SIAPKAN KANEBO UNTUK MENYEKA AIR MATA!!!
"Manakah yang akan membunuhnya, siksaan suami atau penyakit mematikan?"
Demi menghindari perjodohan dengan seorang pria yang merupakan mafia, ia menjebak seorang montir dan memaksa menikahinya. Tanpa disadari olehnya, bahwa sang montir ternyata adalah bekas seorang bos mafia.
Bukannya bahagia, Naya malah mendapat perlakuan buruk dari sang suami. Mampukah Naya bertahan dengan siksaan Zian di tengah perjuangannya melawat maut akibat penyakit mematikan yang menggerogoti tubuhnya?
IG otor : Kolom Langit
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang asing
Dengan langkah gontai, Naya berjalan pulang menuju rumahnya. Sesekali gadis itu menghela napas. Saat melewati sebuah lapangan, tanpa sengaja seseorang menendang bola dengan kencang sehingga mengenai kepalanya.
Plak!
"Auwhh... " Naya jatuh terduduk memegangi kepalanya yang terasa sakit. Ia meraba hidungnya yang terasa mengeluarkan cairan.
"Aku mimisan," gumamnya dengan panik.
Seorang pria yang kira-kira seumuran dengannya berlari menghampiri, lalu berjongkok di depannya.
"Kau tidak apa-apa? Maaf aku tidak sengaja," ucap laki-laki itu. Seketika, ia ikut panik, manakala mendapati hidung gadis itu yang mengeluarkan darah. "Kau berdarah?"
Gelagapan, Naya mengusap hidungnya, berusaha menyembunyikan. "Aku tidak apa-apa, aku sudah biasa mimisan," ucapnya pada pria itu.
"Tidak! Kau berdarah. Aku akan mengantarmu ke rumah sakit." Laki-laki berwajah blasteran itu membantu Naya berdiri.
"Tidak usah, aku baik-baik saja, terima kasih." Naya masih berusaha menunjukkan senyumnya. Walaupun jelas terlihat wajah pucatnya.
"Apanya yang tidak apa-apa. Hidungmu mengeluarkan banyak darah, ayolah... Aku antar ke rumah sakit," ucapnya setengah memaksa. Dan walaupun gadis di depannya sudah menolak secara halus, namun laki-laki itu tetap memaksa.
Ia melambaikan tangan pada beberapa teman yang masih berada di lapangan luas itu. "Teman-teman, aku pergi sebentar ya, nanti aku kembali," teriaknya.
Darah yang mengalir melalui hidung Naya semakin banyak. Gadis itu panik, begitu pun dengan laki-laki itu. Hingga kepalanya terasa pusing. Dan sesaat kemudian, semuanya terasa berputar, Naya tak sadarkan diri lagi. Dengan cepat, laki-laki itu menangkap tubuh gadis itu dan membawanya ke mobil miliknya yang terparkir tak jauh dari lapangan tempatnya bermain bola.
"Ya ampun, kenapa darahnya banyak sekali. Apa yang sudah ku lakukan? Bagaimana kalau gadis ini mati karena kehabisan darah," gumamnya seraya meraih tissue, dan menyumbat sebelah hidung Naya agar darah terhenti. Ia menyalakan mesin mobil, dan segera menuju rumah sakit terdekat.
****
Masih dengan menggunakan baju kaos jersey-nya, laki-laki itu mondar-mandir di depan ruangan IGD. Menunggu Naya yang sedang mendapatkan pertolongan dari dokter.
Beberapa jam berlalu, Naya akhirnya tersadar dari pingsannya. Walaupun pendarahan di hidung sudah berhenti, namun wajahnya masih sangat pucat.
Laki-laki tadi kemudian masuk ke dalam ruang IGD setelah mendapat izin dari dokter, lalu menghampiri Naya yang sedang berbaring.
"Maaf ya... Karena terkena bola yang ku tendang, kau jadi begini," ujarnya dengan perasaan bersalah.
"Aku tidak apa-apa. Aku sudah biasa mimisan. Ini bukan salahmu." Naya bangkit dari posisi berbaringnya, lalu duduk selonjoran di tempat tidur, memijat pelan kepalanya yang terasa berdenyut.
"Namaku Evan," ucap lelaki itu seraya mengulurkan tangannya.
"Naya." Ia hanya menyebutkan namanya tanpa menyambut uluran tangan Evan. Membuat tangan lelaki itu menggantung.
"Baiklah, sepertinya kau tidak begitu suka berinteraksi dengan orang asing."
"Maaf, aku hanya..."
"Tidak apa-apa. Itu normal. Aku orang asing bagimu. Oh ya... Tadi dokter bilang padaku, kau harus menjalani beberapa pemeriksaan untuk mengetahui penyebab kau mimisan."
Mendengar ucapan Evan membuat Naya gelagapan. "Tidak usah, aku sudah tahu hasilnya." Naya kemudian beranjak dari tempat tidur itu. "Lagipula kenapa kau bawa aku ke rumah sakit? Aku tidak punya banyak uang untuk membayar biaya perawatanku."
"Tenang saja, aku sudah membayarnya." Evan tersenyum tulus.
"Baiklah, terima kasih. Aku sudah merepotkanmu. Kalau sudah punya uang, aku akan menggantinya."
Naya beranjak meninggalkan ruangan itu, sementara Evan mengekor di belakangnya. Ia berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Naya yang terlihat terburu-buru.
"Apa maksudmu kau sudah tahu hasilnya? Apa kau sedang sakit?" tanya Evan penasaran.
Sejenak Naya terdiam. Gadis itu tidak pernah menceritakan apa yang membuatnya sampai mengalami keadaan seperti ini sekarang. Ia kembali teringat empat tahun lalu, saat dirinya sedang menuju ke suatu tempat, masih dengan seragam sekolahnya dan tanpa sengaja berada di antara beberapa orang yang sedang terlibat perkelahian.
Entah peluru datang darimana menembus perutnya dan mengenai organ hatinya, sehingga harus diangkat sebagian. Sejak saat itu hidup gadis itu berubah. Naya harus hidup di bawah aturan dokter dan ahli gizi. Serta harus menjalani beberapa kali operasi dan harus menjalani pengobatan rutin untuk memulihkan fungsi hatinya.
Untuk pertama kalinya, Naya menceritakan apa yang pernah dialaminya pada orang asing yang baru pertama kali bertemu. Selama perjalanan pulang, Evan terlihat beberapa kali terkejut.
"Laki-laki yang menembakku itu sangat jahat. Dia meninggalkanku begitu saja setelah menembakku. Kalau suatu hari aku bertemu dengannya, aku pasti akan menguburnya hidup-hidup. Dialah yang membuat hidupku seperti ini. Tapi kapan aku akan bertemu dengannya. Wajahnya saja aku tidak ingat," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Jadi begitu ceritanya?" Evan tercengang setelah mendengar cerita dari Naya. Ia menepikan mobilnya, berusaha menenangkan gadis yang duduk di sampingnya.
"Anggap aku tidak pernah menceritakannya padamu. Aku belum pernah menceritakannya pada siapapun bahkan pada sahabatku sendiri."
"Lalu kenapa kau ceritakan padaku?" tanya Evan.
"Karena kita tidak akan bertemu lagi setelah hari ini," jawab Naya singkat.
"Bagaimana kau tahu kalau kita tidak akan bertemu lagi setelah hari ini?"
"Karena kita tidak akan bertemu lagi. Pertemuan kita hari ini hanya karena kecelakaan, jadi kita tidak punya alasan untuk bertemu lagi, kan?"
"Haha, kau sangat menggemaskan tahu."
"Menggemaskan?" ucapnya kesal.
"Iya. Tapi aku kagum padamu. Kau gadis yang sangat kuat. Hidup dalam batasan tidak mudah."
"Awalnya aku juga berat. Tapi sudahlah, aku sudah bersahabat dengan takdir."
****
Atas perintah Zian, Dimas pergi ke rumahnya memeriksa Naya sedang apa di rumah sederhana itu. Namun, saat tiba, Naya tidak ada di tempat. Dimas lalu menghubungi Zian melalui ponselnya. Hendak melaporkan temuannya.
"Halo, Bos... Naya sedang tidak ada di rumah. Sepertinya dia belum pulang?" ucap Dimas.
"Kemana gadis bodoh itu di jam seperti ini?" tanya Zian dengan nada kesal.
"Entahlah, Bos. Semua lampu di rumah juga padam."
"Baiklah, kau boleh pulang." Zian lalu menutup sambungan teleponnya. Sementara Dimas beranjak pulang. Ia melirik jam di pergelangan tangannya, sudah menunjukkan pukul sembilan.
"Ya, tentu saja... Dia pasti memanfaatkan kepergianku keluar kota dengan bersenang-senang bersama teman-temannya," gumamnya kesal.
Awas saja dia kalau aku sampai di rumah nanti.
***
Sementara itu, sebuah mobil melaju pelan di jalan yang terlihat sepi.
"Turunkan aku di sini saja," pinta Naya pada Evan.
"Rumahmu dimana?" tanya Evan mengedarkan pandangannya.
"Rumahku sudah tidak jauh dari sini. Terima kasih, ya... atas pertolonganmu hari ini," Naya membuka pintu mobil dan beranjak turun, namun Evan menahannya.
"Boleh aku minta nomor teleponmu?"
"Untuk apa?"
Pria itu berpikir sejenak, kemudian menyunggingkan senyumnya. Seperti mendapat ide brilian untuk membuat Naya memberikan nomor teleponnya.
"Bukankah kau bilang mau mengganti uangku untuk biaya perawatanmu tadi? Lalu kemana aku harus menagihnya kalau aku tidak tahu rumah dan nomor teleponmu?"
"Oh, baiklah. Berikan nomor teleponmu. Kalau sudah punya uang, aku akan menghubungimu."
"Haha, kau pikir aku bodoh? Kau tidak akan menghubungiku setelah ini."
Naya berdecak kesal. Sepertinya kenalan barunya ini lumayan menyebalkan. "Baiklah, catat nomor teleponku." Gadis itu menyebutkan nomor teleponnya dan dengan cepat Evan mencatat di ponselnya, kemudian mencoba menghubungi nomor itu.
"Kau mau membodohiku? Ini tidak tersambung." Evan menunjukkan layar ponselnya.
Dia benar-benar licik. Aku terpaksa harus memberikan nomor teleponku.
"Baiklah, catatlah!"
"Awas saja kalau kau memberiku nomor salah lagi."
"Dasar licik, "Naya bergumam pelan, namun gumaman itu dapat didengar dengan jelas oleh Evan. Ia segera menyebut nomor ponsel yang sebenarnya.
Lalu saat ponselnya berdering tanda panggilan masuk dari nomor ponsel Evan, ia menunjukkannya dengan kesal, membuat Evan begitu gemas.
"Itu baru adil," ucap Evan dengan seringai kepuasan.
Setelah perdebatan kecil itu, Naya segera turun dari mobil mewah itu dan berjalan kaki menuju rumah.
***
Bersambung