Saat acara perayaan desa, Julia justru mendapati malam yang kelam; seorang lelaki asing datang melecehkannya. Akibat kejadian itu ia harus mengandung benih dari seseorang yang tak dikenal, Ibu Asri yang malu karena Julia telah melakukan hubungan di luar nikah akhirnya membuang bayi itu ke sungai begitu ia lahir.
3 tahun kemudian, dia pergi ke kota untuk bekerja. Namun, seorang pria kaya mendatanginya untuk menjadi pengasuh anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 - Tragedi Pacar
"Pacar kamu?"
"Bukan Pak,"
"Kalau bisa tidak usah terlalu dekat, dia seperti punya maksud lain." Pak Bima mengomentari hubungan ku dan Mas Andrean yang aku sendiri menganggapnya hal biasa.
Kami terus melaju sepanjang jalan raya yang masih basah dan licin. Pak Bima bahkan lebih berhati-hati menyetir agar tidak tergelincir. Dari tadi, ternyata hujan turun deras, aku sampai tidak sadar.
Aku membenarkan jaket Lily berkali-kali karena selalu kacau dia mainkan. "Pa, pacar itu apa?" kata Lily keras-keras, seolah Pak Bima berjarak sepuluh meter darinya.
"Lily tidak usah tanya itu," sahutku. "Itu omongan orang dewasa. Anak kecil tidak boleh tahu."
"Pacar itu pasangan sekaligus orang yang disayang oleh seseorang." Tiba-tiba Pak Bima nyeletuk. Aku langsung menengok dan melotot.
Aku susah payah mengalihkan omongan biar anaknya tidak banyak tahu. Tapi, bapaknya malah terang-terangan menjelaskan. Ya, walaupun kata-katanya juga sangat bagus.
"O-oh, berarti pacarnya Mama itu, Papa-lah."
Aku menggeleng keras sambil melihat mereka berdua bergantian, Pak Bima yang sedang menyetir dan Lily yang duduk di pangkuan ku.
Pak Bima menoleh dan menghunjam ku dengan mata gelap yang menuntut agar di perhatikan. Dan aku terpaksa mengakui bahwa tatapan Pak Bima benar-benar menghipnotis. Aku dapat merasakan kekuatan tatapan itu seolah menusuk jantungku.
Tapi, itu tak lantas membuatku spontan diam. Kepala ku masih tetap menggeleng, meyakinkan.
"Bukan," jawab Pak Bima.
Aku pun akhirnya bisa bernapas lega.
"Mama itu istrinya Papa," lanjutnya. "Bukan pacar."
Aku langsung melotot lagi, karena Pak Bima malah makin ngawur menjawab.
"O-oh beda ya?" Ujar Lily.
"Beda," jawab Pak Bima sambil melihat ke arah depan, ke jalan.
"Terus bedanya apa? Katanya sama-sama pasangan---"
"Waduh Pak, panas ya Pak ya?" Sahutku gugup, ku naikkan nada bicaraku untuk memotong ucapan Lily. Bisa tambah panjang urusan kalau dibiarkan mereka berdua ini. Pikirku. "Mati nih AC-nya, Pak Bima."
Pantas si Lily pintar, Bapaknya jawab terus kalau ditanya! Bahaya ini kalau mereka ditinggalkan berdua.
"Perasaan dingin dari tadi," Pak Bima melirik ke arah katup-katup kecil yang mengeluarkan hawa sejuk di bawah dashboard itu. "Hidup kok."
"Kulit kamu itu mah, ketebalan." Lanjutnya.
"Enak saja! Ini bukti kalau lemak ku berguna, Pak!" Tampikku dengan sebal.
Tapi, setidaknya berhasil mengalihkan pembicaraan.
Sesampainya di tempat makan Pak Bima memarkir mobilnya, lantas segera memesan makan.
Kami memilih duduk di bangku terluar kafe, di samping pohon nangka yang rimbun. Pelayan mengantar kopi dan nasi daging untuk Pak Bima, di susul kentang goreng untuk Lily dan nasi goreng untukku. Rasanya lezat dan hangat, cocok buat suasana sehabis hujan.
"Eh, kau di sini?" seorang teman lama tiba-tiba menghampiri ku.
Aku sempat tak mengenalinya tadi, tapi beruntung berkat tahi lalat besar di pipi kanannya aku jadi ingat. Rumana, teman sekolah ku dulu di kampung.
"Ya," jawabku. "Lama tidak ketemu, Rum. Aku sempat tidak mengenali kamu, kamu berubah sekali."
Makin cantik dan tambah modis. Tapi, sedikit berlebihan juga menurutku, karena dulu Rum tidak memakai bedak tebal dan riasan mencolok seperti ini. Bajunya juga malah lebih terbuka.
"Baguslah, kalau kamu memuji ku begitu." Katanya. "Beda, sama orang di kampung waktu aku pulang dua bulan yang lalu. Masa pada sewot lihat aku, dibilang pakaian kurang bahan lah, make up ketebalan lah, memang ya orang kalau pergaulannya cuma di situ-situ saja, ya tetap biasa."
Aku cuma mengangguk sambil tersenyum kaku.
"Eh, kamu sekarang kerja apa?" katanya sambil melirik ke arah Pak Bima yang cuma fokus ke makanannya. "Terus ini siapa?"
"Aku cuma petugas kebersihan, Rum." Jawabku. Lalu ku dekatkan bibirku ke telinganya dan berbisik, biar Lily tidak dengar. "Sama jadi pengasuh anak."
"O-oh..." Rum memanjangkan pelafalan kalimatnya. "Berarti ini majikan kamu dong?!"
"Halo, Om." Katanya mengulurkan tangan ke Pak Bima, untung Pak Bima tidak pura-pura tuli dan buta.
Mereka pun saling berjabat tangan.
"Ganteng tahu, Jul." Rum berkata padaku. "Tadinya kupikir sugar daddy kamu!"
"Uhuk uhuk uhuk."
Pak Bima sampai tersedak. Makanan yang baru saja dia telan sampai masuk tidak beraturan berkat celetukkan nakal dari Rumana. Benar-benar kelakuan temanku ini.
"Pak, maaf Pak Bima." Ujarku gugup.
Jantungku berdetak kencang, tidak heran kalau kulihat jantungku menembus tulang iga dan lompat keluar.
Bukan hanya karena celotehan Rum yang membuatku begitu berdebar. Tapi juga Pak Bima. Ya Tuhan, dia pasti marah besar. Teman ku ini mana tahu orang yang dia komentari ini adalah profesor termuda di kampus, galak lagi. Belum lagi anaknya, Lily. Pasti nanti nanya-nanya lagi. Habislah aku hari ini.
"Ih, pelan-pelan Pak. Kan sayang tuh makanannya, padahal baru saja ditelan orang ganteng."
"Rum...." Kataku sambil melotot. "Sudah Rum."
Rum akhirnya diam sambil menutup mulutnya spontan, haduh dasar!
"Kamu ke sini sama siapa?" Tanya ku, mengalihkan pembicaraan.
"Tuh!" Rum mendongakkan dagunya, menunjuk pada seorang pria yang baru keluar dari pintu kafe.
"Pacarku." Lanjutnya.
Aku memperhatikan sosok lelaki itu.
Teman lama ku ini seorang perempuan yang tidak neko-neko, namun seleranya kelewat rumit. Pacarnya itu, rambutnya gondrong, hampir seperti tarzan di film barat; bedanya Tarzan di film barat lebih tampan dan enak dilihat sedangkan pacarnya Rum cuma menang di berpakaian lengkap.
"Gitu-gitu duitnya lumayan, tahu. Tidak pernah menolak apa mau ku, katanya sih kerja di pertambangan."
"O-oh." Jawabku sambil mengangguk-angguk. Omongan Rum bisa pas begitu dengan yang kupikirkan.
"Sudah, ah. Kapan-kapan kita main bareng ya? Pacaran bareng gitu." Lanjut Rum sambil menggandeng lengan pacarnya, manja. "Apa ya namanya itu?"
"Det det itu, loh. Lupa."
"Double date." Sahut pacarnya.
"Itu maksudku barusan."
Aku cuma mangut-mangut saja, sedangkan Lily dan Pak Bima cuma sibuk makan.
"Nanti ajak pacar kamu, ya Jul. Nanti kapan hari kencan-nya kuhubungi lagi di telpon. Nomormu masih yang lama kan?"
"Iya."
"Eh, tapi kamu punya pacar 'kan?"
Nah, itu masalahnya. Pikirku.
Sejak, kejadian itu, aku tidak pernah berani berhubungan dengan lelaki manapun. Aku merasa sangat rendah dan tidak pantas. Dan yang paling penting, aku yakin tidak akan ada lelaki yang mau menerima perempuan kotor seperti ku. Tidak suci lagi.
Rum cuma menyunggingkan ujung kanan bibirnya, karena aku tak kunjung menjawab.
"Ya sudah kalau belum ada, bawa Om ini dan anaknya juga tidak apa-apa."
"Uhuk uhuk uhuk!"
Lagi-lagi Pak Bima tersedak karena ulah Rum. Aduhai! Aku pasti dimarahi habis ini."
"Kami pulang dulu," kata Rum sambil beranjak pergi dan membiarkan aku menikmati sorot mata Pak Bima yang dari tadi memelototiku seperti mau menelan.
...****************...
Assalamualaikum.
Halo ini author.
Hari ini rencananya mau up 3 BAB, tapi takutnya gak langsung ke baca, atau likenya kurang. ಡ ͜ ʖ ಡ
Menurut kalian gimana? Kita deal-deal an yuk?
Kalau misalnya author up tiga BAB, mau gak mau Like-nya di jaga juga... berhubung ini sudah mendekati retensi 20 BAB, jadi emang bener-bener minta kerja sama pembaca. Gimana? Tapi kalau sekiranya kebanyakan, boleh bilang juga gapapa.
Soalnya author juga jadi takut-takut mau up banyak😭 huaaaaaa.... Takut like-nya ga sama dan gak kebaca semua, jadinya retensinya juga gak sampai.
Kasih tau author lewat komentar ya! Terima kasih untuk pengertiannya (。•̀ᴗ-)✧