Siang ini udara panas berembus terasa membakar di ruas jalan depan gerbang Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Matahari meninggi mendekati kulminasi. Suara gaduh di sekeliling menderu. Pekikan bersahut-sahutan, riuh gemuruh. Derap langkah, dentuman marching band dan melodi-melodi bersahutan diiringi nyanyian-nyanyian semarak berpadu dengan suara mesin-mesin kendaraan.
Rudi salah satu laki-laki yang sudah tercatat sebagai mahasiswa Unsil selama hampir 7 tahun hadir tak jauh dari parade wisuda. Ia mengusap peluh dalam sebuah mobil. Cucuran keringat membasahi wajah pria berkaca mata berambut gondrong terikat ke belakang itu. Sudah setengah jam ia di tengah hiruk pikuk. Namun tidak seperti mahasiswa lain. Pria umur 28 tahun itu bukan salah satu wisudawan, tetapi di sana ia hanya seorang sopir angkot yang terjebak beberapa meter di belakang parade.
Rudi adalah sopir angkot. Mahasiswa yang bekerja sebagai sopir angkot....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Kemarahan dan Ketakutan
Rudi melihat sebuah SUV berhenti di dekat Intan. Tidak salah lagi, SUV mewah itu dulu sempat terlihat menjemput Intan. Jauh sebelum Intan mengenal dirinya. Waktu itu Rudi masih menjadi sopir angkot.
Ia melihat Intan menjadi gugup. Sesaat kemudian pintu kendaraan mewah itu terbuka dan seseorang turun. Seorang pria tampan masih muda dalam setelah kemeja rapi.
Rudi mengenal baik laki-laki itu. Tujuh tahun lalu laki-laki itu adalah mahasiswa baru pemberani yang sempat bertanya dan berdiskusi dengan Profesor Pardiman Saidi di depan ratusan mahasiswa lain saat kuliah umum di gedung serbaguna. Kemudian laki-laki itu kuliah di kelas yang sama dengan Rudi.
Ia mengakui bahwa teman sekelasnya itu adalah pria cemerlang. Meskipun gayanya sedikit arogan, sejak tingkat pertama sudah dipercaya dosen membantu menjelaskan materi di depan teman-temannya. Saat tingkat empat kabarnya diangkat jadi asdos untuk mahasiswa tingkat pertama. Lulus dari Unsil terbang ke Inggris mengambil kuliah master. Lulus master kembali ke tanah air menjadi dosen Unsil.
Dialah dosen Unsil muda yang sempat berpapasan dengan dirinya dan Intan di anak tangga gedung fakultas saat hari pertama kuliah di tingkat tiga.
Rudi tahu siapa sang dosen muda itu. Bahkan Rudi tidak akan pernah bisa melupakannya. Dialah Edgar. Edgar Sutiono. Kawan lama dengan segudang prestasi yang pernah mengejeknya lima tahun lalu di depan gerbang Unsil ketika Rudi termenung di dalam angkot sebagai sopir.
Rudi melihat Evita menyingkir jauh dan menunggu di bawah pohon. Sementara Intan mengobrol dengan Edgar. Beberapa kali Intan membungkuk, habis itu menyusul Evita.
Edgar terlihat kecewa. Ia balik masuk mobil, kemudian melaju pergi. Sesaat Rudi beradu pandang dengan Edgar. Tatapan Edgar begitu dingin. SUV yang dibawa Edgar pun meluncur keluar gerbang lalu belok ke timur, melesat, lalu hilang dalam sekejap.
Intan mengobrol dengan Evita di bawah pohon pinggir jalan itu. Sesaat kemudian mereka berpisah.
Saat Rudi sedang membetulkan kran bensin sepeda motor, tiba-tiba Intan menghampiri sambil marah.
“Abang!”
“Loh nggak jadi rapat?” tanya Rudi, kaget.
“Nggak mau ke BEM…”
“Jangan bolos gini, malu sama temen-temen!”
“Nggak bolos Bang, sudah izin kok.”
“Izin gimana? Kapan?”
“Iiiih Abang, udah izin, tadi bilang ke Evitaaa!”
“Oooh…”
“Mana helm buat Intan?”
“Beneran mau ikut?”
“Iyaaaaa…”
“Haduuh kamu ini, sebentar Abang minjem dulu ke anak DKM!” kata Rudi seraya bergegas pergi.
Rudi kembali membawa helm.
“Nih!”
Rudi melaju membonceng Intan naik Honda Prima antiknya keluar gerbang, kemudian berbelok ke arah barat menuju pasar Kecamatan Tawang.
“Emang nggak malu naik motor Abang Dek?”
“Nggak! Motor Abang bagus kok, antik!”
“Tuh kan, haduuuh pada ngeliatin kita…”
“Biarin!” sahut Intan ketus.
Di pasar Intan membantu Rudi belanja bumbu, sementara Rudi membeli daging. Habis belanja Intan terlihat sumringah. Tak heran, karena kegiatan belanja ke pasar tradisional sangat jarang ia lakukan. Terakhir kali ke pasar dua tahun lalu, waktu itu ia diantar Bi Isah karena penasaran.
“Kenapa? Seneng belanja di pasar?” tanya Rudi.
“Seneng banget Bang, jarang-jarang Intan ke pasar kayak gini.” jawab Intan sambil tersenyum.
“Udah lengkap bumbunya?”
“Udah nih!”
“Ya udah, pulang yuk!”
“Pulang?”
“Iya, Abang anter ke Unsil.”
“Nggak mau aaah...”, manyun.
“Habis kamu mau kemana lagi?”
“Ke tempat jualan Abang aja!”
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Nanti kemaleman...”
“Ayolah Bang, Intan masih bete nih!”
“Bete? Bete kenapa?” tanya Rudi.
“Entar aja deh ngomongnya…”
Rudi berkernyit sambil menyalakan mesin motornya, lalu melesat bersama Intan meninggalkan pasar.
“Dek, ini kan baru jam 11 siang, sementara Abang baru jualan nanti sore, terus sekarang Adek mau kemana dulu?”
“Mmm… menurut Abang?”
“Ke Unsil dulu ya, nanti Abang jemput lagi!”
“Nggak mau Bang, Intan takut…”
“Takut? Takut apa? Kan ada Resti, ada Evita juga!”
“Ya takut, nanti aja deh ngomongnya…”
Rudi terus melajukan motornya, lalu berkata :
“Ke kosan Abang dulu deh, nyimpen belanjaan.”
“Boleh! Terus habis itu?”
“Ke Unsil.”
“Aaaah, kok ke Unsil lagi siiih?”
“Jam setengah dua kan kita ada jadwal kuliah.”
“Oh iya, masih ada jadwal kuliah.”
“Kamu lupa ya?”
“Iya, lupa…”
“Makanya nanti ke Unsil...”
“Tapi Intan takut…”
“Nggak usah takut, nanti bareng sama Abang!”
“Janji ya Bang, Abang jangan kemana-mana!”
“Iyaaaa!”
Beberapa menit kemudian mereka tiba di tempat kos Rudi. Intan penasaran, kemudian melihat-lihat ke dalam kamar kos Rudi.
“Iiiih Abang kok berantakan sih? Intan beresin ya!”
“Terserah kamu saja…” sahut Rudi, lesu.
“Tumben nggak ngelarang?” canda Intan.
“Percuma, kamu kan nggak bisa dilarang.”
Intan tertawa sambil periksa kamar. Ia melihat tempat tidur Rudi acak-acakan. Buku-buku tumpang tindih di meja tidak karuan. Alat tulis berantakan dekat laptop. Alat-alat dapur kotor. Noda di lantai.
Ya ampun Abang… habis ngapain aja sih? batin Intan.
Intan pun mulai melipat selimut, membenarkan sprei, tirai jendela, bantal dan guling. Mencuci gelas, tataban, pisau daging, piring, sendok, membersihkan tumpahan kecap dan memeriksa kulkas. Ia juga sempat merapikan meja belajar dan rak buku.
Rudi istirahat di luar, ngopi.
“Cepetan Dek!”
“Emang kenapa?”
“Kamu jangan lama-lama di sini!”
“Iyaaa, sebentar lagi…!!”
Rudi melihat ada beberapa mahasiswa yang keluar masuk area kosan. Mereka melirik ke arah Rudi.
“Baaang!!!” teriak Intan
“Apa?!!” balas Rudi.
“Ini foto siapa?”
“Foto yang mana?”
“Foto yang dipajang depan meja.”
“Oooh… itu foto keluarga Abang, ibu Abang, terus adik-adik Abang, Heryani dan Sulis.”
“Mmmm... cantiiik! Kok Abang nggak ceritaaa?”
“Belum sempet aja Dek.”
“Terus ini foto Abang ya?” teriak Intan lagi.
“Iya!” teriak Rudi.
Intan tertawa.
“Kenapa ketawa?”
“Nggak kok, nggak apa-apa.”
Rudi menyeruput kopi.
“Ini satu lagi foto siapa?”
“Foto almarhum Bapak.”
“Ooo…”
“Fotonya nggak ada lagi Bang?"
“Nggak ada lagi.”
“Beneran?”
“Nggak ada!”
“Pacar?”
“Oooh… kalau itu ada…”
“Eeeeee..... bohong aaah!”
“Ada!”
“Mana?? Nggak adaaa!!!”
“Banyak kok!”
Intan terkesiap.
“Banyak??? Eeeee…. nggak suka aaah!!!”
“Itu di rak buku.”
“Di rak buku?”
“Iya, buku-buku itu, semuanya pacar Abang.”
“Huuuh, buku-buku jelek gitu!” gerutu Intan.
Teman-teman kosan Rudi semua bengong, mendengar Rudi dan Intan teriak-teriak.
“Ini apa Bang?” tanya Intan.
Intan sudah ada di ambang pintu, menggenggam sebundel kertas berisi tulisan-tulisan tangan dan gambar ilustrasi yang ia temukan di atas meja.
“Oh itu, kumpulan karya tulis Abang.”
“Kok kayak draf buku?”
Rudi diam, berpikir.
“Abang sedang nulis buku?”
“Kayaknya sih...”
Intan terkesima.
“Udah selesai?”
“Belum, itu masih proses…”
“Kayaknya Intan inget sesuatu. Ini yang waktu itu ada di dasboard mobil angkot Abang ya?”
“Mmm… iya…” jawab Rudi, ragu.
“Haaah, mau baca dooong!”
Rudi berpikir sejenak.
“Mau pinjem?”
“Emang boleh?”
“Boleh…”
“Makasih Bang!”
“Tapi jangan rusak atau hilang!”
“Iya Baaang…”
Setelah urusan di kosan tuntas, mereka bergegas kembali ke Unsil. Menunaikan ibadah sholat dzuhur di mesjid Unsil. Makan di kantin bersama kawan-kawan sekelas yang lain lalu masuk kelas mengikuti kuliah.
Selama kuliah Rudi merasa tidak begitu konsentrasi. Ia hanya memikirkan ketakutan Intan. Benaknya bertanya-tanya, sebenarnya apa yang ditakutkan Intan?