NovelToon NovelToon
Jendela Sel Rumah Sakit Jiwa

Jendela Sel Rumah Sakit Jiwa

Status: sedang berlangsung
Genre:Tamat / Cintapertama / Horror Thriller-Horror / Cinta Terlarang / Cinta Murni / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Pihak Ketiga
Popularitas:7.7k
Nilai: 5
Nama Author: AppleRyu

Dokter Fikri adalah seorang psikiater dari kepolisian. Dokter Fikri adalah seorang profesional yang sering menangani kriminal yang mengalami gangguan kepribadian.

Namun kali ini, Dokter Fikri mendapatkan sebuah pasien yang unik, seorang gadis berusia 18 tahun yang mempunyai riwayat penyakit kepribadian ambang (borderline).

Gadis itu bernama Fanny dan diduga membunuh adik tiri perempuannya yang masih berumur 5 tahun.

Apakah Dokter Fikri biaa menguak rahasia dari Fanny?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 : Siluet

Jantungku terasa seperti berhenti berdetak sejenak. Foto itu adalah Yunita, anak perempuanku ku tinggalkan demi menangani kasus Fanny. Melihatnya kembali seperti merobek luka yang telah lama tertutup. Kenangan tentang Yunita, dengan senyumnya yang ceria, muncul kembali dalam pikiranku, membanjiri hatiku dengan rasa sakit yang tak tertahan.

"Fanny, mengapa kamu menyebut gadis ini Sasya?" tanyaku, berusaha mengatasi kebingungan yang mencekam pikiranku. "Ini adalah anakku, Yunita. Kenapa kamu memanggilnya dengan nama berbeda? Bukankah Sasya adalah adik tirimu yang terbunuh?"

Fanny menatapku dengan tatapan kosong, jelas bingung. "Dr. Fikri, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Kenapa foto ini ada di sini?"

Pikiranku terasa seperti terputus-putus. Seperti mendengar bisikan-bisikan samar dari masa lalu yang tidak bisa aku rangkai. Ingatan-ingatanku berputar-putar, seperti siluet-siluet samar dari masa lalu.

Di dalam ingatan yang samar, aku melihat diriku berada di sebuah ruangan yang penuh dengan lampu neon dan aroma antiseptik. Ada sosok yang berdiri di depanku, wajahnya tidak jelas, tapi aku bisa merasakan kemarahan dan frustrasi yang meluap dari sosok itu. Suara teriakan dan desakan memenuhi udara, dan aku merasa seolah-olah terjebak dalam ketidakberdayaan. Rasanya seperti aku sedang berada di tepi jurang, tidak bisa melangkah maju atau mundur, hanya bisa terdiam dalam rasa takut yang mendalam.

Kemudian, gambar-gambar Yunita muncul, seakan-akan dari lemari kenangan yang kucoba sembunyikan. Aku melihatnya berlari di taman dengan senyum cerianya, wajahnya dipenuhi keceriaan dan kebahagiaan yang tak ternilai. Namun, dalam sekejap, pemandangan itu berubah menjadi kegelapan dan kehampaan. Rumah sakit yang hancur, dengan ruangan-ruangan kosong yang berantakan, menggantikan momen-momen indah itu. Rasa kehilangan yang mendalam mengisi hati, seolah seluruh dunia runtuh bersamaan dengan hilangnya kehadiran putriku.

Siluet diriku yang tampak dalam kenangan adalah gambar seorang pria yang merasakan beban bersalah yang sangat berat. Aku melihat diriku berdiri di depan foto Yunita yang rusak, air mata mengalir di pipi. Suara tangisan dan penyesalan yang mendalam menghampiriku, seolah aku telah melakukan kesalahan yang tidak bisa diperbaiki. Setiap detik terasa seperti duri yang menembus hati, menyadari betapa banyaknya waktu dan kesempatan yang telah hilang. Perasaan bersalah yang membanjiri pikiranku adalah pengingat konstan tentang bagaimana aku gagal melindungi orang yang paling berharga dalam hidupku.

Ketika semua kenangan ini berputar dalam pikiranku, aku merasa seolah-olah aku sedang terjebak dalam labirin kegelapan, mencoba mencari jalan keluar dari kegelapan yang menghampiri. Namun, semakin aku berusaha, semakin aku merasa terjebak dalam ketidakpastian dan kesedihan yang mendalam.

Saat aku kembali ke kesadaran penuh, kepalaku terasa berat, seolah-olah baru saja selesai bertarung dengan sebuah badai emosional. Aku mengedipkan mataku, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya redup dari lampu yang berkedip-kedip di atas kami. Terasa seperti semua suara dan sensasi dari siluet-siluet itu menyusut, digantikan oleh kekakuan dan dingin yang menyengat tubuhku.

Fanny masih duduk di sampingku, terborgol dan tampak putus asa. Wajahnya terlihat pucat dan penuh rasa takut. Aku merasakan beban tanggung jawab yang berat atas keadaannya, dan rasa bersalah yang mendalam muncul kembali saat aku melihat matanya yang penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban.

"Fanny," aku mulai dengan suara serak, berusaha mengumpulkan kekuatan dan ketenangan di tengah kekacauan ini. "Aku... aku baru saja melihat semua itu—kenangan-kenangan dari masa lalu. Aku merasa seolah aku terjebak di antara dua dunia. Tetapi sekarang, aku kembali di sini, denganmu."

Aku melihat sekeliling, memperhatikan ruangan dingin yang mengurung kami. Setiap sudut ruangan terasa semakin nyata, semakin menekankan situasi kami yang kritis. Realitas kembali memelukku dengan keras, dan aku tahu kami tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi. Kami harus keluar, mencari jawaban, dan mengatasi segala yang mengancam kami.

Aku meraih tangan Fanny, meremasnya dengan lembut. Saat aku meremas tangan Fanny, ingatan yang mengganggu tiba-tiba menerjang pikiranku, seolah membawa aku kembali ke sebuah momen yang sangat menyakitkan. Aku melihat diriku sendiri memegang Colt M1911, tangan bergetar saat aku berdiri di hadapan Fanny yang sedang berlutut, menangis dan meratap di samping mayat Yunita, anakku.

Aku berusaha keras untuk memahami bagaimana aku bisa berada di situ dengan Colt M1911 di tangan, dalam momen yang sangat kelam ini. Seharusnya aku tidak pernah terlibat dalam tragedi seperti itu. Rasa bingung ini semakin mendalam, karena ingatan ini bertentangan dengan segala yang aku tahu dan percayai.

Kenapa aku melihat diriku sendiri di situ? Apa hubungan antara Fanny dan Yunita dalam ingatanku? Pikiran ini membuatku merasa semakin terasing dari kenyataan. Ingatan- ingatan ini tampaknya tidak konsisten dengan kenyataan yang kujalani, menambah rasa kebingungan dan ketidakpastian yang semakin memuncak.

Aku menoleh ke Fanny, melihatnya yang juga tampak bingung dan ketakutan. “Fanny, kenapa ingatanku bercampur dengan bayangan seperti ini?” tanyaku dengan nada penuh keresahan. “Kenapa kamu ada di sana bersama Yunita? Aku tidak mengerti, aku tidak pernah mengingat sesuatu seperti ini sebelumnya.”

Kebingungan ini menggelapkan pikiranku. Aku mencoba merangkai potongan-potongan dari ingatan dan kenyataan, tetapi semuanya tampak berantakan dan tidak sesuai. Satu-satunya hal yang aku tahu pasti adalah bahwa aku harus mencari kebenaran dan mengatasi kebingungan ini, meskipun setiap langkah terasa semakin membingungkan.

Hingga tiba-tiba, suara Fanny terdengar lembut, penuh kesedihan. “Maafkan aku, Nazam. Itu karena aku mencintai Reino. Sasya terbunuh, maafkan aku.”

Kata-katanya menghantamku dengan keras, dan aku merasa seolah seluruh dunia runtuh di sekelilingku. Nama Reino dan Sasya membuatku terdiam. Kenapa Fanny berbicara tentang Reino dan Sasya seolah mereka bagian dari hidup kami yang sangat pribadi? Bukankah kehidupan kami berdua dimulai di rumah sakit ini?

Aku menatap Fanny dengan bingung dan rasa sakit. “Apa yang kamu bicarakan, Fanny? Adikmu Reino? Dan mengapa kamu meminta maaf tentang Sasya kepada Nazam?” tanyaku, suaraku bergetar, hampir tak mampu menahan emosi yang membanjir.

Namun, ada satu hal lagi yang mengganggu pikiranku, kenapa Fanny menyebut nama Nazam? Nama itu terasa seperti duri yang menusuk, karena selama ini, Nazam adalah nama yang selalu mengancam dan menghantui pikiranku. Kenapa Fanny menyebutku dengan nama itu?

Aku mencoba menenangkan diri, berusaha memahami mengapa Fanny menggunakan nama itu. “Kenapa kamu memanggilku Nazam?” tanyaku, suaraku penuh rasa tidak percaya.

Fanny menatapku dengan mata penuh penyesalan. “Karena kamu adalah Nazam. Aku tahu kamu merasa bingung sekarang. Semua ini terjadi karena kamu...”

Hatiku berdebar kencang. Aku merasa terjebak dalam labirin kebingungan dan kesedihan. “Tidak mungkin,” kataku, mencoba menahan kekacauan dalam pikiranku. “Nazam adalah musuhku. Aku tidak bisa jadi...”

Fanny terdiam sejenak, lalu menghela napas dalam-dalam. “Nazam adalah bagian dari dirimu yang kamu coba lupakan. Tapi sekarang, semuanya mulai terungkap, dan kita harus menghadapi kebenaran.”

Saat suasana semakin menegangkan, pintu ruangan terbuka dengan keras dan Michelle masuk, wajahnya menampilkan ekspresi tenang namun dingin. Dia memandang Fanny dengan tajam sebelum beralih ke arahku.

“Jangan percayai ucapan Fanny,” kata Michelle dengan nada tegas. “Dia sedang dalam kondisi emosional yang tidak stabil. Fanny seringkali menyampaikan hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan.”

Aku menatap Michelle dengan penuh keraguan. “Bagaimana bisa begitu? Fanny mengatakan hal yang sangat mengejutkan.”

Michelle melangkah mendekat, tampaknya berusaha memberikan penjelasan yang meyakinkan. “Fanny sedang mencoba memanipulasi kamu. Dia berusaha membingungkanmu dengan informasi yang tidak relevan. Kamu harus tetap fokus pada fakta yang ada, dan jangan terjebak dalam permainan psikologisnya.”

Kata-kata Michelle terasa seperti sebuah saluran untuk menenangkan situasi. Namun, keraguan dan kebingunganku masih membayangi pikiranku. Aku merasa terjepit di antara dua versi kebenaran yang tampaknya bertentangan, satu yang diungkapkan oleh Fanny dan satu lagi yang dikatakan Michelle.

“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku dengan suara lelah. “Apa yang harus aku percayai?”

"Kamu harus percaya pada intuisimu, siapa kamu sebenarnya?"

Michelle memandangku dengan tajam, dan aku bisa merasakan ketegangan di udara. "Kamu harus percaya pada intuisimu, siapa kamu sebenarnya?" katanya dengan nada yang penuh makna. "Semuanya mungkin tampak membingungkan sekarang, tetapi dalam dirimu ada jawaban yang bisa membimbingmu."

Kata-katanya terasa seperti percikan cahaya dalam kegelapan, namun juga menambah beban yang berat. Aku merasa terjepit antara pengakuan Fanny dan penyangkalan Michelle. Dalam situasi ini, menemukan kebenaran terasa seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.

1
Livami
kak.. walaupun aku udah nikah tetep aja tersyphuu maluu pas baca last part episode ini/Awkward//Awkward//Awkward/
aarrrrgh~~~
Umi Asijah
masih bingung jalan ceritanya
ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ
Novelku sendiri
Livami
orang kayak gitu baik fiksi ataupun nyata tuh bener2 bikin sebel dan ngerepotin banget
Livami
huh.. aku suka heran sama orang yang hobinya ngerebut punya orang... kayak gak ada objek lain buat jadi tujuannya...
Umi Asijah
bingung bacanya..😁
ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ: Ada yang mau ditanyain kak?
total 1 replies
Livami
terkadang kita merasa kuat untuk menghadapi semua sendiri tapi ada kalanya kita juga butuh bantuan orang lain...
Livami
ending episode bikin ademmm
Livami
ok kok semangat thor
Livami
woo.. licik juga Tiara
semangat tulis ya Thor /Rose/
bagus ceritanya
Livami
bagus Lo Thor.. ditunggu up nya.. semangat/Determined//Determined//Determined/
LALA LISA
tidak tertebak...
Sutri Handayani
pffft
LALA LISA
ending yang menggantung tanpa ada penyelesaian,,lanjut thoor sampai happy ending
LALA LISA
benar2 tak terduga ..
LALA LISA
baru ini aku Nemu novel begini,istimewa thoorr/Rose/
ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ: Terimakasiiih
total 1 replies
LALA LISA
cerita yg bagus dengan tema lain tidak melulu tentang CEO ..semangat thoorr/Rose/
Reynata
Ngeri ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!