi di sini. Suasana di kediaman Racham sedang sangat kacau."
"Apa!"
"Apa yang terjadi di sana, Iyas?"
"Nyonya Rika di tangkap polisi."
"Apa? Bagaimana bisa?"
"Tidak. Apa yang terjadi dengan nona muda pertama? Apa dia baik-baik saja sekarang."
"Ha?"
"Iyas!"
"Ah! No-- nona muda pertama baik-baik saja. Dia .... "
"Aku ke sana sekarang," ucap Ricky cepat tanpa menunggu Iyas menyelesaikan panggilannya terlebih dahulu.
Iyas pun hanya bisa geleng-geleng kepala kembali. Niatnya, dia ingin mengatakan kalau Melia lah yang sudah membuat mama tirinya di tangkap polisi. Eh ... ini tuan muda malah sangat tidak sabaran. Langsung aja memutuskan panggilan secara sepihak.
Sementara itu, suasana di kediaman Racham memang sangat tidak baik-baik saja. Polisi datang dengan cepat setelah memproses laporan yang di kirimkan secara beruntun oleh Melia. Polisi melakukan penangkapan karena semua bukti kejahatan Rika sudah sangat lengkap.
"Tidak! Saya tidak bersalah. Saya di jebak pak polisi. Saya di fitnah. Semua ini tidak benar. Semua ini bohong." Lantang suara Rika memecah kesunyian malam.
Tentu saja wanita itu langsung melakukan perlawanan. Karena dia pikir, dia masih bisa lolos hanya dengan menyangkal tuduhan yang sedang dilimpahkan padanya.
"Ikut kami ke kantor polisi sekarang juga. Semua bukti yang mengarahkan pada anda sudah sangat jelas. Jadi, kami terpaksa menindaklanjuti anda sekarang juga."
"Tidak! Tolong!"
"Papa! Melia! Aku tidak membunuh mama kamu. Jangan fitnah aku."
"Mama."
"Pak polisi, mama ku tidak mungkin melakukan hal gila ini. Dia tidak mungkin menyakiti mamanya Melia. Ini fitnah, pak. Ini bohong."
Citra tentu saja ikut berusaha untuk membela sang mama. Tidak perduli akan sang mama salah atau benar. Baginya, dia harus bisa membuat mamanya bebas dari hukuman apapun. Karena dengan sang mama, dia bisa melakukan banyak hal.
"Papa. Katakan sesuatu, Pa! Mama tidak bersalah," ucap Citra sambil memegang lengan papanya.
Sayang, orang tua itu malah terdiam membisu kini. Seolah, kenyataan pahit yang sedang dia hadapi saat ini telah menarik kesadarannya keluar dari tubuh. Papa Melia terlihat lemas tanpa tenaga sedikitpun.
"Papa ... katakan sesuatu, Pa. Tolong mama," ucap Citra lagi sambil menangis.
"Tolong mama pa!"
Karena si papa tidak ada respon sedikitpun, Citra langsung menghampiri Melia yang sedang berdiri tegap dengan tangan di lipat ke atas perut. Wajahnya penuh harap sambil menangis terisak.
"Kak Meli. Tolong ... selamatkan mama. Ku mohon, tolong mama. Jangan penjarakan mama, kak. Ku mohon."
"Ha? Kamu bilang apa? Jangan penjarakan mama mu?"
"Sadarlah, Citra. Setiap kejahatan pasti ada hukumannya."
"Jika tidak ingin menerima hukuman, maka jangan berbuat jahat."
"Hiks. Tidak. Mama tidak berbuat jahat."
Citra menyeka air mata yang jatuh. Dia pun langsung mundur menjauh dari Melia beberapa langkah.
"Mama ku tidak melakukan hal itu! Mama tidak menyakiti orang lain!"
"Melia! Kamulah yang sudah memfitnah mama kamu! Aku akan balas perbuatan mu sekarang!"
Citra menggila. Setelah berucap, dia langsung maju dengan cepat untuk menyerang Meli. Namun, baru juga dia ingin mencapai ke dekat Meli, suara seseorang langsung menghentikan niatnya untuk menyentuh Melia.
"Citra!"
Seketika, perhatian mereka yang ada di ruangan tersebut langsung teralihkan. Siapa lagi dia kalau bukan tuan muda Amerta. Niatnya datang untuk melihat keadaan. Eh ... malah jadi ikut-ikutan ambil andil sebentar lagi.
Ya. Karena setelah melihat kedatangan Ricky, Citra langsung berlari untuk menjemput si tunangan. Setelahnya, Citra langsung menghambur ke dalam pelukan Ricky. Memeluk tubuh itu dengan erat tanpa sempat Ricky menolaknya.
"Hah! Ini dia tokoh utamanya sudah datang." Meli bergumam sambil membuang muka.
"Coba saja halangi aku malam ini. Dia pasti akan menerima akibatnya." Lagi, Meli kembali bergumam. Yang tentunya, kata-kata yang dia ucapkan masih bisa Ricky dengan dengan sangat baik walau sedikit tidak jelas.
Ricky langsung menatap lekat perempuan yang sangat dia rindukan sejak delapan tahun terakhir. Sungguh, matanya kini berkaca-kaca. Rasa bahagia yang sangat amat sulit untuk Ricky gambarkan dengan apapun itu kebahagiaan sebelumnya.
tp karena mereka bodoh maka akalnya tak sampai kesitu 😀