Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekanan
Ibunya menatapnya dengan sorot mata tajam, tidak menunjukkan sedikit pun tanda belas kasih. "Bukan begitu, Naya. Tapi kamu harus ingat bahwa dalam sebuah hubungan, ada tanggung jawab yang harus dijaga. Arfan memang bersalah, tapi kamu juga harus belajar memperhatikan diri sendiri. Pria, bahkan suami, butuh istri yang bisa menyeimbangkan semuanya, bukan hanya fokus pada pekerjaan."
Naya tak lagi mampu menahan air matanya. Ia berdiri dengan kasar, mendorong kursi yang didudukinya hingga bergeser dengan bunyi nyaring. “Jadi, sekarang semuanya salahku? Aku yang dikhianati, tapi justru aku yang disalahkan? Aku bekerja keras karena itu satu-satunya yang bisa kuandalkan! Tanpa pekerjaan ini, aku bahkan tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup!”
Dengan cepat, Naya berbalik menuju pintu. Ia tidak ingin mendengarkan lebih jauh. Setiap kata yang keluar dari mulut ibunya hanya menambah luka di hatinya. Sebelum ibunya sempat berkata lebih banyak, Naya sudah keluar dari rumah, membanting pintu dengan keras.
Tangisannya pecah saat ia berjalan menjauh dari rumah. Udara sore yang sejuk tidak mampu menenangkan kegelisahan yang bergemuruh di dalam dadanya. Setiap langkah terasa berat, setiap napas terasa sesak. Widuri, yang menunggu di mobil, segera keluar dan menghampirinya begitu melihat Naya yang tampak terpukul.
"Naya, apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?" tanya Widuri, cemas. Tatapannya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.
Naya menggeleng, mencoba berbicara meski isak tangis masih tersisa di suaranya. "Aku nggak kuat, Wid. Aku pikir dengan menceritakan semuanya, aku akan mendapatkan dukungan dari ibu... tapi malah aku yang disalahkan. Dia bilang Arfan selingkuh karena aku berantakan. Karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaan." Kalimat itu terlontar dengan penuh rasa sakit, seakan mengeluarkan semua beban yang selama ini ia simpan sendiri.
Widuri menghela napas panjang, lalu menarik Naya ke dalam pelukannya. "Jangan dengarkan kata-kata ibu kamu, Naya. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Arfan selingkuh itu bukan salahmu. Itu karena dia yang memang brengsek, bukan karena penampilanmu atau karena pekerjaanmu."
Naya terisak dalam pelukan sahabatnya. "Tapi kenapa semuanya terasa salah? Kenapa semua ini terjadi padaku?"
Widuri mengusap punggung Naya dengan lembut, mencoba menenangkannya. "Kadang hidup memang nggak adil, Nay. Tapi kamu harus kuat. Kamu udah bertahan sejauh ini, jangan biarkan omongan orang lain, bahkan ibu kamu, membuat kamu meragukan dirimu sendiri."
Setelah beberapa saat, Naya akhirnya melepaskan pelukan itu, meski air matanya masih membasahi wajahnya. Namun, dukungan Widuri memberinya sedikit kekuatan, cukup untuk membuatnya kembali berdiri.
“Kita pergi dari sini, Wid,” ujar Naya dengan suara yang bergetar, namun nadanya sudah lebih tegas.
Widuri mengangguk. "Oke, kita cabut. Jangan khawatir, kita bakal hadapi semuanya bareng-bareng."
Keduanya masuk ke dalam mobil, meninggalkan rumah orang tua Naya di belakang mereka. Sementara mobil melaju, Naya mencoba mengatur napasnya, meskipun pikirannya masih kacau. Jalan hidupnya terasa semakin berat, penuh tantangan yang tak ia duga sebelumnya. Namun, satu hal yang pasti—Naya tidak akan menyerah. Ia bertekad untuk terus maju, meski harus menghadapi badai yang lebih besar di depannya.
Di dalam mobil, Naya duduk dengan perasaan marah yang masih berkecamuk di hatinya. Pikirannya terus memutar percakapan dengan ibunya, dan semakin ia mengingatnya, semakin besar rasa kecewanya. Alih-alih mendapatkan dukungan yang ia harapkan, ibunya justru sibuk mengkritik penampilannya, seakan-akan itu menjadi alasan utama kegagalan hubungannya dengan Arfan.
"Jika saja ibuku tahu bahwa Arfan telah mengambil uangku, dia pasti tidak akan membelanya," gumam Naya dengan nada kesal, sambil memandang keluar jendela. Ia mengepalkan tangannya, merasa semakin tertekan oleh kenyataan bahwa ibunya masih melihat Arfan dengan pandangan yang terlalu lunak.
Namun, Naya juga menyadari bahwa ia tak ingin ibunya tahu kebodohan yang telah ia lakukan. Betapa ia telah membiarkan dirinya dimanfaatkan oleh Arfan, seorang laki-laki yang hanya mementingkan diri sendiri. Rasa malu dan marah bercampur, membuat hatinya semakin sesak. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan ibunya, meskipun kenyataannya ia telah menjadi korban dari kelicikan Arfan.
Widuri, yang duduk di sebelah Naya, menyadari kegelisahan yang tampak jelas di wajah sahabatnya. Namun, ia memilih untuk tidak berkata apa-apa. Ia tahu bahwa Naya membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, dan apapun yang dikatakannya sekarang mungkin tidak akan banyak membantu. Mobil melaju dalam kesunyian, sementara Naya terus bergulat dengan emosinya sendiri.
Di sisi lain, tanpa sepengetahuan Naya, ibunya merasa gelisah setelah percakapan mereka yang tidak berakhir baik. Meskipun ibunya terdengar keras saat berbicara tadi, jauh di dalam hatinya, ia tetap peduli pada putrinya. Ia menyadari bahwa kritiknya mungkin terlalu tajam, namun ia merasa bahwa mengubah penampilan Naya bisa membantu memperbaiki suasana hati dan pandangan hidupnya. Karena itulah, ia memutuskan untuk menghubungi Widuri lewat pesan singkat.
“Widuri, tolong bantu Naya. Aku khawatir dengan keadaannya. Bantu dia agar penampilannya lebih baik, lebih feminim. Mungkin itu bisa sedikit mendorong semangatnya,” demikian bunyi pesan yang diterima Widuri.
Setelah membaca pesan itu, Widuri hanya bisa menatap Naya yang duduk di sampingnya. Sahabatnya masih terlihat kesal, dengan wajah yang menampakkan perasaan terpendam yang belum selesai. Widuri menghela napas dalam, merasa berada di antara dua pihak yang sama-sama ia sayangi. Di satu sisi, ia memahami maksud baik dari ibunya Naya, namun di sisi lain, ia tahu bahwa Naya sedang tidak berada dalam kondisi yang tepat untuk mendengar hal seperti itu, apalagi setelah pembicaraan yang begitu menyakitkan dengan ibunya tadi.
Widuri menoleh ke arah Naya, memperhatikannya sejenak. Sahabatnya itu tampak lelah, baik fisik maupun emosional. Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan penampilan atau hal-hal yang berkaitan dengan nasihat ibunya. Untuk sementara, ia memilih untuk tidak membahas pesan itu. Ia tahu bahwa Naya butuh dukungan, bukan paksaan, terutama setelah segala yang telah terjadi.