Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyelamat yang Tak Selamat
Gue sebenarnya enggak mau jawab, tapi gue tetap bilang, “Koper gue.”
“Sial, serius?” gumamnya.
“Sama... tas gue.”
“Kenapa bisa tas lo ada di luar, sih, Tia?”
“Gue mungkin juga ninggalin kunci apartemen lo di lantai lorong.”
Dia bahkan enggak merespons yang satu itu. Dia cuma menggerutu. “Gue bakal telepon Tama, bentar, dia udah pulang atau belum, ya... Kasih gue dua menit.”
“Tu—tunggu. Siapa Tama?”
“Dia tinggal di seberang lorong. Apa pun yang lo lakuin, jangan buka pintu sampai gue telepon balik.”
Amio tutup telepon, dan gue bersandar ke pintu depan.
Gue baru tiga puluh menit tinggal di Jakarta, dan sudah bikin repot abang gue. Keren, kan? Mungkin gue bakal lebih beruntung kalau dia kasih ijin gue tinggal di sini sampai gue dapat kerja. Semoga saja enggak butuh waktu lama, mengingat gue sudah apply di tiga posisi part time di rumah sakit di Jakarta.
Mungkin itu kerja malam, akhir pekan, atau keduanya, tapi gue bakal ambil, yang penting bisa tambah pemasukan gue.
HP gue berdering. Gue geser jempol gue di layar dan angkat teleponnya. “Halo.”
“Tia?”
“Ya,” jawab gue, bertanya-tanya kenapa dia selalu cek ulang apakah ini gue atau bukan. Padahal dia yang telepon gue, jadi siapa lagi yang bakal jawab kalau bukan gue?
“Gue udah hubungin Tama.”
“Bagus. Dia bakal bantuin gue ngambil barang-barang gue, kan?”
“Enggak,” sahut Amio. “Kayaknya gue butuh sedikit bantuan lo, deh.”
Kepala gue jatuh lagi ke pintu. Gue punya firasat kalau beberapa bulan ke depan bakal penuh dengan permintaan tolong yang bikin gue repot, karena dia menganggap kalau dia sudah banyak bantu gue dengan kasih tempat tinggal di sini.
Cuci piring, Tia!
Siap.
Cuci baju Tia!
Siap.
Belanja, Tia!
Siap.
“Apa yang lo butuhin?” tanya gue.
“Tama butuh bantuan lo.”
“Si tetangga lo?” Gue berhenti sejenak begitu gue sadar, dan tutup mata.
“Mio, please... jangan bilang kalau orang yang lo telepon buat ngelindungin gue dari cowok mabuk itu adalah cowok mabuk itu sendiri.”
Amio menghela napas. “Gue butuh bantuan lo buat buka pintu dan biarin dia masuk. Biarin dia tidur di sofa. Gue entar pulang pagi-pagi buta. Begitu dia sadar, dia bakal tahu di mana dia, dan dia bisa langsung pulang.”
Gue geleng-geleng kepala. “Lo tinggal di apartemen kayak apa, sih, Mio? Apa gue harus siap-siap diraba sama orang mabuk setiap kali gue pulang?”
Diam cukup lama.
“Dia ngeraba lo?”
“Mungkin ‘ngeraba’ terlalu kasar. Tapi dia memang megang pergelangan kaki gue.”
Amio menghela napas panjang. “Lakuin aja ini buat gue, Tia. Telepon gue lagi kalau lo udah temuin dia dan semua barang lo udah di dalam.”
“Oke.” Gue menggerutu, merasa khawatir dari nada suaranya.
Gue matikan telepon dari Amio dan buka pintu. Cowok mabuk itu jatuh, dan HP-nya meluncur dari tangan ke lantai dan mendarat di samping kepalanya. Gue balik badannya biar telentang dan gue lihat ke bawah, ke arah dia. Matanya sedikit terbuka dan coba membalas tatapan gue, tapi kelopak matanya jatuh tertutup lagi.
“Lo bukan Amio,” gumamnya.
“Enggak. Gue bukan dia. Tapi gue tetangga baru lo, dan kelihatannya, lo bakal punya utang ke gue minimal lima puluh Cokelat Silverqueen.”
Gue angkat bahunya dan coba buat membangunkan dia, tapi dia masih enggak bisa duduk. Bagaimana orang bisa mabuk sampai begini?
Gue tarik tangannya dan seret dia perlahan masuk ke apartemen, berhenti ketika dia sudah cukup masuk dan gue bisa tutup pintu. Gue ambil semua barang gue dari luar, terus tutup dan mengunci pintu depan. Gue ambil bantal kecil dari sofa buat ganjal kepalanya, dan balikan dia ke posisi miring kalau-kalau dia muntah saat tidur. Dan itu saja bantuan yang bakal dia dapat dari gue.
Waktu dia tidur nyaman di lantai tengah ruang tamu, gue biarkan dia di sana sementara gue berkeliling apartemen.
Ruang tamunya saja bisa muat tiga kali ruang tamu dari kontrakan Amio yang lama. Area makan terbuka ke ruang tamu, tapi dapurnya terpisah dari ruang tamu dengan setengah dinding. Ada beberapa lukisan di sepanjang ruangan, dan sofa tebal yang empuk berwarna krem muda mengimbangi lukisan-lukisan yang cerah.
Terakhir kali gue tinggal bareng dia, dia cuma punya foto keluarga, dan kalender dinding. Kayaknya abang gue akhirnya mulai dewasa.
"Keren, lo Amio," takjub gue sambil jalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya dan menyalakan semua lampu, memperhatikan apa yang sekarang jadi rumah gue sementara.
Gue benci karena tempat ini terlalu bagus. Ini bakal bikin gue lebih susah buat ingin pindah ke tempat sendiri begitu tabungan gue cukup.
Gue masuk ke dapur dan buka kulkas. Ada sederet saus di pintu, sekotak sisa pizza di rak tengah, dan sebotol susu masih duduk di rak paling atas.
Tentu saja dia enggak punya stok bahan makanan. Gue enggak bisa berharap dia berubah sepenuhnya.
Gue ambil sebotol air mineral dan keluar dari dapur buat cari kamar yang bakal gue tempati beberapa bulan ke depan. Ada dua kamar tidur, jadi gue ambil yang bukan milik Amio dan menaruh koper gue di atas tempat tidur.
Masih ada tiga koper lagi dan enam kardus di mobil, belum lagi semua baju gue yang masih di gantungan, tapi gue enggak bakal urus itu malam ini. Amio bilang dia bakal balik besok pagi, jadi gue biarkan itu jadi urusannya.
Gue ganti baju, jadi celana panjang santai dan tank top, terus sikat gigi dan siap-siap buat tidur. Biasanya, gue bakal waswas kalau ada orang asing di tempat yang sama, tapi entah kenapa gue merasa enggak perlu khawatir kali ini.
Amio enggak akan pernah minta gue menolong seseorang yang dia rasa berbahaya buat gue. Yang bikin gue bingung, kalau seperti ini kebiasaan Tama, gue herannya kenapa Amio minta gue buat bawa dia masuk.
Dia enggak pernah percaya sama cowok-cowok yang dekati gue, contohnya Rafael. Dia pacar pertama gue waktu gue berumur lima belas tahun, dan dia sahabat terbaik Amio.
Rafael waktu itu tujuh belas, dan gue suka banget sama dia selama berbulan-bulan. Tentu saja, gue dan teman-teman sering menaksir sama teman-teman Amio, hanya karena mereka lebih dewasa dari kita.
Rafael sering datang hampir setiap akhir pekan buat menginap di rumah, dan kita selalu punya cara buat menghabiskan waktu bareng saat Amio lagi enggak memperhatikan. Setelah beberapa pekan jadian sembunyi-sembunyi, Rafael bilang kalau dia enggak mau hubungannya diumbar. Yang jadi masalah adalah bagaimana reaksi Amio saat Rafael benar-benar memutuskan hubungan dengan gue.
Dan ya ampun, dia benar-benar nge-cut off gue. Coba bayangkan, hati anak lima belas tahun bisa patah setelah hubungan backstreet selama dua minggu. Ternyata dia juga pacaran sama beberapa cewek lain selama dua minggu dia sama gue.
Begitu Amio tahu, persahabatan mereka selesai, dan semua teman Amio dikasih peringatan buat enggak dekati gue. Gue hampir enggak bisa pacaran di SMA sampai akhirnya Amio pindah. Bahkan setelah itu, cowok-cowok yang dengar cerita horor tentang abang gue mereka cenderung menghindar.
Sebenci apa pun gue pada waktu itu, sekarang gue senang menerimanya lagi. Gue banyak mengalami hubungan yang berantakan sejak SMA.