NovelToon NovelToon
Istri Sejuta Luka

Istri Sejuta Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Konflik etika / Selingkuh / Pelakor / Romansa / Penyesalan Suami
Popularitas:10.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ike Ariska

Rea memilih berdamai dengan keadaan setelah pacar dan sahabatnya kedapatan tidur bersama. Rasa cinta yang sejatinya masih bertuan pada Devan membuat Rea akhirnya memaafkan dan menerima lamaran pria itu.

Sepuluh tahun telah berlalu mereka hidup bahagia dikarunia seorang putri yang cantik jelita, ibarat tengah berlayar perahu mereka tiba-tiba diterjang badai besar. Rea tidak pernah menduga seseorang di masa lalu datang kembali memporak-porandakan cintanya bersama Devan.

Rea berjuang sendirian untuk membongkar perselingkuhan Devan, termasuk orang-orang di belakang Devan yang membantunya menyembunyikan semua kebusukan itu.

IG. ikeaariska
Fb. Ike Ariska
Tiktok. ikeariskaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ike Ariska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sehelai Rambut

“Kamu mau ke mana, Dev?” tanya Rea saat dilihatnya Devan sudah rapi.

Pria itu terlihat tampan dengan pakaian kasual yang ia kenakan.

“Aku mau pantau kerja anak-anak di kantor, Re. Sudah dua hari ditinggal takutnya mereka kerjanya ngasal,” sahut Devan.

Ia sibuk melingkarkan jam tangan.

Rea tampak jengah, ia yang semula sibuk membaca novel seketika menghentikan aksinya ditaruhnya novel itu di atas meja. Matanya tidak berhenti memperhatikan Devan yang sedang menyemprot parfum sehingga aroma harum menyeruak ke seisi kamar.

“Dev, kamu nggak bisa di rumah saja? Hari ini aku free, lho,” ucap Rea.

Ia beranjak, lalu berdiri di belakang Devan.

“Sayang,” Devan berbalik.

Disentuhnya lembut ke dua lengan Rea.

“Aku pergi cuma sebentar tidak akan lama,” Devan mencoba meyakinkan.

Rea mengangkat ke dua bahunya sambil matanya berpaling dari Devan.

“Ya sudah, aku pergi dulu,” ucap Devan sambil mencium puncak kepala Rea.

Devan meraih kunci mobil yang tergeletak di atas nakas sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Rea yang mematung memandangi kepergiannya.

Kemudian Rea mendekati jendela memperhatikan Devan dari sana. Dilihatnya Devan menerima telepon dari seseorang sebelum masuk ke dalam mobil.

Tidak lama setelah itu mobil yang ditunggangi Devan pun menghilang dari pandangan. Rea semakin yakin ada yang salah dari Devan, pria itu jauh berubah sekarang tidak seperti biasanya hangat dan penuh kasih sayang.

“Aku harus cari tahu secepatnya,” gumam Rea sambil mengepalkan tangan.

*****

 

Malam sudah menjelang, tapi Devan belum juga pulang. Berulang kali Rea coba menghubungi, tapi nomornya tidak aktif berada di luar jangkauan.

“Kamu di mana, Dev?”

Rea menirukan gerakan setrika sembari jemarinya meremas kuat ponsel di genggamannya.

Tiba-tiba...

Ceklek!

“Ma,” sapa Airin.

Bocah itu muncul dari balik pintu kamar.

Secepat kilat ekspresi panik punah di wajah Rea, ia tidak ingin Airin tahu risau hatinya.

“Ya, Sayang?” Rea mendekat.

Ditaruhnya ponsel di atas meja.

Airin melempar pandang ke sekeliling tidak dilihatnya Devan ada di sana.

“Papa mana, Ma?” tanyanya.

Rea menelan ludah.

“Oh, papa. Papa ada sedikit kerjaan yang harus diselesaikan di kantor,” terang Rea.

“Papa lembur, ya, Ma?” tanya Airin polos.

“Iya, Sayang,” jawab Rea mengangguk.

Dibelainya pipi Airin dengan lembut Rea terus berusaha bersikap biasa-biasa saja di tengah guncangan hati yang ia rasa.

“Apa Mbak Erlin sudah pulang?” tanya Rea.

“Sudah, Ma. Baru saja,” pungkas Airin.

Rea lirik jam yang menggantung di dinding kamar sudah menunjukkan pukul 22:00 malam dan Devan belum juga pulang.

“Apa kamu mengantuk?” tanya Rea saat dilihatnya Airin menguap beberapa kali.

Airin mengangguk.

“Iya, Ma.”

“Kalau begitu ayo kita ke kamar, mama akan bacakan dongeng sebelum tidur untuk anak kesayangan mama ini!” ajak Rea.

Airin tampak senang.

“Ayo, Ma!” balasnya sambil menggenggam tangan Rea.

*****

Malam semakin larut dan Airin pun sudah tertidur pulas. Perlahan Rea turun dari kasur ditariknya selimut Airin setinggi dada. Diciumnya pipi bocah perempuan berumur enam tahun itu dengan penuh kasih sayang.

“Selamat malam sayang,” bisik Rea sebelum ia berlalu.

Klik! Bunyi lampu dimatikan, pelan-pelan Rea menutup pintu dengan rapat.

Rea melangkah gontai menaiki anak tangga satu per satu, memikirkan semuanya berhasil membuat tubuhnya terasa lesu. Di sepanjang langkah Rea terus memikirkan Devan, “Kenapa dia belum juga pulang?”

Tiba-tiba...

“Sayang,” sapaan hangat dari suara yang sangat Rea kenali.

Rea tersentak seketika diedarkannya pandangan, dilihatnya Devan duduk di sofa sibuk memainkan gawai di tangannya.

“Dev?” Rea bergumam ke dua alisnya yang runcing kini saling bertautan.

“Kapan kamu pulang?” tanya Rea heran.

“Sejam yang lalu,” jawab Devan. Pria setampan Rifki Balwel itu pun menaruh ponselnya saat Rea bicara.

Rea semakin mengernyit mendengarkan.

“Terus kenapa tidak langsung temui aku?” Rea menarik sebelah alisnya ke atas.

“Aku takut mengganggu Airin,” jawab Devan tersenyum.

Rea menggeleng mendengarkan menurutnya itu alasan yang terlalu dibuat-buat dan sangat tidak masuk akal, tidak biasanya Devan seperti itu malahan sekalipun Airin sudah tidur dia pasti menyempatkan diri untuk mencium putri kesayangannya itu.

“Kamu aneh, Dev!” kali ini Rea meninggikan suaranya.

Seketika Devan memundurkan wajahnya.

“Aku aneh?” tanyanya sambil menunjuk batang hidungnya sendiri.

Rea menatap jengah, bukannya merasa bersalah Devan malah seperti menantang untuk ribut dengannya.

“Aku aneh dari mana coba?” tanya Devan mulai menabuh genderang perang.

Rea tersenyum senjang.

“Kemarin kamu pergi, sekarang pergi lagi. Katanya urusan kerjaan, tapi kok pulangnya sampai larut malam. Nggak biasanya kamu gini lho, Dev. Kamu terkesan cuek sama aku, sama Airin juga. Kamu ada main ya di luar?!” cetus Rea yang tidak sanggup lagi menahan kekesalan hatinya.

Devan langsung berdiri mendengarkan.

“Kamu selalu curiga aku ada main di luar. Aku kerja, Re. Kerja untuk kamu untuk Airin juga. Untuk kebutuhan kita dan kebutuhan rumah ini juga!”

Rea menghela napas panjang saat Devan berlagak seolah ia tulang punggung keluarga, padahal pemasukan darinya hanya tiga puluh lima persen jika dibandingkan pendapatan Rea.

“Oke aku terima alasan kamu yang katanya pergi karena pekerjaan, lalu sekarang pulang pukul satu malam ini karena lembur juga?” Rea melipat tangannya di dada sambil wajahnya mendongak pada Devan yang menurutnya terlalu mengada-ada.

“Terus tadi aku telepon kamu juga nggak aktif, itu lihat sekarang ponsel kamu nyala, ‘kan, Dev!”

Devan mendekat, malah pria itu terlihat lebih jengah menghadapi semua tuduhan yang dilayangkan Rea padanya.

“Re, kamu sebenarnya kenapa sih?” tanya Devan.

“Kamu nggak lihat itu handphone dicharger?” elak Devan.

“Terus apa gunanya charger di mobil? Kalau kamu memang niat buat ngabarin aku sebenarnya mudah, Dev. Tapi sepertinya sekarang aku bukan prioritas utama kamu lagi,” debat Rea.

Devan tampak seperti menahan hati untuk tidak semakin marah, pria itu berusaha mengontrol emosinya.

“Kamu bisa dengar aku bicara dulu nggak?” Devan merendahkan suaranya.

Rea diam pertanda ia mendengarkan.

“Bukannya aku tidak ada inisiatif buat ngabarin kamu, jadi tadi pas aku mau jalan ke kantor tiba-tiba Naumi telepon dia bilang kalau mama sakit. Aku diminta buat datang ke rumah mama. Aku benar-benar panik dan sesampainya di sana Bi Hanum ngasih tahu kalau Naumi sudah bawa mama ke rumah sakit karena tiba-tiba mama kena serangan jantung. Aku langsung putar arah nyusul mama ke rumah sakit.” Devan menjelaskan dengan bersungguh-sungguh.

“Bersyukur mama tidak kenapa-kenapa,” lanjutnya.

“Pukul sembilan malam aku masih menyempatkan diri mampir ke kantor buat mastiin semuanya baik-baik saja. Kamu bisa tanya sama Zyfana kalau nggak percaya kebetulan dia masih di kantor saat aku datang,” sambung Devan.

Rea terdiam mendengarkan.

“Lain kali kamu jangan langsung curiga sama aku, apa salahnya tanya dulu,” sungut Devan.

Rea tidak mengerti kenapa sekarang malah dia yang disudutkan.

“Ayo tidur jangan mikir yang macam-macam lagi, besok kamu kerja, ‘kan?”

Meskipun tidak terima, Rea terpaksa mengangguk.

Devan berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah itu lanjut mengganti bajunya dengan piyama.

“Kenapa masih bengong, ayo tidur!” ajak Devan. Ia berusaha mencairkan suasana.

Rea tidak punya pilihan ia akhirnya menurut mendekat pada Devan yang sudah lebih dulu merebahkan diri di atas kasur.

Devan menghadiahkan sebuah kecupan di pipi Rea sebelum akhirnya benar-benar hanyut dalam mimpi panjangnya.

Lain dengan Rea matanya masih enggan terpejam, sekalipun menurutnya alasan Devan tadi cukup masuk akal, tapi tetap merasa ada yang janggal. Rea yakin Devan ada main dengan perempuan lain di luar.

Tiba-tiba Rea berinisiatif untuk memeriksa ponsel milik Devan. Diraihnya benda pipih itu di atas meja mudah saja baginya untuk membuka kunci layar hanya dengan memasukkan tanggal pernikahan mereka. Satu per satu diperiksanya pesan masuk di aplikasi hijau dengan saksama, semuanya masih di batas garis wajar. Kemudian berlanjut pada seluruh akun media sosial Devan dan tetap sama tidak ada satu pun yang patut dicurigai.

Rea merasa tidak puas karena tidak bisa mendapatkan bukti baru, ia terus berpikir. Tiba-tiba Rea teringat pakaian yang dipakai Devan tadi, mungkin di sana ia bisa mendapatkan sesuatu.

Gegas Rea taruh kembali ponsel itu di atas meja dan berlalu menuju keranjang yang terletak di sudut kamar. Sebelum itu Rea kembali memastikan apakah Devan benar-benar sudah tidur.

Rea mulai merogoh saku celana yang dipakai Devan tadi. Hatinya berdebar saat tangannya mendapatkan sesuatu di dalam sana. Secarik kertas.

“Ya Tuhan, apa ini invoice hotel lagi?” batin Rea sebelum membukanya.

Rea bernapas lega setelah dilihatnya kertas itu hanya bukti pembayaran parkir di rumah sakit. Rea mencibir, baiklah ini pertanda kalau Devan tadi memang ke rumah sakit.

Setelah itu Rea periksa lagi saku yang lainnya dan tidak ditemuinya apa pun lagi di sana. Kemudian ditaruhnya kembali celana panjang warna hitam yang dipakai Devan tadi.

Rea berniat kembali ke kasur ia berbalik, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika mengingat baju yang dipakai Devan.

Gegas Rea mengambil baju itu ternyata hanya kaos putih polos tanpa kantong. Rea menghela napas panjang ketika menyadari kekhawatirannya yang berlebihan.

“Apa aku berlebihan?” tanya Rea dalam hati.

Tapi kini ada sesuatu yang mencuri perhatiannya. Rea melihat sehelai rambut warna pirang menempel di kaos itu. Dengan mata membola Rea ambil, lalu dibawanya ke tempat yang lebih terang.

“Astaga, Devan!” batinnya.

Rea menggeleng tidak percaya jelas sekali itu rambut seorang wanita.

Lama sekali Rea menelisik rambut itu dengan matanya yang basah, ada rasa sakit yang teramat sangat Rea rasakan saat ia membayangkan apa yang sudah dilakukan Devan di belakangnya.

“Tidak mungkin itu rambut mama dan tidak mungkin juga itu rambut Naumi. Lebih mustahil lagi kalau itu rambutku.”

Rea menyipitkan matanya saat mengingat Anna, wanita itu memang berambut pirang, tapi apa mungkin wanita itu Anna? Entahlah!

 

 

1
Salsabila Arman
lanjut
Liem Raliem
lanjut thoooorrr
Retno Harningsih
up
Nur Adam
lnjut
Retno Harningsih
lanjut
Murni Dewita
👣
Simba Berry
baca sinopsisnya aja bikin emosi boro2 dibaca.
Anonymous
suka sama cerita nya
Anonymous
keren
Aurelia Alula
bagus ceritanya
Aurelia Alula
si Devan emg lain org ny
Aurelia Alula
hahahahaha memalukan
Aurelia Alula
sadis kali si rea
Aurelia Alula
kasian rea luka batin ny sngt dlm
Aurelia Alula
apa ini pengalaman pribadi author?
Anonymous: seperti nya iya/Chuckle/
Ike Ariska: aduh/Facepalm/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!