Tomo adalah seorang anak yang penuh dengan imajinasi liar dan semangat tinggi. Setiap hari baginya adalah petualangan yang seru, dari sekadar menjalankan tugas sederhana seperti membeli susu hingga bersaing dalam lomba makan yang konyol bersama teman-temannya di sekolah. Tomo sering kali terjebak dalam situasi yang penuh komedi, namun dari setiap kekacauan yang ia alami, selalu ada pelajaran kehidupan yang berharga. Di sekolah, Tomo bersama teman-temannya seperti Sari, Arif, dan Lina, terlibat dalam berbagai aktivitas yang mengundang tawa. Mulai dari pelajaran matematika yang membosankan hingga pelajaran seni yang penuh warna, mereka selalu berhasil membuat suasana kelas menjadi hidup dengan kekonyolan dan kreativitas yang absurd. Meski sering kali terlihat ceroboh dan kekanak-kanakan, Tomo dan teman-temannya selalu menunjukkan bagaimana persahabatan dan kebahagiaan kecil bisa membuat hidup lebih berwarna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drama di Kantin Sekolah
Tomo, Lina, Sari, dan Arif berjalan beriringan menuju kantin. Suara langkah kaki mereka nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk suara kantin yang ramai. Anak-anak berteriak saling memanggil, piring dan gelas berdenting, dan beberapa siswa mencoba mendapatkan perhatian Ibu Kantin yang sibuk melayani antrian.
“Kamu mau makan apa, Tomo?” tanya Lina sambil melirik papan menu yang digantung di belakang meja kasir. “Ada mie goreng spesial hari ini.”
Tomo mengusap dagunya, berpikir keras. “Hmm… mie goreng spesial terdengar menarik… Tapi mungkin hari ini aku mau coba nasi goreng telor.”
Sari tertawa kecil. “Nasi goreng telor lagi? Bukannya kamu makan itu tiap hari?”
Tomo mengangguk dengan senyum lebar. “Iya, tapi aku selalu bilang, rasanya beda tiap hari! Hari ini pasti lebih spesial!”
Lina menepuk dahinya. “Tomo, Tomo… Rasanya nggak mungkin berubah kecuali kamu yang masak.”
Sementara itu, Arif sudah sibuk menatap jajaran makanan di etalase kaca di depan meja Ibu Kantin. “Eh, lihat, ada sosis bakar! Aku mau yang itu!”
Mereka berempat akhirnya memutuskan pesanannya dan menunggu di antrian. Di belakang mereka, ada beberapa anak yang ribut membahas pertandingan sepak bola kemarin, dan di sudut lain, ada kelompok anak perempuan yang sibuk dengan gosip terbaru tentang siapa yang suka siapa.
Tiba-tiba, suara keras terdengar dari arah dapur. Salah satu panci besar jatuh dengan bunyi dentuman yang mengagetkan semua orang. Tomo dan teman-temannya langsung menoleh ke arah suara itu.
“Eh, apaan tuh?” tanya Arif dengan mata membelalak.
Ibu Kantin keluar dari dapur sambil menghela napas panjang. “Maaf ya, anak-anak! Tadi panci jatuh. Untung nggak ada yang terluka,” katanya sambil tersenyum.
Tomo menarik napas lega. “Wah, aku kira ada ledakan bom atau semacamnya. Aku udah siap-siap lari ke luar jendela.”
Sari menggelengkan kepalanya sambil tertawa. “Bom di kantin? Tomo, kamu nonton terlalu banyak film aksi deh.”
Mereka akhirnya mengambil makanan yang sudah siap dan mencari tempat duduk. Karena kantin begitu penuh, mereka terpaksa berbagi meja dengan kelompok lain. Di meja yang sama, ada seorang anak dari kelas lain yang sedang asyik menyantap bakso.
Tomo duduk berhadapan dengan anak itu dan tanpa sengaja menyenggol sendoknya. “Ups, maaf!” Tomo buru-buru meminta maaf sambil tersenyum kikuk.
Anak itu hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa, tapi matanya terlihat memicing curiga. Mungkin karena dia tidak terbiasa berbagi meja dengan orang lain.
“Ayo, makan!” seru Tomo, memecah keheningan yang sempat terjadi. Dia menyendok nasi gorengnya dengan penuh semangat dan langsung memasukkannya ke mulut.
Namun, di saat yang sama, wajah Tomo tiba-tiba berubah menjadi merah. Matanya terbuka lebar dan air matanya hampir menetes.
“Kenapa, Tomo?” tanya Lina sambil menahan tawa melihat ekspresi Tomo yang aneh.
Tomo terbatuk-batuk sambil melambaikan tangan di depan wajahnya. “P-pedas banget! Siapa yang taruh cabe sebanyak ini di nasi goreng telorku?!”
Sari tertawa terbahak-bahak sambil menepuk meja. “Hahaha, Tomo, kamu nggak cek dulu apa? Mungkin itu nasi goreng level super pedas yang spesial hari ini!”
Arif ikut tertawa, tapi tetap memberikan air mineral pada Tomo. “Ini, minum dulu. Daripada kamu kehausan di sini.”
Tomo langsung meneguk airnya dengan cepat, menghabiskan satu gelas penuh dalam beberapa detik. Setelah itu, dia menarik napas panjang dan berkata, “Oke, siapa pun yang masak ini pasti berusaha menjebakku. Tapi aku nggak akan kalah! Aku akan habiskan ini sampai habis!”
Lina terbelalak tak percaya. “Serius? Kamu beneran mau makan semua itu?”
“Of course!” jawab Tomo dengan penuh semangat, walau wajahnya masih terlihat merah karena kepedasan. “Seorang petualang sejati nggak pernah mundur dari tantangan, bahkan kalau itu cuma nasi goreng pedas!”
Percakapan yang Semakin Absurd
Sementara Tomo melanjutkan perjuangannya dengan nasi goreng pedasnya, Lina, Sari, dan Arif mulai membahas hal-hal lain. Sari melihat ke arah seorang guru yang sedang makan di meja lain dan berbisik, “Kalian tahu nggak, Bu Rini ternyata punya kucing sebanyak tujuh ekor di rumahnya?”
“Serius? Tujuh ekor?” Lina membelalak. “Aku bahkan susah ngurus satu kucing di rumah.”
Arif ikut nimbrung. “Mungkin Bu Rini punya rahasia khusus buat ngurus kucing. Kucing-kucingnya mungkin disiplin banget, kayak murid-murid di kelas.”
Sari tertawa kecil. “Bayangin aja, kucing-kucingnya duduk rapi di meja makan sambil nunggu disuruh makan.”
Tomo yang sudah mulai bisa bicara lagi karena kepedasannya berkurang, tiba-tiba menyela, “Atau mungkin mereka bisa jawab soal matematika! Bayangin aja, satu kucing ngerjain soal pecahan, satu lagi ngitung luas lingkaran!”
Semuanya tertawa keras-keras mendengar ide absurd Tomo. “Tomo, kucingnya Bu Rini bukan robot!” kata Lina sambil terus tertawa.
Tomo menepuk dadanya dengan bangga. “Kalau begitu, aku mau jadi guru matematika buat kucing! Siapa tahu kucingnya jadi jenius.”
Sari menutup wajahnya dengan kedua tangan, masih tertawa. “Aduh, Tomo, kamu terlalu kreatif. Bisa-bisa kucingnya lebih pintar dari kita kalau begitu.”
Insiden Es Teh Manis
Sementara tawa mereka masih bergema di kantin, tiba-tiba insiden kecil terjadi di meja mereka. Arif yang sedang asyik menyeruput es teh manisnya, tidak sengaja menjatuhkan gelasnya ke meja. Es teh tumpah ke mana-mana, mengalir ke arah nasi goreng Tomo yang masih setengah habis.
Tomo melompat kaget, “Wah, apa-apaan ini?! Nasi goreng telorku kena serangan es teh manis!”
Arif buru-buru meminta maaf sambil panik mengambil tisu untuk membersihkan meja. “Maaf, Tomo! Aku nggak sengaja! Sumpah, aku nggak mau nasi gorengmu jadi es teh goreng!”
Sari dan Lina yang melihat situasi itu langsung tertawa terpingkal-pingkal. “Es teh goreng! Tomo, kamu bisa jadi koki terkenal dengan menu spesial itu!” seru Sari sambil menahan perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.
Lina menambahkan dengan canda, “Besok kita bisa jualan di kantin, ‘Nasi Goreng Tomo ala Es Teh Manis’. Pasti laris manis!”
Tomo menatap nasi gorengnya yang sudah tergenang es teh dengan tatapan pasrah. “Yah… Sepertinya petualangan nasi goreng telorku hari ini berakhir dengan tragedi.”
Setelah insiden es teh manis itu, meja mereka menjadi sedikit lengket, dan suasana kantin semakin riuh dengan tawa dan candaan dari meja sebelah. Tomo, dengan wajah yang setengah pasrah dan setengah geli, memandang nasi gorengnya yang sekarang lebih mirip bubur es teh.
“Tomo, ini kesempatanmu buat jadi koki inovatif,” kata Lina sambil menahan tawa. “Bisa-bisa kamu masuk acara TV masak-masak dengan menu aneh ini.”
Tomo melirik nasi gorengnya, lalu menatap Lina dengan serius. “Mungkin kamu benar… Aku akan namakan menu ini ‘Nasi Goreng Telor Rasa Es Teh Manis’.”
Sari tertawa lagi sampai menutup mulutnya dengan tangan. “Kalau itu muncul di restoran, aku nggak yakin bakal laku, Tomo!”
Arif, yang masih merasa bersalah, mencoba meredakan suasana dengan berkata, “Tapi siapa tahu ada yang suka? Dunia kuliner kan nggak bisa diprediksi!”
“Betul juga!” seru Tomo dengan semangat baru. “Kita nggak pernah tahu, mungkin aku menemukan tren makanan baru!”
Sambil berbicara, Tomo mengambil sendok dan mencicipi satu suap nasi gorengnya yang sudah bercampur es teh. Wajahnya langsung berubah aneh, dan dia terdiam beberapa detik, seolah sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting.
“Jadi, gimana rasanya?” tanya Lina penasaran.
Tomo menelan pelan-pelan, kemudian berkata dengan nada serius, “Rasanya… aneh. Seperti campuran manis dan gurih yang nggak seharusnya ada di dunia ini. Tapi… ada sesuatu yang membuatnya menarik.”
Sari langsung memutar bola matanya sambil tertawa. “Tomo, kamu bikin makanan atau ramuan sihir sih?”
“Siapa tahu aku sedang menciptakan tren makanan masa depan!” jawab Tomo dengan nada penuh keyakinan.
Lina menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Ya ampun, Tomo, kalau kamu buka restoran, aku pasti datang. Bukan karena makanannya, tapi karena aku penasaran gimana caramu menghidangkan makanan absurd seperti itu.”
Keseruan yang Berlanjut
Setelah beberapa saat, suasana kantin mulai sedikit mereda. Anak-anak mulai kembali ke kelas, tapi Tomo dan teman-temannya masih asyik duduk di meja mereka, meski sebagian besar makanannya sudah habis—atau, dalam kasus Tomo, berubah menjadi eksperimen kuliner yang gagal.
“Eh, kalian pernah dengar nggak cerita tentang kantin ini?” tanya Sari tiba-tiba dengan nada misterius.
Tomo, Lina, dan Arif langsung menoleh ke arah Sari. “Cerita apa?” tanya Tomo dengan mata berbinar, jelas tertarik dengan hal-hal yang berbau misteri.
Sari mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, membuat suasana terasa lebih tegang. “Kata anak-anak kelas 6, dulu kantin ini ada di tempat lain, tapi dipindahkan ke sini karena… sesuatu yang aneh.”
Arif mengerutkan kening. “Aneh gimana maksudmu?”
Sari melirik ke kanan dan kiri seolah-olah sedang memeriksa apakah ada yang mendengarkan. “Kantin lama itu katanya berhantu! Sering ada barang-barang yang bergerak sendiri, makanan tiba-tiba jatuh, dan ada suara-suara aneh di malam hari.”
Tomo langsung merinding. “Hah? Serius? Jadi… bisa jadi panci yang jatuh tadi bukan kecelakaan?”
Lina memutar matanya, tidak percaya dengan cerita itu. “Aduh, Tomo, jangan terlalu dibawa serius. Itu cuma cerita anak-anak aja.”
Sari tetap mempertahankan wajah seriusnya. “Tapi anak-anak kelas 6 bersumpah, mereka pernah dengar suara orang ketawa di dapur malam-malam, padahal kantinnya udah kosong.”
Arif mengangguk dengan penuh perhatian, meskipun dia berusaha untuk tetap tenang. “Hmm, jadi mungkin kantin ini benar-benar punya sejarah misterius ya…”
Tomo yang mendengar itu mulai melihat sekeliling kantin dengan cemas, mencoba mencari tanda-tanda kehadiran sesuatu yang “tak kasat mata”. “Wah, kalau aku tahu kantin ini berhantu, mungkin aku nggak bakal makan di sini lagi.”
Lina tertawa kecil. “Kalau beneran ada hantu, Tomo, kamu pasti bakal jadi temannya. Siapa tahu dia suka nasi goreng telor rasa es teh juga.”
Sari yang melihat Tomo mulai ketakutan, akhirnya tertawa. “Aku bercanda kok, Tomo! Itu cuma cerita buat nakutin anak baru.”
Tomo menghela napas panjang, merasa lega. “Oh, syukurlah! Aku kira beneran…”
“Eh, tapi,” Arif menambahkan sambil tersenyum nakal. “Siapa tahu hantu di kantin ini nggak suka sama kita karena kita udah bikin nasi goreng telor rasa es teh!”
Semua kembali tertawa terbahak-bahak, dan suasana yang sempat tegang langsung mencair lagi.
Perjalanan Pulang yang Absurd
Setelah bel sekolah berbunyi, menandakan waktu pulang, Tomo dan teman-temannya berjalan beriringan keluar dari gerbang sekolah. Matahari sore bersinar hangat, menambah suasana santai di akhir hari yang penuh tawa dan keanehan.
“Aku masih nggak percaya kamu benar-benar makan nasi goreng rasa es teh, Tomo,” kata Lina sambil menggelengkan kepala.
“Ya, tapi lihat sisi positifnya,” jawab Tomo sambil tersenyum. “Setidaknya aku punya cerita seru buat diceritain ke anak-anak lain!”
Sari menimpali, “Seru? Lebih tepatnya absurd. Aku nggak tahu siapa yang bakal percaya kamu makan itu.”
Arif menepuk bahu Tomo dengan tawa. “Kamu memang aneh, Tomo, tapi aku suka gaya berpikirmu. Mungkin suatu hari kamu bakal jadi penemu kuliner aneh yang sukses.”
Tomo hanya mengangkat bahu sambil tertawa. “Siapa tahu! Tapi untuk saat ini, aku cuma mau pulang dan minum susu coklat buat netralin semua rasa aneh ini.”
Lina tertawa kecil. “Aduh, Tomo. Kamu dan susu benar-benar nggak bisa dipisahkan.”
“Betul! Susu adalah pelengkap hidupku,” jawab Tomo dengan penuh keyakinan.
Dengan langkah santai, mereka berempat terus berjalan pulang, menikmati sisa-sisa canda tawa yang belum habis. Dunia mereka mungkin kecil, penuh dengan kekonyolan dan drama sederhana di sekolah, tapi bagi mereka, setiap hari adalah petualangan baru yang selalu membawa cerita.
Dan Tomo, dengan segala impian absurd dan kebiasaannya yang unik, selalu menjadi pusat dari semua kekacauan itu. Tapi justru itulah yang membuat persahabatan mereka semakin kuat—dan setiap hari, mereka tak sabar menantikan kejadian-kejadian konyol berikutnya.