Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Tidak Bisa Bohong
...----------------...
"Lempar bolanya, Ra!"
Kedua mata Rara melirik sebuah bola yang menggelinding ke arahnya. Barusan teman sekelasnya yang berteriak minta tolong untuk melemparkan bola itu ke lapangan. Namun, Rara malah menatap bola itu dengan seksama. Hatinya sedang merasa kalut, membuat Rara sedari tadi menampakkan wajah kusut.
Hari ini, di sekolah Rara sedang mengadakan pertandingan sepak bola antar kelas. Kebetulan murid laki-laki di kelas Rara yang sedang berlaga di lapangan sana, sedangkan para gadisnya berada di sisi lapangan untuk menjadi penontonnya saja.
"Lo dengerin mereka, nggak?" Mita yang melihat temannya tidak merespon langsung bangkit dan mengambil bola tersebut mewakili Rara. Lalu duduk di samping gadis itu lagi setelah berhasil melempar bola. "Lo kenapa, sih? Gue lihat dari pagi muka lo udah kayak kertas ulangan gue yang dibuang kemaren. Lecek banget!" tanya Mita merasa heran dengan tingkah sahabatnya.
"Nggak pa-pa."
Rara berbohong, tetapi helaan napas beratnya tidak bisa menutup kegelisahan di tersirat di wajah gadis itu. Tentu saja Mita tidak percaya.
"Lo bo—"
"Ra ... gawat, Ra!"
Kedatangan Hery membuat mulut Mita yang sedang berkata jadi berhenti seketika. Perhatian kedua gadis yang mengenakan baju olahraga itu jadi tertuju kepadanya. Jangan aneh jika pemuda itu tidak berada di dalam pertandingan sepak bola walaupun dia adalah teman sekelas Rara. Pemuda itu tidak suka berolahraga. Baginya, permainan fisik outdoor tersebut hanya akan membuat kulitnya menjadi hitam saja.
"Ada pa'an? Panik banget lo?" tanya Mita yang lebih penasaran, sedangkan Rara hanya terdiam. Seolah tidak mempunyai kekuatan, gadis itu terlalu malas bahkan untuk sekadar penasaran.
"Lo udah lihat berita yang lagi viral belom?" Heri balik bertanya, tetapi pandangannya tertuju pada Rara.
"Berita apa, sih?"
"Gue tanya Rara, bukan lo!" seru Heri yang sedikit kesal karena Mita yang dari tadi menyela. Gadis itu pun mendelik tidak suka.
"Gue lagi nggak mood lihat berita," tukas Rara yang bosan melihat kedua teman yang selalu bertengkar. Kedua tangannya menopang dagu sambil membayangkan wajah Ryan.
"Coba lihat dulu, Ra! Ini penting banget!" pinta Heri sambil menyodorkan ponselnya. Dengan sangat terpaksa Rara pun melihatnya.
Kedua mata Rara sontak membola ketika melihat tayangan pada ponsel temannya itu. Mulutnya sedikit ternganga ketika membaca caption di atasnya yang bertuliskan, 'Seorang sutradara terkenal menjadi pelaku pelecehan seksual.'
"Ini ... Sutradara Danang?" tanya Rara memastikan. Hery pun mengangguk sebagai tanggapan. Mita yang tak kalah penasaran pun langsung menengok layar.
"Ternyata korbannya udah banyak, Ra. Mereka berbondong-bondong laporan ke kantor polisi setelah melihat video skandal si sutradara ini. Gila! Gue nggak nyangka ini sutradara bejat banget kelakuannya," sungut Hery dengan geram.
"Ternyata dia nggak bohong. Video yang dia tunjukkan kemarin adalah fakta." Rara bergumam dengan raut gusar. Sesungguhnya, ketika waktu itu Ryan menunjukkan bukti tentang kejahatan Danang, dia sedikit ragu untuk percaya. Menurutnya, video itu bisa saja hanya rekayasa.
Akan tetapi, ketika polisi sudah ikut terlibat, segala kejahatan Danang pun jadi terungkap. Rara bisa apa selain harus percaya. Apa yang Ryan katakan adalah yang sebenarnya. Selama ini Rara selalu bersikap kasar kepada Ryan, padahal lelaki itu hanya ingin melindunginya dari Danang.
"Eh, bukannya kemaren-kemaren lo yang mau ngenalin Rara ke sutradara messum itu, ya? Sialan, lo! Lo mau ngejebak temen sendiri!" Mita mencecar Hery sembari menunjuk wajahnya dengan jari.
"Hish, punya mulut udah kayak petasan aja! Nyulut terus dari tadi. Gue juga kenal sutradara itu dari si Deni. Kalau gue tahu dari awal, nggak mungkin gue kenalin Rara sama dia. Dia kan pacar terindah gue."
"Sejak kapan gue jadi pacar lo?" Rara tidak terima Hery mengaku-ngaku jadi pacarnya. Lelaki itu pun menyengir kuda.
"Mulai sekarang juga bisa," katanya berusaha menggoda. Astaga! Dalam keadaan genting seperti ini, bisa-bisanya dia merayu Rara. Membuat kedua gadis di hadapannya itu kompak mendaratkan satu pukulan di tubuhnya.
Rara mendengkus lalu mendorong bahu Heri. "Lo keramas dulu, deh, sana! Biar ketombenya nggak nutupin akal sehat lo! Enak aja ngaku-ngaku!" cetus Rara. Mita pun tertawa mendengarnya, sedangkan Heri berdecak lalu memanyunkan bibirnya.
"Eh, Ra. Lo harus minta maaf tuh sama Bang Ryan. Selama ini lo udah salah paham sama dia."
Rara tertegun mendengar Mita berkata demikian. Penyesalan itu memang sedang ia rasakan. Namun, sayangnya semuanya sudah terlambat. Kini Ryan sudah minggat.
"Bodo, ah. Biarin aja! Orangnya juga udah pindah."
"Hah, pindah? Bang Ryan pindah?"
Rara mengangguk menanggapi pertanyaan Mita. "Iya," katanya.
"Ke mana?" tanya Mita lagi.
"Mana gue tahu. Lo cari aja sendiri!" celetuk Rara sambil berdiri. Seolah tidak peduli, Rara memilih untuk pergi. Memikirkan Ryan membuatnya pusing sendiri.
Walaupun sekarang kejahatan Danang sudah terbongkar, tetapi dia tetap tidak bisa mempertahankan Ryan. Bagaimanapun sang ayah yang punya keputusan. Rara bisa apa, selain bertindak sabar.
"Lo mau ke mana?" tanya Mita.
"Toilet," jawab Rara sambil terus berjalan tanpa memedulikan sahabatnya. Walaupun bersikeras seperti itu, sesungguhnya Rara merasa tenang. Dalam hatinya sangat berterima kasih kepada Ryan. Jika tidak ada lelaki itu, mungkin dia akan menjadi korbannya Danang. Sudah tentu masa depannya akan suram.
*****
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Tanpa terasa waktu begitu cepat terlewatkan. Rara kini sudah selesai mengikuti ujian. Nilainya pun sudah keluar dengan hasil yang memuaskan.
Kini, Rara melamar di Universitas bergengsi jurusan Ilmu Ekonomi bersama dengan tetangganya—Lilis. Rara bisa kuliah di sana karena mendapatkan beasiswa, sedangkan Lilis memang baru masuk kuliah setelah dua tahun lulus SMA.
Rara merasa sedih karena harus berpisah dengan kedua sahabat baiknya. Mita harus mengikuti orang tuanya pindah ke Surabaya, sedangkan Heri harus mengambil fakultas yang berbeda. Mereka pasti akan sulit berkumpul lagi seperti biasanya.
Kini, teman dekat Rara hanyalah Lilis. Walaupun berbeda usia, keduanya tampak kompak dan selalu bersama. Mungkin karena mereka bertetangga, jadi mereka selalu pulang pergi berdua jika Lilis tak dijemput suaminya.
"Teh Lilis, katanya Bang Ryan kuliah di sini juga, ya?" tanya Rara di hari pertamanya kuliah. Masa ospeknya sudah selesai. Kini para mahasiswa sudah memulai proses belajar.
"Dengernya, sih, iya. Kenapa? Kamu kangen, ya, sama dia?" goda Lilis yang tahu jika Ryan pernah jadi penghuni kontrakannya.
"Nggak juga, ih. Rara cuma nanya," kilahnya sambil tersenyum malu.
Selama beberapa bulan ini, Rara memang mencari tentang keberadaan Ryan. Walaupun bibirnya berkata masa bodoh, hatinya tidak bisa bohong. Gadis itu masih merindukan ayah dari kucingnya yang kini sudah beranjak besar.
...----------------...
...To be continued...
Dukung author dengan, subscribe, like, komentar, dan vote, ya🌹