Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Si Bibik menelan salivanya. Berusaha menenangkan dirinya sendiri. Takut bila ia jadi salah bicara.
"Ditanya bukannya jawab, malah megap - megap. Naya udah tidur, belum?"
"Baru tiduran, Pak. Nggak tau udah tidur apa belum."
"Kamu ini," Handoko menjebik. Ia tau Nara tidur terpisah dengan Gerry karena Nara yang menginginkannya.
"Tunggu sampai Naya siap, Pa." pinta Nara saat ia menyetujui perjodohan ini.
Sudah setahun. Tidak ada perkembangan sama sekali. Mereka tetap tidur terpisah. Nara tetap di kamarnya semasa gadis sedang Gerry menempati paviliun besar di sisi kanan rumah.
"Bagaimana Aku mau punya cucu kalau begini?" itu alasan Handoko ingin menemui Nara. Membujuknya untuk tidur sekamar dengan Gerry layaknya suami istri.
Handoko memasuki kamar Nara dan melihat putri satu - satunya itu sudah tertidur. Iapun keluar lagi dari kamar dan mendapati si Bibik masih berdiri di depan pintu kamar.
"Kok,.. Keluar? Kok, lagi? Eh, maksud Saya.., Kok Bapak keluar lagi?" tanya si Bibik dengan terbata - bata.
"Kenapa Kamu masih di sini?" sentakannya kembali membuat si bibik latah.
"Berdiri, Pak. siap! Eh - !"
Pak Handoko tertawa geli.
"Tinggal bilang udah tidur aja susah amat!" Sambil menggeleng - gelengkan kepalanya ia berlalu dari sana.
"Masa' Non Naya udah tidur, sih? Cepet amat." si Bibik masuk lagi ke dalam kamar Nara. Ia kembali mendapat kejutan.
Nara duduk dan tersenyum manis menatapnya dari atas tempat tidurnya.
"Papa udah pergi, Bik?"
"Non Naya kok belum tidur? Tadi kata Papa Non.."
Nara tertawa. Ia mendengar keributan di depan kamarnya. Suara Papa dan Bibik terdengar jelas. Bahkan Nara tertawa geli saat dengan latahnya si Bibik mengatakan ingin menikah lagi.
Nara tau Papanya akan mulai membujuknya lagi. Diawali dengan memuji - muji Gerry.
"Gerry itu sangat tampan, lho. Banyak yang ngejar - ngejar Dia."
"Termasuk anjing?"
"Naya!"
"Betul 'kan, Pa? Siapa lagi yang suka ngejar - ngejar orang kalau bukan anjing?" ketus Nara. Ia bosan mendengarnya.
Handoko menghela nafas dengan berat.
"Naya sudah mau mengikuti Papa untuk menikah. Tolong beri waktu, Pa. Jangan desak Naya terus!"
"Tapi sampai kapan, Nay? Papa semakin tua, Sayang."
"Naya belum siap, Pa. Please..? Tolong ngertiin Naya." Nara mulai menangis. Kalau sudah begitu Papanya akan mengalah.
Selalu begitu. Nara lelah dan bosan. karena itu dia pura - pura tertidur. Ia tidak ingin berbicara dengan Papanya, khususnya di dalam kamarnya.
"Naya nggak bisa tidur. Bibik temani Naya dulu, ya?"
"Iya, Non." angguk si Bibik patuh.
"Non mau Bibik pijitin kakinya? Barangkali Non Naya kecapekan jalan - jalan di Mall tadi."
Nara tidak menghabiskan makanannya di restaurant siang tadi karena pikirannya terus melayang pada laki - laki yang menabraknya tadi. Ia mengajak si Bibik untuk mencari keberadaannya.
"Mau apa sih, Non?"
"Mau lihat aja, Bik." Nara penasaran. Baru ada laki - laki yang menatapnya dengan cara yang lain. Tidak mengasihaninya atau tidak memperdulikannya seperti yang lain.
"Kemana, Non?"
"Mungkin ke tempat bermain anak - anak. Ke atas, Bi."
"Non kuat?" tanya si Bibik khawatir. Dia ini bukan sembarang Bibik. Dia sudah seperti ibu bagi Nara sejak sang Mama meninggal 10 tahun yang lalu.
Mereka menaiki lift ke lantai paling atas tapi berhenti di setiap lantainya.
Nara menunggu di depan lift sementara si Bibik mnjelajahi lantai tersebut.
"Ada?" Tanya Nara saat si Bibik kembali.
"Nggak ada, Non." Bibik menggeleng - geleng dengan nafas terengah. Ia setengah berlari menjelajahi lantai ini agar Nara tidak terlalu lama menunggunya.
"Ayok Kita ke atas lagi." mereka kembali memasuki lift.
Di lantai paling atas Nara menolak untuk menunggu lagi. Ia berjalan perlahan menyusuri tiap sudut dilantai itu sampai,
"Itu Dia, Non!" dan Nara melihatnya. Dan ia terpesona melihat sosok Dirga yang begitu memanjakan anaknya.
"Pasti Dia juga suami yang baik." desisnya. Mereka berdiri di gerai aksesoris agar mereka bisa lebih jelas melihat dan mendengar teriakan dan tawa bapak dan Anak itu.
"Non? Itu Pramuniaganya ngeliatin Kita terus." bisik si Bibik.
"Oh?" Nara menoleh sekilas. Hanya sekilas. Ia tidak mau melewatkan momen kebersamaan ayah dan anak itu.
"Pilih aja beberapa, Bik." titahnya tanpa menoleh lagi.
**********************
Setelah memastikan anak - anaknya sudah tertidur, Dirga pergi ke ruang tengah. Tempat Bapak dan Ibunya menunggu untuk membicarakan sesuatu yang serius.
"Duduk di sini, Nak." Juwita menepuk bangku di sebelahnya saat melihat Dirga muncul di depan pintu.
Dirga menurut. Ia duduk di samping Juwita sedang Dedi duduk di hadapan mereka.
Dirga menunduk. Ia sudah tau apa yang akan mereka bicarakan. Tapi rasanya...
"Kapan Kamu akan ke pengadilan agama? Apa perlu Bapak antar?"
Dirga tak dapat menjawab. Kepalanya masih dipenuhi berbagai pertimbangan. Sebentar lagi Rania ujian SD dan akan masuk SMP.
Dirga menghela nafas.
"Bagaimana, Ga? Apa Kamu berubah pikiran, Nak?"
"Mungkin tunggu Nia masuk SMP dulu, Pak." jawab Dirga akhirnya.
"Bukannya itu terlalu lama, Nak?"
"Dua bulan lagi Nia ujian SDnya, Pak. Terus Dia akan bersaing dengan banyak pelajar lainnya untuk bisa masuk SMP favoritnya. Aku takut Nia tidak bisa konsentrasi."
"Sayang, anak - anak sudah mengerti sejak Kalian tinggal di sini." Juwita mengusap punggung tangan Dirga dengan lembut.
"Justru mereka terombang - ambing dengan sikap Kalian yang seperti ini." ucap Juwita lagi. Dedi mengangguk dan menambahkan,
"Kalian bukan suami istri lagi setelah Kamu menalaknya. Perceraian di pengadilan agama cuma proses pengesahannya saja. Tapi yang jelas, wanita itu bisa segera keluar dari rumah itu!"
"Pak, apa nggak terlalu kejam mengusir Maya dari sana?"
"Dia yang kejam, Bu. Selama anak - anak di sini mana pernah Dia menengok mereka?"
"Itu karena Bapak dan Ibu mengusirnya." potong Dirga.
"Aku tidak sudi wanita seperti Dia menginjak rumahku lagi!" dengus Dedi.
"Itu juga nggak terjadi kalau dia nggak ngomong macam - macam yang membuat Bapakmu marah." jelas Juwita.
Dirga menatap Dedi dan Juwita bergantian.
"Baiklah, Pak, Bu. Aku akan mengurus perceraianku secepatnya. Aku hanya minta dukungan dan doa dari Bapak dan Ibu."
"Begitu, dong! Kamu harus tegas. Jangan sampai Kamu ditertawakan sama Dia!"
Dedi menghela nafas lega. Ia bangun dari kursinya untuk menarik Dirga dalam pelukannya.
Sambil menepuk - nepuk bahu Dirga, orangtua itu berucap,
"Bapak doakan semua akan berjalan lancar. Bapak juga berdoa Kamu mendapat jodoh yang lebih baik lagi."
"Bapak ini," Dirga melepaskan pelukannya sambil tertawa.
"Cerai juga belum, udah didoain dapat jodoh lagi."
"Nggak papa, toh? Nanti Bapak sendiri yang jahit baju pengantinnya."
Dirga tidak dapat mengatakan apa - apa lagi selain,
"Woww.." Juwita dan Dedi tertawa lepas. Beban di dada mereka seolah terangkat sudah.
"Safira mau datang besok. Apa Kamu mau Dia yang nganterin Kamu ke pengadilan agama?" tanya Juwita.
"Dia mau apa ke sini, Bu? Sengaja mau ngurusin Aku?"
Dirga merasa tidak enak hati. Wajahnya langsung berubah. Dia terlihat lemas.
*****************