Gara, cowok dengan semangat ugal-ugalan, jatuh cinta mati pada Anya. Sayangnya, cintanya bertepuk sebelah tangan. Dengan segala cara konyol, mulai dari memanjat atap hingga menabrak tiang lampu, Gara berusaha mendapatkan hati pujaannya.
Tetapi setiap upayanya selalu berakhir dengan kegagalan yang kocak. Ketika saingan cintanya semakin kuat, Gara pun semakin nekat, bahkan terlibat dalam taruhan konyol.
Bagaimana kekocakan Gara dalam mengejar cinta dan menyingkirkan saingan cintanya? Akankah Gara mendapatkan pujaan hatinya? Saksikan kisah cinta ugal-ugalan yang penuh tawa, kejutan, dan kekonyolan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Reaksi Anya
"Tunggu, tunggu! Kalau cuma pantun dan basket, kayaknya kurang seru. Gue ada ide nih, biar lebih adil dan menantang." seorang mahasiswa berkacamata menginterupsi.
Semua mata tertuju pada mahasiswa berkacamata itu. Dengan penuh percaya diri, dia melanjutkan. "Gimana kalau ada tambahan tantangan ketiga? Masak! Gue yakin Dion dan Gara sama-sama nggak jago masak, kan? Jadi ini bener-bener bakal jadi pertarungan yang seimbang. Dan menurut gue, yang ini justru bakal bikin Anya paling terkesan. Masak buat cewek tuh perjuangan yang sesungguhnya, Bro!"
Semua mahasiswa yang tadinya sudah bersorak untuk ide basket langsung berhenti sejenak, lalu tawa dan tepuk tangan pecah dengan antusias.
"Wah, iya! Masak? Itu bakal jadi tantangan beneran, nggak cuma soal fisik atau bikin ketawa doang," sahut mahasiswa bertubuh gempal.
"Gila, ini bakal epic! Gue nggak sabar liat mereka di dapur, pasti hancur-hancuran!" cetus mahasiswa yang memakai kemeja kotak-kotak.
Yoyok, yang sebelumnya memberikan ide pantun, kini tertawa sambil menyikut Gara. "Bro, kayaknya lo bakal keteteran di bagian ini. Tapi gue yakin lo punya ide gila buat masak juga, 'kan?"
Gara tersenyum masam, tapi tetap penuh semangat. "Nggak masalah. Gue terima tantangan masak juga. Kalau mau menang, harus bisa semua!"
Dion mengangguk, meski terlihat sedikit ragu. "Oke, gue juga setuju. Tiga tantangan, pantun, basket, dan masak. Siapa yang menang di dua dari tiga pertandingan, dia yang paling pantas buat Anya."
Mahasiswa di sekitar mereka semakin heboh. Mereka sudah tak sabar menyaksikan pertarungan epik antara Gara dan Dion yang kali ini tak hanya adu kocak dan fisik, tapi juga skill masak yang mungkin tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Saat Anya melihat kerumunan mahasiswa yang semakin heboh di area kampus, dia merasa penasaran dan mendekat. Dari kejauhan, dia bisa melihat Gara dan Dion berdiri berhadapan, dikelilingi oleh sorak-sorai teman-teman mereka. Begitu dia mendekati kerumunan, salah satu teman kampus, Rani, dengan senyum lebar langsung menghampirinya. "Eh, Anya! Lo harus denger nih, ada yang seru banget! Gara dan Dion lagi taruhan buat buktiin siapa yang lebih pantas buat lo!"
Anya langsung tertegun, kaget dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa? Mereka taruhan ... demi gue?"
Rani mengangguk dengan semangat. "Iya! Jadi mereka bakal adu pantun, tanding basket, sama ... masak! Gila, 'kan? Semua buat ngebuktiin siapa yang paling cocok sama lo. Seru banget, "kan?"
Anya menatap kerumunan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa tersanjung bahwa ada dua cowok yang mau melakukan begitu banyak hal demi dirinya. Tapi di sisi lain, dia merasa risih dan tidak nyaman bahwa mereka membuat taruhan seolah-olah dirinya adalah piala yang harus diperebutkan.
Dia melihat Gara, yang dengan helm gas melonnya, tampak penuh semangat, sesekali tersenyum ke arah teman-temannya yang mendukungnya. Dion di sisi lain, meski tampak lebih serius, jelas tidak ingin kalah dalam taruhan ini.
Anya berpikir dalam hati, "Ini nggak mungkin. Kenapa mereka harus melakukan semua ini? Apa mereka nggak tahu kalau gue nggak bisa diperlakukan seperti hadiah yang harus dimenangkan?"
Dengan langkah cepat, Anya mendekat ke tengah kerumunan. Semua orang langsung menoleh begitu mereka menyadari Anya datang. "Hei, apa yang kalian lakukan?"
Kerumunan mendadak hening. Gara dan Dion saling bertukar pandang, sebelum akhirnya Gara yang angkat bicara dengan senyum sedikit canggung. "Eh, kita ... cuma taruhan kecil, Anya. Buat seru-seruan aja. Tunjukin siapa yang lebih bisa bikin lo terkesan."
Dion mencoba menambahkan dengan nada serius. "Kita cuma pengen buktiin siapa yang paling pantas buat lo, Anya."
Anya menghela napas panjang, tidak tahu harus berkata apa. Dia menatap mereka berdua, merasa bingung dan sedikit kesal. Bukannya tersentuh, dia justru merasa taruhan ini membuatnya jadi objek yang diperebutkan, dan itu tidak adil untuknya. "Gue bukan trofi yang bisa dimenangkan lewat taruhan, kalian tahu itu, kan? Gue punya perasaan juga." Anya masih berdiri dengan perasaan campur aduk di tengah kerumunan.
Namun, salah satu mahasiswa cowok, Rizal, dengan segera angkat bicara. "Anya, nggak seperti yang lo pikir. Kita nggak nganggep lo trofi, kok. Ini lebih soal harga diri buat kami sebagai laki-laki. Gara dan Dion cuma pengen nunjukin siapa yang paling pantas buat jadi pendamping lo. Ini persaingan sehat, sportif, bukan buat memperlakukan lo kayak hadiah."
Beberapa mahasiswa lainnya mengangguk setuju, memperkuat apa yang dikatakan Rizal.
Darto, yang kebetulan juga ada di tempat itu, akhirnya menambahkan dengan nada bijak. "Bener kata Rizal, Anya. Ini bukan soal lo dijadikan hadiah. Yang penting di sini, mereka berdua pengen nunjukin kesungguhan mereka ke lo. Pilihan ada di tangan lo, mau nerima atau nolak salah satu dari mereka. Atau mungkin ... nolak dua-duanya juga nggak masalah."
Kerumunan mulai terdengar setuju, dengan suara-suara kecil yang mendukung apa yang dikatakan Darto. Anya mulai merasa sedikit lega, meskipun masih ada sedikit keraguan di hatinya.
Tiba-tiba, Yoyok yang biasanya kocak dan suka bikin ribut, ikut menimpali dengan nada yang tak terduga serius. "Darto bener, Anya. Ini soal keseriusan mereka buat lo. Nggak ada paksaan buat lo terima salah satu dari mereka. Tapi mungkin, lo bisa liat ini sebagai cara buat ngasih lo pertimbangan. Lo bisa liat siapa yang paling tulus dan cocok buat lo, dari sini."
Semua mata kini tertuju pada Anya. Suasana yang tadinya heboh mulai mereda sedikit, dan meskipun taruhannya masih ada, perhatian mahasiswa kini lebih terarah pada bagaimana Anya merespon semua ini.
Anya menatap Gara dan Dion yang berdiri di depannya, terlihat tegang menunggu reaksi darinya. Gara dengan sikap santainya mencoba tersenyum, sementara Dion terlihat lebih serius dan fokus.
Anya menghela napas panjang. Walaupun perasaannya campur aduk, dia bisa melihat kesungguhan di mata kedua cowok itu. Mungkin ini bukan soal siapa yang menang, tapi soal siapa yang benar-benar tulus dalam upaya mereka. "Baiklah ... gue hargai apa yang kalian lakukan. Tapi gue pengen kalian tahu, buat gue, ini bukan soal siapa yang paling pantas. Ini soal siapa yang paling tulus dan bisa bikin gue merasa nyaman."
Dengan itu, kerumunan mahasiswa kembali riuh, bersemangat untuk melihat bagaimana ketiga tantangan, pantun, basket, dan masak, akan berlangsung.
Setelah menentukan taruhan yang akan dilakukan dengan Dion, Gara merasa campur aduk antara bersemangat dan gugup. Dia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menunjukkan keseriusannya pada Anya, tetapi di saat yang sama, dia merasa tekanan yang besar.
Di Kamar Gara
Gara duduk di depan cermin, mengamati dirinya sendiri. Dia merapikan rambutnya, berusaha tampil maksimal. "Oke, Gara. Ini saatnya," gumamnya pada diri sendiri. "Jadi, lo harus siap. Ini bukan cuma tentang taruhan, ini tentang Anya. Lo harus bikin dia terkesan."
Dia memutuskan untuk mempersiapkan beberapa hal sebelum taruhan dimulai. Pertama, dia perlu berlatih untuk tantangan basket. Gara tahu bahwa meskipun dia bukan pemain terbaik, dia harus melakukan yang terbaik untuk bersaing dengan Dion.
Di Lapangan Basket
Gara menuju lapangan basket di kampus, bertemu dengan beberapa teman yang sudah berkumpul untuk berlatih.
Yoyok tersenyum melihat kedatangan Gara. "Gara! Lo siap? Ini momen lo buat shine!"
Gara menghela napas berat. "Gue tahu, Bro. Tapi lo tau sendiri, basket bukan keahlian utama gue."
"Nggak apa-apa! Yang penting lo berusaha. Kita latihan bersama, biar lo lebih pede," sahut Rizal.
Mereka mulai berlatih, dengan Rizal mengajarkan beberapa teknik dasar dan trik dribbling. Setiap kali Gara mencoba melakukan tembakan, dia merasa sedikit lebih percaya diri, walaupun masih ada rasa gugup di dalam dirinya.
Di Ruang Masak
Setelah berlatih basket, Gara juga mempersiapkan diri untuk tantangan memasak. Dia berencana untuk memasak sesuatu yang sederhana namun unik, agar bisa menarik perhatian Anya.
Gara pergi ke dapur kecil di kampus dan mulai mencari resep yang mudah. Dia memutuskan untuk membuat spaghetti aglio e olio, sebuah masakan Italia yang sederhana tapi lezat. Gara menyiapkan bahan-bahan sambil berbicara dengan teman-temannya yang juga ada di dapur. "Oke, jadi nanti hari H, gue mau masak spaghetti. Gimana menurut kalian?"
Rizal tertawa. "Spaghetti? Lo yakin? Jangan sampe berantakan, ya!"
"Tenang, bro. Gue bisa masak ... sedikit." Gara malah cengengesan.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued