Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan di Ujung Kegelapan
14.1. Cahaya yang Kembali
Hari ke-40 di bunker itu menjadi momen yang tak terlupakan. Kabut debu dan asap dukhon perlahan mulai menghilang, dan sinar matahari yang hangat mulai menembus kegelapan, menerangi sudut-sudut bunker yang sebelumnya kelam.
Di luar bunker, orang-orang yang selamat terbaring lemah, tak berdaya setelah bertahan dalam kondisi ekstrem. Namun, saat sinar matahari mulai menyentuh wajah mereka, terkejutlah mereka. Mata mereka yang pudar mulai bersinar, seolah menyadari bahwa harapan telah kembali.
“Apakah itu…? Sinar matahari?” seorang wanita berteriak, suaranya menggema di tengah keheningan. Dia berusaha bangkit meski tubuhnya lemah, matanya menyiratkan kebahagiaan yang tak terduga.
Di dalam bunker, kegembiraan pun menyebar. “Lihat! Ada cahaya!” seru seorang pria, menunjuk ke jendela kecil yang mengarah ke luar. Semua orang bergegas mendekat, matanya melebar melihat sinar yang berkilau.
Mereka dengan tangan gemetaran karena lemas segera membuka pintu besi bunker. Dengan semangat, mereka merangkak-rangkak keluar, senyum merekah di wajah mereka, merasakan rasa syukur yang mendalam. Wajah-wajah mereka yang sebelumnya tak terawat kini mulai menunjukkan harapan baru.
Ketika mereka keluar, hawa dingin menyambut mereka. Namun, lama-kelamaan, hawa dingin itu perlahan menjadi hangat oleh sinar matahari yang semakin cerah. Sarah, seorang wanita muda di antara mereka, merasakan kehangatan itu dan mengedarkan pandangannya.
“Lihat! Ada kehidupan!” teriaknya dengan gembira. Namun, saat mereka melihat ke sekeliling, pemandangan yang terlihat tidaklah indah. Tanah masih dipenuhi puing-puing, dan atmosfernya penuh dengan sisa-sisa asap yang mengganggu pernapasan.
Ulama yang memimpin mereka keluar berdiri di depan, merasakan momen berharga ini. “Ini adalah pertanda dari Allah,” katanya dengan suara bergetar. “Dia mendengar doa kita dan memberikan kita kesempatan baru.”
Ekspresi wajah Sarah dipenuhi rasa syukur dan kelegaan. Dia berlari ke luar, merasakan sinar matahari menyentuh kulitnya. “Ini luar biasa!” serunya, berbalik untuk melihat ulama dan yang lainnya.
“Cahaya itu nyata!” seorang wanita lain menambahkan. “Ayo, kita bersyukur kepada Allah!”
Namun, ketika mereka melihat sekeliling, semua orang terdiam. Pemandangan di luar tidaklah seperti yang mereka harapkan. Tanah kering dan retak, sisa-sisa bangunan yang hancur, dan atmosfer yang penuh asap dan debu membuat mereka merasakan kenyataan pahit.
“Mari kita bersyukur, tapi kita juga harus siap menghadapi kenyataan,” kata ulama itu, nada suaranya serius. “Kita harus membangun kembali hidup kita dari sini.”
Kebahagiaan menyelimuti suasana meskipun diwarnai kesedihan. Dalam kegelapan, orang-orang itu menemukan harapan baru, tetapi kini mereka harus menghadapi tantangan besar di depan mata. Mereka mulai merencanakan langkah-langkah selanjutnya.
Sarah merasa berdebar-debar. Dia memandang ulama dan melihat ekspresi penuh keyakinan di wajahnya. “Jika kita bersatu, kita bisa menghadapi apa pun,” pikirnya.
Di luar bunker, orang-orang yang terbaring berusaha bangkit. Sinar matahari terasa hangat di kulit mereka. Beberapa mulai merasakan kekuatan baru. “Kita harus bersatu, ayo kita bantu satu sama lain!” seru seorang pria tua.
Melihat orang-orang di luar yang berusaha bangkit membuat mereka di dalam bunker merasa tergerak. Mereka ingin keluar, ingin merasakan sinar matahari secara langsung. “Mari kita keluar dan bergabung dengan mereka!” teriak seorang remaja.
Setelah berdiskusi dan memastikan semuanya siap, ulama memimpin mereka untuk mengangkat tangan, berdoa sebelum melangkah keluar. “Ya Allah, kami bersyukur atas cahaya-Mu yang kembali. Berikanlah kami kekuatan untuk menghadapi apa pun yang ada di luar sana,” doanya.
Dengan penuh semangat, mereka membuka pintu bunker. Ketika pintu terbuka, sinar matahari masuk lebih leluasa. Semua orang tertegun sejenak, merasakan kehangatan dan cahaya yang menyegarkan.
Sarah merasakan air mata mengalir di pipinya. “Akhirnya, kita bisa melihat dunia lagi,” gumamnya, menatap ulama dengan penuh rasa terima kasih.
“Siap?” tanya ulama, mengarahkan pandangannya pada semua orang. Mereka mengangguk, meskipun ada sedikit rasa takut dan harap-harap cemas.
Pelan-pelan, mereka melangkah keluar dari kegelapan. Ketika kaki mereka menginjak tanah, teriak kegembiraan meledak. “Kita kembali!” teriak seseorang, diikuti sorakan dari yang lain.
Namun, saat mereka beranjak menjelajahi dunia baru mereka, kegembiraan perlahan digantikan oleh keheningan. Semua menyaksikan kehancuran yang melingkupi mereka.
“Ini… ini tidak seperti yang kita bayangkan,” kata seorang wanita, suaranya pelan dan penuh rasa cemas. “Di mana kehidupan yang dulu?”
Ulama itu menepuk bahunya. “Inilah ujian kita. Kita harus membangun kembali dari nol. Mari kita bersatu untuk mengatasi semua ini.”
Mereka menatap lingkungan sekitar, melihat tumpukan puing dan reruntuhan. Beberapa masih tergeletak tak berdaya, tetapi ada semangat baru yang muncul di antara mereka. Meskipun dunia luar mengerikan, mereka tahu mereka Tidak sendirian. Bersama-sama, mereka akan menemukan cara untuk bertahan dan membangun kembali harapan.
14.2. Pencarian yang Tak Berujung
Setelah keluar dari bunker, rasa lapar dan haus yang sudah menggerogoti tubuh mereka semakin terasa. Sarah dan kelompoknya menelusuri lingkungan yang kini tampak suram dan tak terawat, berharap menemukan makanan dan air untuk mengisi perut yang keroncongan.
“Apakah kalian menemukan apa pun?” tanya Sarah, melihat sekelompok orang di dekatnya. Mereka menggelengkan kepala, tampak lelah dan putus asa.
“Tidak ada apa-apa di sini,” kata seorang pria tua dengan suara serak, matanya kosong menatap debu yang menutupi tanah. “Semua ini hampa. Seperti kita semua.”
Perasaan frustrasi mulai mengisi udara. “Aku sudah tidak bisa menahan rasa lapar ini!” keluh seorang wanita muda. “Kita sudah terkurung di dalam bunker begitu lama, dan sekarang kita keluar hanya untuk menemukan ini?”
Ulama yang mendengarkan, berusaha menenangkan. “Kita harus tetap tenang. Jangan putus asa. Kita harus mencari sumber air yang lebih baik,” ujarnya dengan tegas.
“Mencari air? Di mana?” tanya seorang pemuda, nada suaranya penuh skeptis. “Setiap kali kita menemukan air, itu hanya keruh dan kotor.”
“Bagaimana mungkin kita bisa bertahan hidup dengan situasi seperti ini?” tambah seorang pria lainnya, wajahnya tampak putus asa. “Aku tidak bisa membayangkan jika kita harus kembali ke bunker lagi tanpa menemukan apa-apa.”
Mereka semua mulai berjalan lebih jauh, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengisi perut mereka. Setiap langkah terasa semakin berat, dan ketidakpastian membuat suasana semakin tegang.
“Lihat! Di sana!” teriak seorang wanita dengan nada penuh harap. Semua orang berlari ke arah yang ditunjuknya, tetapi saat mereka tiba, ternyata itu hanya tumpukan puing-puing yang tertutup debu.
“Jadi ini semua yang kita dapat?” pria tua itu berkata sinis. “Kita terjebak dalam kegelapan dan sekarang malah menemukan puing-puing ini. Sangat luar biasa.”
Sarah merasakan kepedihan di hatinya. “Apa yang akan terjadi jika kita tidak menemukan makanan dan air?” gumamnya, merasa terjebak dalam ketidakpastian. “Apakah kita akan mati di sini?”
“Aku sudah tidak sanggup lagi,” kata seorang pria lain, wajahnya terlihat sangat lelah. “Kita harus melakukan sesuatu! Kita tidak bisa terus mencari tanpa tujuan!”
Ulama mencoba menenangkan mereka. “Ingatlah, ini adalah ujian. Kita harus tetap bersatu. Dzikir kita akan membantu kita melalui semua ini,” ujarnya berusaha membangkitkan semangat.
“Dzikir? Apa itu bisa mengisi perut yang kosong?” seorang wanita menanggapi sinis. “Aku lebih memilih makanan daripada dzikir!”
“Berhenti! Jangan saling menyalahkan,” kata ulama dengan tegas. “Kita semua dalam situasi yang sama. Kita harus berusaha sama-sama.”
“Berusaha untuk apa?” tanya pemuda itu, tampak frustrasi. “Kita sudah mencoba segalanya. Kita hanya menemukan kegelapan dan kehampaan!”
Di tengah ketidakpastian, salah seorang pria berteriak, “Lihat! Ada sesuatu di sana!” Semua orang berpaling ke arah yang ditunjuknya, penuh harapan. Mereka berlari ke sana, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantu mereka.
Namun, saat mereka mendekat, ternyata itu hanya tumpukan sampah yang tertutup debu. Kecewa menyelimuti mereka sekali lagi.
“Semua ini tidak ada artinya!” seru seorang wanita dengan nada hampir menangis. “Kita tidak bisa terus begini! Aku merasa kita akan mati di sini!”
Ulama, meski merasa tertekan, berusaha memberikan semangat. “Kita tidak boleh menyerah. Jika kita bersama, kita akan menemukan jalan keluar dari semua ini.”
“Mungkin kita seharusnya kembali ke bunker saja,” kata seorang pria dengan nada putus asa. “Setidaknya di sana kita tidak harus melihat semua ini.”
“Tidak! Kita tidak bisa mundur!” teriak Sarah, berusaha memberikan semangat. “Kita harus terus berjuang! Kita tidak bisa menyerah!”
Dengan harapan yang tersisa, mereka melanjutkan pencarian. Setiap langkah terasa semakin berat, tetapi tekad untuk menemukan kehidupan membuat mereka terus bergerak maju, meski dalam kegelapan yang menyelimuti hati mereka.
14.3. Hujan Harapan dan Kenyataan Pahit
Saat itu juga, Allah yang Maha Pengasih menurunkan hujan di seluruh dunia. Semua orang bahagia, ada yang dengan girangnya membuka mulut ke atas, merasakan tetes-tetes air yang jatuh langsung ke wajah mereka. Setelah 40 hari dalam kegelapan, rasa haus yang teramat sangat kini bisa terobati. Mereka berlari keluar, menyambut hujan dengan lengan terbuka, dan saking hausnya, banyak dari mereka meminum air hujan langsung dari langit.
"Hore! Akhirnya hujan!" teriak Sarah, wajahnya berseri-seri saat air mengalir di pipinya.
"Aku tidak percaya ini! Air segar!" seru salah satu anggota kelompok yang lain, hingga ia menengadah, berusaha menangkap lebih banyak air.
Namun, saat hujan mulai menyapu debu di bumi, mereka merasakan segar dan harapan kembali tumbuh di hati mereka. Tapi, ketika sebagian debu mulai lumer, mereka terkejut melihat pemandangan yang lebih memilukan.
"Astaga!" Sarah terperanjat melihat pemandangan di sekitar mereka. "Apa ini?"
Bangkai-bangkai manusia dan hewan tergeletak di mana-mana, bercampur debu yang menempel. Pemandangan itu membuat perasaan bahagia mereka mendadak sirna.
"Ini sangat mengerikan," kata ulama, menutup wajahnya sejenak. "Kita harus berdoa dan memohon ampunan kepada Allah atas semua yang terjadi."
Satu per satu, mereka terdiam, merasakan beratnya kenyataan. Dulu mereka berpikir bisa mulai segar dan baru, tapi kini mereka dihadapkan pada sisa-sisa kehidupan yang menyedihkan.
"Bagaimana kita bisa hidup di sini?" tanya salah satu anggota dengan nada putus asa. "Bangkai-bangkai ini... Kita harus melakukan sesuatu."
"Pertama, kita harus membersihkan diri dan mencari makanan," jawab ulama. "Kita harus tetap berjuang. Kita tidak boleh menyerah."
"Ya, kita harus membangun kembali," sahut Sarah, berusaha menguatkan diri dan orang-orang di sekitarnya. "Kita bisa mulai dari sini, dari apa yang masih tersisa."
Dengan tekad baru, mereka mulai mencari tempat untuk berlindung dari hujan dan membuat rencana untuk mencari sumber makanan. Perlahan, mereka bergerak menjauh dari pemandangan yang menyedihkan, berharap menemukan sesuatu yang bisa mereka makan.
Setelah beberapa saat mencari, mereka menemukan sekumpulan tanaman liar yang tumbuh di sekitar reruntuhan.
"Ini dia!" seru salah satu anggota dengan gembira. "Kita bisa memetik daun-daun ini!"
Namun, ketika mereka mulai memetik, kesedihan menyelimuti hati mereka. Mereka teringat akan kehilangan dan kesedihan yang mereka alami selama 40 hari terakhir.
"Kita harus ingat apa yang terjadi," kata ulama, menegaskan. "Kita tidak bisa melupakan yang telah pergi. Kita harus menghormati mereka."
Mereka semua mengangguk, merenungkan apa yang telah terjadi. Meskipun ada rasa syukur karena hujan dan harapan untuk masa depan, mereka juga menyadari bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Dengan semangat baru dan tekad untuk membangun kembali, mereka bersatu untuk menghadapi tantangan yang ada di depan.
14.4. Hujan Berkah di Penjuru Dunia
Di dalam bunker, mereka masih tertegun dengan perasaan lega saat air hujan terus mengguyur. Tak ada yang bisa menahan rasa syukur yang meluap. Di luar bunker, pemandangan yang sama terjadi, suara hujan deras memecah sunyi yang selama ini menyesakkan. Di berbagai belahan dunia, mereka yang bertahan hidup akhirnya merasakan rahmat Tuhan.
Beberapa orang di bunker mulai berdiri dengan tubuh gemetar. Sarah memegang perutnya yang lapar, tapi air hujan yang membasahi tubuhnya memberikan sedikit rasa segar.
Sarah berbicara dengan suara serak, “Akhirnya... kita diselamatkan. Tapi, makanan... kita masih butuh makanan.”
Ulama yang selama ini tenang hanya terdiam. Bibirnya terus melantunkan zikir tanpa henti. “Sabar, Sarah. Allah akan menurunkan berkah lainnya. Hujan ini adalah tanda. Kita akan bertahan.”
Farid yang berdiri di sebelahnya, mencoba meresap suasana itu. "Lihat, air ini... seakan-akan mencuci dunia yang sudah mati. Tapi, entah berapa lama kita bisa bertahan jika hanya dengan air," ucapnya sambil meminum air hujan yang ditampung di tangannya.
Di belahan bumi lain, suara ledakan emosi serupa terdengar di desa-desa yang masih selamat. Di kota yang pernah dihantam kehancuran besar, sekelompok orang berlarian keluar dari reruntuhan. Teriakan kebahagiaan bergema, saling sahut-menyahut di seluruh penjuru.
“Sial, hujan ini... seharusnya datang lebih cepat,” keluh seorang pria di daerah Afrika, wajahnya penuh kotoran debu yang tersapu oleh air hujan.
Di Asia, seorang wanita tua berlutut di atas tanah yang basah, “Terima kasih, Tuhan... terima kasih...!” Dia menangis, memegang erat-erat anak kecil di sebelahnya.
“Di mana makanan? Kita butuh makanan!” teriak salah satu orang di kelompok mereka, wajahnya penuh panik.
Di sebuah padang pasir yang dulu tak tersentuh air, hujan turun untuk pertama kalinya dalam berabad-abad. Orang-orang yang selamat dari bencana berusaha mengumpulkan air di kain-kain yang basah.
“Kita tidak bisa bertahan lama hanya dengan ini. Kita butuh lebih dari sekedar hujan! Kita perlu makanan!” teriak seorang pemuda di Amerika Selatan, wajahnya kusut dan pucat akibat kelaparan.
Kembali ke bunker, suara zikir ulama semakin tenang, dia menutup zikirnya dengan sebuah doa yang menggetarkan hati semua yang mendengarnya.
“Ya Allah, terima kasih atas hujan ini. Kami memohon rahmat-Mu untuk memberi kami kekuatan. Berikanlah kami rezeki, agar kami bisa bertahan di dunia ini...”
Salah satu pria di sudut bunker, Andi, tiba-tiba tersedu-sedu. “Tuhan... di mana lagi kita harus mencari makanan? Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya memberi makan anakku.”
Rina, yang duduk di dekat pintu bunker, berbicara sambil menangis, “Lihatlah di luar, debu sudah mulai menghilang. Tapi apakah kita bisa menemukan makanan di sana? Setidaknya sekarang kita bisa minum air hujan ini, tapi... aku takut, bagaimana kalau hujan ini berhenti?”
Sarah menunduk, matanya kosong, “Aku takut. Aku benar-benar takut... Hujan ini, meskipun membawa harapan, rasanya kita masih jauh dari keselamatan. Lihatlah di sekitar kita... semuanya masih hancur.”
Tiba-tiba, Farid berdiri tegak, menatap keluar bunker. “Tidak! Kita tidak boleh menyerah sekarang! Allah telah memberikan kita hujan ini, artinya masih ada harapan di luar sana! Kita hanya perlu mencari, tidak boleh putus asa!”
Mereka semua terdiam mendengar semangat Farid, meskipun mereka tahu bahwa tantangan yang ada di depan mereka masih sangat berat.
Di berbagai belahan dunia, suara hujan terus mengguyur, membawa berkah dan kesedihan yang terbungkus dalam tetesan air yang membasahi tanah yang porak-poranda. Banyak yang mulai merasakan kehangatan dari air hujan, tapi mereka tahu bahwa perjuangan untuk bertahan hidup baru saja dimulai.
Tetesan air hujan di seluruh dunia seolah-olah membawa pesan dari langit: ini adalah awal dari era baru, era di mana hanya yang kuat dan beriman yang akan mampu bertahan.
14.5 Kawah Menganga di Amerika Utara
Di Amerika Utara, hujan yang turun terus-menerus mulai membersihkan debu yang selama ini menyelimuti bumi. Orang-orang yang bertahan hidup akhirnya memberanikan diri keluar dari tempat perlindungan mereka, wajah mereka masih dipenuhi rasa syukur karena hujan. Namun, di tengah perjalanan, mereka tertegun dan terdiam ketika sebuah pemandangan yang mengejutkan muncul di depan mata mereka.
Di hadapan mereka terbentang sebuah kawah yang sangat luas. Ukurannya begitu besar, dan kedalamannya tampak tak terhingga. Mereka tahu, ini bukan sekadar lubang biasa. Ini adalah hasil dari tumbukan meteor selebar 2 kilometer yang dulu menghantam bumi dan menyebabkan bencana dahsyat—dukhon, kegelapan total, dan kehancuran di seluruh dunia.
“Ya Tuhan...,” ucap seorang pria dengan suara bergetar. Ia tak mampu mengalihkan pandangannya dari kawah itu. “Ini... ini yang menghancurkan dunia kita...”
Kawah tersebut membentang sejauh mata memandang, lebih besar dari apa yang bisa mereka bayangkan. Tanah di sekitarnya hancur, terkelupas, dan retak. Pohon-pohon yang dulunya berdiri tegak kini tak tersisa, hanya tanah gersang yang dipenuhi debu basah karena hujan.
Seorang wanita bernama Sarah, yang ikut dalam kelompok itu, menutupi mulutnya dengan kedua tangan. “Kita... kita semua hampir mati karena ini. Meteor sebesar itu... dan lihatlah hasilnya,” ujarnya, suaranya bergetar penuh emosi.
James, seorang pria muda yang selama ini mencoba tetap tenang, berjalan mendekati tepi kawah dengan langkah pelan. Wajahnya pucat, tapi matanya menunjukkan rasa penasaran yang mendalam. “Ini bukan cuma meteor yang menabrak bumi,” katanya pelan, “ini seperti kiamat kecil...”
Yang lain mengikuti langkahnya, meskipun ada yang merasa takut untuk mendekat. Ketika mereka tiba di tepi kawah, mereka menyadari betapa mengerikannya dampak dari tumbukan tersebut. Lubangnya sangat dalam, dengan dinding-dinding tanah yang runtuh. Dari dasar kawah yang jauh di bawah, mereka bisa mendengar suara aliran air, air hujan yang mengalir ke dalam kawah, seolah-olah bumi sedang mencoba menyembuhkan luka parahnya.
“Kita hampir tidak punya apa-apa sekarang,” Jack, pria tua di kelompok itu, bergumam sambil menatap lurus ke depan. “Meteor ini... dan segala sesuatu yang terjadi setelahnya... kita beruntung masih hidup.”
“Tapi untuk apa?” jawab Sarah dengan nada frustrasi. “Lihatlah sekitar kita! Tidak ada yang tersisa! Kita bahkan tidak tahu apakah kita bisa bertahan. Tidak ada makanan, tidak ada tempat tinggal yang aman, dan sekarang kawah ini... seberapa parah lagi keadaan bisa jadi?”
Mereka semua terdiam sejenak, mendengarkan suara hujan yang masih terus turun. Hujan itu, meskipun membawa harapan, tidak bisa menghilangkan fakta bahwa dunia di sekitar mereka telah berubah selamanya.
“Aku tidak tahu,” jawab Jack pelan, “tapi kita harus tetap hidup. Selama kita bisa bertahan, kita harus mencoba.”
Tiba-tiba, salah satu anggota kelompok, Maria, menunjuk ke tepi kawah yang lebih jauh. “Lihat! Ada reruntuhan di sana. Mungkin... mungkin itu adalah sisa-sisa kota yang hancur akibat tumbukan ini.”
Semua orang menoleh ke arah yang ditunjuk Maria. Di kejauhan, tampak puing-puing bangunan yang tergeletak tak beraturan. Gedung-gedung yang dulu menjulang kini hanya tinggal kerangka yang bengkok, sebagian besar terkubur oleh tanah yang runtuh. Mereka menyadari bahwa kota besar yang dulunya megah telah hancur total oleh kekuatan meteor tersebut.
“Apa yang terjadi di tempat ini...?” James bertanya pada dirinya sendiri. “Meteor sebesar 2 kilometer menghantam bumi... dan kita hanya bisa melihat hasil akhirnya sekarang.”
Salah satu wanita di kelompok itu, Rachel, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. “Kita tidak tahu seberapa dalam luka yang diberikan oleh meteor ini. Tapi yang pasti, dunia kita tidak akan pernah sama lagi.”
Suasana hening kembali menyelimuti mereka. Mata-mata mereka masih terarah pada kawah besar yang menganga di depan mereka. Meski hujan turun membersihkan debu, pemandangan di depan mata mereka tetap mengerikan.
“Hujan ini mungkin membawa harapan,” Maria berkata dengan suara pelan. “Tapi... kita masih jauh dari kata aman. Kita harus mencari makanan, minuman... kita bahkan tidak tahu apakah tanah ini masih bisa menumbuhkan sesuatu.”
Sarah menggelengkan kepalanya. “Tidak ada yang tersisa di sini... hanya kehancuran. Kita harus pergi dari tempat ini. Kita tidak bisa tinggal di dekat kawah ini.”
James, yang masih berdiri di tepi kawah, akhirnya berbalik. Wajahnya terlihat tegang, tapi ada sedikit semangat yang tersisa. “Kita tidak bisa menyerah sekarang,” katanya. “Kita masih hidup, dan itu berarti kita punya kesempatan. Kawah ini... mungkin menandakan akhir bagi banyak hal, tapi mungkin juga ini awal bagi kita.”
Jack mengangguk perlahan. “Mungkin kau benar, James. Kita masih punya waktu. Dan hujan ini... mungkin ini adalah awal dari penyembuhan.”
Mereka akhirnya memutuskan untuk bergerak menjauh dari kawah, meninggalkan lubang raksasa yang menghancurkan sebagian besar dunia di belakang mereka. Mereka tahu, perjalanan ke depan akan sangat sulit, tapi dengan hujan yang terus turun, setidaknya mereka masih bisa berharap bahwa bumi akan mulai pulih perlahan-lahan. Mereka tidak tahu apa yang menunggu di depan, tapi satu hal yang pasti—dunia yang mereka tinggalkan di belakang sudah tidak akan pernah sama lagi.