EKSKLUSIF HANYA DI NOVELTOON.
Jika menemukan di tempat lain artinya plagiat. Tolong laporkan🔥
Baru dua bulan menikah, Arumi Safitri harus rela mengikhlaskan kepergian suaminya yakni Letda Laut (P) Yuda Kusuma yang meninggal dalam tugas. Pahami jati diri sebagai prajurit angkatan laut bahwa air yang memiliki semboyan wira ananta rudira, yaitu tabah sampai akhir.
Hidup Arumi selepas kepergian suaminya, diterpa banyak ujian. Dianggap pembawa sial oleh keluarga suaminya. Ada benih yang ternyata telah bersemayam di rahimnya, keturunan dari mendiang suaminya. Beberapa bulan kemudian, Arumi terpaksa menikah dengan seorang komandan bernama Kapten Laut (E) Adib Pratama Hadijoyo hanya karena kejadian sepele yang menyebabkan para warga salah paham dengan mereka berdua.
Bagaimana kehidupan pernikahan Arumi yang kedua?
Apakah Kapten Adib menjadi dermaga cinta terakhir bagi seorang Arumi atau ia akan menyandang status janda kembali?
Simak kisahnya💋
Update : setiap hari🍁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Safira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 - Mantan Adik Ipar Kembali Berulah
"Maaf, Mbak. Perkenalkan nama saya, Saroh. Saya di sini disuruh Pak Adib untuk membantu Bu Arumi di rumah ini," jawab Mbak Saroh dengan sopan pada Wulan dan Bu Retno.
"Oh, kamu ba bu di sini." Wulan semakin menatap sinis Mbak Saroh mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Namun Wulan sedikit aneh melihat penampilan Mbak Saroh yang tak seperti pembantu pada umumnya. Biasanya pembantu seringnya berpakaian daster atau baju sederhana rumahan.
Dominan gadis desa yang dijadikan pembantu, rambutnya panjang dan kadang-kadang dikuncir kuda atau digelung.
Akan tetapi, saat ini Mbak Saroh terlihat berbeda di mata Wulan. Mbak Saroh tengah memakai pakaian motif batik yakni kemeja lengan pendek dan celana panjang sehingga terlihat lebih rapi. Namun tetap santai karena dikenakan di dalam rumah. Mbak Saroh tengah memegang sapu. Rambut Mbak Saroh pun tampak pendek cenderung cepak.
"Mencurigakan. Pembantu kok bajunya rapi kayak sekretaris saja. Rambutnya juga cepak mirip tentara wanita," batin Wulan yang terus menatap Mbak Saroh dengan seksama seraya tangannya menggendong bayinya dan satu tangan lainnya membawa paper bag yang berisikan belanjaannya.
Tiba-tiba...
PLUG...
Tas belanjaan miliknya, sengaja Wulan taruh sedikit kasar ke lantai. Namun tetap isinya tidak sampai berantakan atau berceceran.
"Hei, ba bu. Bawakan semua belanjaan ini ke dalam kamarku dan juga kamar ibuku," perintah Wulan.
Mbak Saroh hanya bisa tersenyum tipis mendengar perintah wanita yang ia tahu bernama Wulan. Sebab, sang majikan yakni Adib sudah menyampaikan padanya tentang nama dan karakter para penghuni rumah Arumi.
"Maaf, Mbak. Saya di sini digaji dan disuruh bekerja hanya untuk keperluan Bu Arumi saja. Bukan untuk mengerjakan keperluan orang lain. Jika saya harus melakukan pekerjaan di luar isi perjanjian kontrak sebagai pembantu Bu Arumi, maka saya harus mendapatkan dua gaji. Satu dari suami Bu Arumi dan satu lagi gaji dari Anda," jawab Mbak Saroh dengan lugas dan penuh percaya diri.
"Eh, kamu itu pembantu. Jangan belagu atau semaumu sendiri ! Kalau kamu pembantu di rumah ini artinya majikanmu bukan hanya Arumi. Ada aku, ibuku dan juga suamiku yang jadi majikanmu juga. Paham kamu !!" bentak Wulan dengan rahang mengeras seraya menatap tajam Mbak Saroh. Sedangkan yang ditatap bersikap biasa saja.
"Loh tadi kan jelas toh, Mbak. Gaji saya kan sesuai perjanjian kerja hanya untuk melayani Bu Arumi. Saya tidak melayani urusan penghuni lainnya di rumah ini. Baik penghuni yang terlihat jelas oleh mata maupun penghuni tak kasat mata alias ded3mit," ucap Mbak Saroh seraya menyindir Wulan di ujung kalimatnya.
"Sudah, Wulan. Enggak perlu berdebat sama pembantu murahan macam dia. Buang-buang energi saja. Lebih baik langsung tanyakan ke majikannya," ucap Bu Retno berusaha menenangkan emosi putrinya yang ia yakini sudah berada di ubun-ubun.
Seketika Wulan berpikir dan benar juga dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Ia langsung memberikan bayinya pada gendongan ibunya.
"Bawa bayiku ke kamar, Bu. Biar urusan ba bu belagu ini aku selesaikan sama Arumi sialan itu!"
Bu Retno yang tengah kecapekan pun akhirnya lebih memilih untuk masuk ke dalam kamar Wulan dengan menggendong bayi Bimo. Ia sedang malas berdebat.
Sedangkan Bambang sedang tidak bersama istri dan ibu mertuanya. Sebab, pagi-pagi sekali Bambang pergi dan berpamitan pada Wulan. Ia beralasan ada proyek dadakan bersama temannya sambil menunggu proyek baru dari kantor.
☘️☘️
Wulan pun melangkah dengan cepat menuju kamar Arumi.
DOR...DOR...DOR...
Wulan tidak mengetuk pintu secara lumrahnya. Akan tetapi wanita ini tanpa basa-basi langsung menggedor dengan kencang pintu kamar utama.
"Arumi !!"
"Buka pintunya !" teriak Wulan.
Sontak hal itu membuat Arumi langsung kaget dan matanya yang mulai terpejam, mendadak terbuka. Padahal ia ingin tidur sejenak karena letih berbelanja dengan Adib dan Nyonya Elsa beberapa saat yang lalu.
"Astaga, ada apa lagi sih!" gerutu Arumi.
Ia berusaha bangun dari ranjangnya dan berjalan menuju pintu kamarnya yang sebelumnya telah dikunci olehnya.
Ceklek...
Pintu pun terbuka. Di depannya menampilkan Wulan yang tengah menatapnya secara tajam.
"Ada apa?" tanya Arumi dengan santai.
"Oh, enak sekali sang majikan mau beristirahat tapi rumah dalam kondisi berantakan begini."
Arumi yang aneh mendengar penuturan Wulan barusan, ia pun berjalan keluar dan menutup pintu kamarnya. Matanya berkeliling melihat ruang tamu dan dapur yang tampak rapi dan bersih. Di depan pintu utama, Mbak Saroh tengah berdiri memegang sapu.
"Apa maksudmu rumah berantakan? Kamu lihat sendiri kan kalau ruang tamu dan dapur, bersih kok. Tuh Mbak Saroh bawa sapu buat bersihkan sisanya. Aku yang ngantuk kok kamu yang ngelindur," ucap Arumi seraya menguap di depan Wulan.
Skakmat !!
Wulan menggeram dengan kesal.
"ARUMI !!" bentak Wulan.
"Apaan sih! Di sini itu rumah, Wulan. Bukan di hutan. Enggak perlu teriak-teriak begitu. Kupingku masih sehat," tegas Arumi.
Oek...oek...oek...
Suara tangis bayi Bimo mendadak terdengar cukup kencang. Di dalam kamar, Bu Retno kerepotan untuk menenangkan cucunya tersebut.
"Lihat! Gara-gara teriakanmu barusan, bayimu sampai terbangun dan nangis. Cepat kamu su*sui sana. Daripada kamu marah-marah enggak jelas," ucap Arumi.
"Jangan mengalihkan perhatian deh, Rum. Aku cuma ingin kamu bilang ke ba bu sialan dan sok belagu itu, bahwa aku, ibu, dan Mas Bambang juga termasuk majikannya di rumah ini. Kami bertiga wajib ia layani seperti dia melayani kamu," tegas Wulan seraya jarinya menunjuk ke arah Mbak Saroh.
"Jadi, kamu ganggu tidurku cuma buat hal sepele dan enggak penting seperti ini. Astaga Wulan, Wulan." Arumi tak habis pikir dan hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Apa kamu bilang? Sepele?" tanya Wulan menatap tajam Arumi.
Ia tak terima dengan penuturan Arumi barusan yang seakan menyudutkan dan merendahkan dirinya. Terlebih di hadapan Mbak Saroh yang cuma pembantu.
"Iya," jawab Arumi singkat.
"Ini hal penting dan prinsip, Arumi! Dia itu cuma pembantu di sini tapi lagaknya sudah kayak majikan saja. Gayanya sungguh menjijikkan. Semaunya sendiri. Aku suruh bantu masukin tas belanjaanku yang banyak itu ke kamar, eh dia tolak mentah-mentah. Pecat saja dia!" omel Wulan seraya kedua tangannya bersedekap di depan dadanya.
"Apa yang dia lakukan, sudah benar kok. Suamiku membayar dirinya hanya untuk membantuku. Majikan dia cuma dua yakni melakukan perintah suamiku dan melayani aku, bukan yang lain. Lagi pula kamu kan punya tangan dan kaki. Masak bisa belanja banyak tapi masukin barang ke kamar saja nyuruh pembantu orang lain. Dasar aneh!"
Wulan semakin geram dengan Arumi yang justru lebih membela Mbak Saroh ketimbang dirinya.
"Satu hal lagi yang perlu kamu tahu, Lan. Tolong jaga sikapmu di rumah orang. Ingatlah bahwa di rumah ini tuan rumahnya aku, bukan kamu." Arumi pun membalikkan badannya hendak masuk ke dalam kamar.
Ia malas berdebat terlalu lama dengan mantan adik iparnya itu. Terlebih badannya tengah letih ingin istirahat.
"Tunggu, Rum."
Seketika langkah kaki Arumi terhenti usai mendengar Wulan memanggilnya kembali.
Lalu ia memposisikan arah badannya untuk kembali menghadap Wulan.
"Ada apa lagi?" tanya Arumi menatap Wulan dengan serius.
Bersambung...
🍁🍁🍁
mmng keluarga yg tdk punya malu.
nah begitulah wanita hrs punya sikap tegas jgn mau di tindas.