Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batin Seorang Ibu
Semenjak Kimi usia empat tahun, Rosmalia menjalani kehidupan sebagai single parent. Senantiasa tampil sederhana dengan rambut terikat ke belakang. Namun hidup yang ia jalani tak pernah sederhana. Selalu penuh perjuangan bersama putrinya, Kimberly. Bahkan hingga sekarang saat putrinya itu menginjak usia 22 tahun.
Meski berjuang sendirian, selama itu Rosmalia tak pernah gentar atau takut. Kecuali siang ini. Ketika ia teringat kejadian tadi pagi. Rosmalia merasa hatinya sedikit terganggu. Tak pernah ia rasakan secemas ini.
Tadi pagi, Kimi, tampak panik ketika ia menyadari bahwa bungkusan kresek putih yang diletakkan dekat bungkusan sampah tadi pagi tak sengaja terbuang. Ada apa dengan bungkusan itu, dan apa apa pula dengan tamu yang tiba-tiba datang itu? Rosmalia tak sempat mengerti, semuanya terjadi begitu cepat.
"Ada apa sebenarnya? Kenapa Kimi begitu khawatir?" pikir Rosmalia. Kimi sudah pergi sejak pagi tadi. Ia mengatakan ada wawancara kerja, yang sepertinya sangat penting baginya. Namun setelah menemui tamu asing itu, hingga tengah hari lewat, Kimi belum juga pulang. Ini tidak seperti biasanya. Kimi selalu pulang tepat waktu atau setidaknya memberi kabar.
Rasa cemas mulai menjalari hati Rosmalia. Ia mencoba menelepon Kimi, tetapi panggilan itu tidak terhubung. Beberapa kali ia malah mendengar suara operator yang mengatakan bahwa nomor yang dituju tidak aktif atau berada di luar jangkauan.
Rosmalia berjalan mondar-mandir di ruang tengah, perasaan gelisah semakin menguasainya. Ia pindah ke ruang tamu, lalu ke ruang makan, namun tetap saja merasa tak enak diam. Pikiran buruk mulai menghantui. Akhirnya, ia memutuskan untuk masuk ke kamar Kimi, berharap menemukan sesuatu yang bisa menenangkannya.
Di dalam kamar, Rosmalia melihat koleksi buku-buku Kimi yang tertata rapi di rak. Ia teringat masa-masa kuliah Kimi di Universitas Indonesia, sebelum akhirnya pindah ke Universitas Al-Azhar Indonesia, masih di jurusan yang sama—komunikasi.
Kimi memang selalu mencintai dunia komunikasi dan bahasa, terutama bahasa asing. Arab, Jepang, Inggris, Prancis, Mandarin dan beberapa bahasa asing lain masih Kimi pelajari dengan penuh semangat. Jurusan yang Kimi pilih sangat sejalan dengan minatnya.
Rosmalia bersyukur dalam hati. Kimi bisa kuliah dengan beasiswa, sebuah berkah besar yang tak akan mungkin ia sanggupi tanpa adanya bantuan tersebut. Ia menelusuri deretan kamus dan buku-buku bahasa yang menjadi bukti betapa tekunnya Kimi dalam belajar.
"Anak ini memang dianugerahi kecerdasan," batinnya penuh rasa syukur.
Pandangan Rosmalia kemudian beralih ke lemari pakaian. Di sana, ia melihat deretan pakaian Muslimah yang Kimi miliki—koleksi jilbab, niqab dan cadar yang Kimi gunakan sehari-hari.
Pemandangan ini mengembalikan ingatannya pada masa lalu, saat Kimi belum mengenakan jilbab dan niqab. Semua ini adalah bagian dari perubahan besar dalam hidup Kimi, perubahan yang begitu drastis.
Rosmalia duduk termenung, pikirannya melayang-layang memikirkan perubahan besar putrinya itu. Kimi yang dulu ia kenal begitu berbeda dengan Kimi yang sekarang. Dahulu, ketika masih kuliah di Universitas Indonesia, Kimi belum memakai jilbab dan niqab. Penampilannya bahkan cenderung kasual dan terbuka. Ia tak pernah menyangka jika akhirnya Kimi akan berubah sedrastis ini.
Sebenarnya, Rosmalia bangga dengan perubahan anaknya. Kimi kini menjadi wanita Muslimah yang lebih menjaga diri dan agama. Namun, di balik kebanggaannya, terselip rasa khawatir yang tak bisa ia hindari. Ia khawatir Kimi akan kesulitan mendapatkan jodoh dengan niqab yang menutupi wajah.
Pikirannya kembali pada saat ketika Kimi memutuskan untuk pindah dari UI ke Universitas Al-Azhar Indonesia. Itu adalah keputusan yang mengejutkan, dan Rosmalia merasa ada sesuatu yang tidak Kimi ungkapkan sepenuhnya saat itu. Ia teringat percakapan mereka yang terjadi ketika Kimi akhirnya menjelaskan alasannya pindah.
“Mom, I'm planning to transfer to UAI.” (Bu, aku berencana pindah ke UAI.) kata Kimi pada suatu malam.
Rosmalia yang sedang duduk di ruang tamu, menatap putrinya dengan penuh tanya. "Why, dear? (Kenapa, Nak?) Bukankah kamu suka di UI?"
Kimi terlihat sedikit gelisah sebelum menjawab. "Aku... risih, Bu. Terlalu banyak laki-laki yang mendekatiku di sana. Aku tidak nyaman. Mereka sering mengajakku keluar, memuji penampilanku, dan aku merasa... itu semua bukan aku yang sebenarnya."
Rosmalia terkejut mendengar hal itu. "Tapi kenapa UAI? Kamu yakin?"
Kimi mengangguk. "Aku berharap aku akan merasa lebih tenang di sana. Setelah aku pindah, aku juga memutuskan untuk mengenakan… niqab. Aku ingin lebih menjaga diriku, Bu."
“Niqab?” tanya Rosmalia, tak mengerti.
“Yes, Mom. Like this!” (Iya, Bu. Seperti ini!) kata Kimi sambil menunjukkan sebuah foto di ponselnya.
Rosmalia tak bisa berkata-kata saat itu. Ia melihat keteguhan di mata Kimi, tetapi ada sesuatu yang masih membuat hatinya bergetar. Ia tahu betapa cantiknya Kimi, warisan dari darah campuran Bugis-Inggris yang dimiliki putrinya.
Kimi mewarisi kecantikan yang menarik perhatian banyak laki-laki. Tetapi kini, dengan niqab yang menutupi wajahnya, Rosmalia khawatir Kimi akan semakin sulit menemukan jodoh yang tepat.
Saat itu Rosmalia merasa terjebak antara setuju dan tidak setuju dengan keputusan putrinya. Di satu sisi, ia sangat menghargai pilihan Kimi untuk menjalani hidup sesuai dengan keyakinannya. Namun, di sisi lain, ia tak bisa menghilangkan kekhawatirannya tentang masa depan Kimi.
Akhirnya, hari itu tiba. Kimi pulang ke rumah mengenakan niqab untuk pertama kali. Rosmalia, yang sedang menyiapkan makan malam di dapur, tertegun ketika Kimi memasuki ruang makan.
Wajah Kimi sepenuhnya tertutup, hanya mata di balik kacamata yang terlihat. Mata itu adalah mata yang sama, penuh keteguhan dan keyakinan, tetapi kini terlihat lebih teduh di balik niqab yang dikenakan.
Rosmalia berhenti sejenak, tak tahu harus berkata apa. Piring yang dipegangnya nyaris terjatuh. "Is that you, Kimi? Have you… really decided to...?” (Kimi, apa itu kamu? Apa kamu… benar-benar memutuskan untuk...?)
Kimi mengangguk pelan, mencoba tersenyum di balik kain yang menutupi wajahnya. "Yes, Mom. I feel that this is the best choice for me." (Iya, Bu. Aku merasa ini yang terbaik untukku.)
Rosmalia menatap putrinya dengan campuran perasaan yang rumit. Di satu sisi, ia merasa bangga bahwa Kimi telah memilih jalan yang menurutnya benar, penuh dengan keyakinan dan kesungguhan. Namun, di sisi lain, hatinya terasa berat. Ini bukan hanya tentang penampilan Kimi yang kini berbeda, tetapi tentang rasa takut yang diam-diam menghantui pikirannya.
Setelah itu, kehidupan sehari-hari mereka berubah secara perlahan. Rosmalia mulai terbiasa melihat Kimi dengan niqab-nya. Bahkan mengakui keindahan penampilan Kimi. Namun, dalam hatinya, perasaan cemas dan khawatir tetap ada, seolah bayang-bayang yang tak bisa ia abaikan.
Setiap kali melihat Kimi bersiap untuk keluar rumah, mengenakan niqab dengan hati-hati, Rosmalia merasa ada beban yang menggantung di hatinya. Ia seringkali merenung sendirian, memikirkan dampak dari pilihan putrinya ini.
Dalam pikirannya, terlintas bayangan masa depan Kimi yang seakan semakin kabur. Bagaimana jika Kimi tak bisa menemukan jodoh yang menerima niqab-nya? Bagaimana jika masyarakat di sekitarnya tidak bisa menerima pilihan hidup Kimi?
Setiap kali ia mendengar tetangga atau kerabat yang bertanya tentang Kimi, ada perasaan cemas yang muncul.
"Kenapa Kimi sekarang pakai cadar? Apakah dia baik-baik saja?" Mereka bertanya dengan nada yang penuh keingintahuan, kadang-kadang disertai nada miring.
Rosmalia mencoba menjawab dengan tenang, tapi hatinya selalu terguncang setelah percakapan seperti itu.
Namun, ada juga momen-momen ketika Rosmalia merasa bangga luar biasa. Saat melihat Kimi yang tetap teguh dengan pilihannya meski menghadapi berbagai komentar dan pandangan negatif, Rosmalia tak bisa tidak merasa kagum.
Ia melihat betapa kuatnya Kimi menghadapi semua itu. Betapa dalamnya keyakinan yang Kimi pegang.
Tetapi, di balik semua itu, ada pergulatan batin yang tak pernah berhenti. Setiap malam, saat Rosmalia sendiri di kamarnya, ia sering bertanya pada dirinya sendiri apakah ia telah melakukan cukup banyak sebagai seorang ibu. Apakah ia terlalu keras, terlalu lunak, atau mungkin tidak cukup mendukung Kimi? Ia terjebak antara dua perasaan—kebanggaan dan kekhawatiran.
Rosmalia juga merasakan duka ketika menyadari bahwa ia dan Kimi, meskipun sangat dekat, kini berada di dua dunia yang sedikit berbeda. Kimi semakin mendalami kehidupan religiusnya, sementara Rosmalia, meski sangat menghormati agama, tetap merasa asing dengan beberapa perubahan Kimi. Ia merasa bahwa ada jarak yang tumbuh di antara mereka, meskipun mereka masih tinggal di bawah atap yang sama.
Rosmalia masih di kamar Kimi, melempar pandang ke luar jendela. Kini matanya tertuju pada bunga-bunga di halaman samping rumah kotrakan.
Saat itu ia menyadari bahwa ada saat-saat di mana Rosmalia merindukan masa lalu, ketika Kimi masih kecil, tanpa beban, dan mereka bisa bicara tentang apa saja tanpa ada batasan. Kini, ada topik-topik yang tampak sensitif, yang mereka hindari untuk menjaga kedamaian di rumah. Meskipun begitu, Rosmalia tetap berusaha mendekati Kimi, berusaha memahami dan mendukungnya semampunya.
Namun, Rosmalia sadar bahwa ini adalah bagian dari perjalanan hidup mereka berdua. Ia mungkin tidak bisa sepenuhnya memahami semua pilihan Kimi, tetapi sebagai seorang ibu, ia tahu bahwa ia harus menerima dan mencintai Kimi apa adanya.
Pergulatan batin ini mungkin tak akan pernah hilang sepenuhnya. Tetapi Rosmalia memilih untuk terus berjalan bersama Kimi, dengan harapan dan doa yang tak pernah putus.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.