Nadira Ghautiah hanyalah seorang gadis berhijab yang kesehariannya bekerja sebagai akuntan. Ia tak menyangka hidupnya akan berubah 180 derajat saat bertemu seorang pria yang dikejar-kejar pembunuh.
Situasi itu membawanya pada posisi rumit nan mencekam. Kejadian demi kejadian yang berbahaya terus mengikutinya. Demi keselamatan hidupnya, ia terjebak dalam pernikahan paksa dengan Arsenio Harrington, Sang Pewaris tunggal kerajaan bisnis Harrington.
Mampukah Nadira menerima kenyataan pernikahan yang jauh dari bayangannya dan menerima fakta bahwa suaminya adalah seorang pewaris yang dingin dengan masa lalu kelam.
Bagaimana kisah selanjutnya? Nantikan hanya di novel Cinta Sejati Sang Pewaris.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CSSP Ep. 20
Malam kian larut, debur ombak sayup terdengar dari lantai dua. Arsen merentangkan tangannya yang terasa pegal, usai makan malam tadi, ia memutuskan untuk ke ruang kerjanya. Berbeda dengan Nadira yang diajak berkeliling oleh Areef ke sekitar pantai.
"Kakek sudah pulang belum?" tanya Arsen pada asistennya yang sedari tadi menemaninya membaca laporan.
Arsen mengendurkan kerah kemejanya yang terasa sesak. Asisten itu menunduk lalu menjawab. "Tuan Besar sudah pulang sekitar 15 menit yang lalu, Tuan Muda."
"Nadira sudah beristirahat?"
"Maaf, Tuan Muda. Sepertinya belum, Pelayan bilang Nyonya Muda sedang berjalan-jalan di sekitar pantai."
"Malam-malam begini?"
"Mungkin Nyonya sedang butuh angin segar, Tuan. Atau perlu saya panggil Nyonya untuk menemui Tuan?"
"Tidak perlu! Biar aku yang lihat sendiri." Lalu Arsen keluar dari ruang kerjanya.
Di bawah, Nadira memandangi cahaya bulan di tepi pantai. Nyiur melambai, ombak beriak landai. Angin menerpa wajahnya yang cantik, hijabnya berkibar indah. Gulungan pasir putih lembut membuat Nadira betah berlama-lama.
"Sudah larut, sedang apa kamu di sini sendirian?" Nadira terpaksa menoleh ke asal suara. Arsen tengah menatapnya intens.
"Pak Arsen kenapa ke sini? Bukannya tadi masih sibuk?" Nadira balik bertanya.
Arsen memicing tajam. "Saya sedang bertanya padamu, Nadira."
"Apa lagi yang bisa saya lakukan di sini, Pak? Terlalu membosankan di dalam, jadinya ya saya keluar, menatap bulan di keheningan malam juga tidak terlalu buruk," jawab Nadira. Kembali matanya menatap debur ombak yang membuyarkan bayangan bulan di dalamnya.
"Jangan panggil saya dengan sebutan Pak! Saya bukan Ayahmu, Nadira" Arsen melayangkan protes.
"Yang bilang Pak Arsen Ayah saya siapa? Lagipula di kantor juga biasanya saya panggil Pak gak apa-apa kok."
Arsen mencebik. "Tapi sekarang berbeda, saya suamimu, bukan atasanmu lagi. Dipanggil Pak membuat saya terkesan tua."
Nadira menahan tawa. Arsen yang kini berada di sisinya tampak berbeda. Lebih cerewet dan sedikit lebih, lucu, menurutnya.
"Kenapa kamu?" tanya Arsen heran melihat Nadira terkekeh di sampingnya.
"Tidak ada, Pak" tawa Nadira meledak, Arsen yang melotot tak terima dipanggil Pak tampak lucu di matanya.
"Kalau kamu masih tertawa, saya lempar kamu ke laut!" ancamnya. Namun bukannya berhenti, tawa Nadira makin kencang.
Arsen benar-benar aneh dengan wanita di hadapannya sekarang. Kemarin tatapannya sangat tajam, seolah ingin membunuhnya. Sekarang malah tertawa keras, para pelayan yang berada di luar bahkan sempat mencuri pandang pada keduanya.
"Maaf, maaf, Pak! Saya benar-benar tidak bisa menahannya. Maaf," ucap Nadira saat tawanya mulai reda.
"Jadi, Pak Arsen harus saya panggil apa?" Arsen tampak berpikir, ia juga bingung, dengan sebutan apa Nadira harus memanggilnya?
"Pak? Kok malah bengong? Tadi protes, ditanya malah gak jawab."
"Terserah kamu saja! Cepat masuk, anginnya mulai terasa ingin," Arsen berjalan cepat meninggalkan Nadira di belakang.
***
Nadira sudah berbaring di kasurnya yang lembut. Meluruskan pinggang setelah seharian memerah tenaga. Bagi Nadira, bertemu banyak orang dan mengobrol dengan mereka menguras banyak energinya. Dan berbaring adalah kenyamanan yang di damba-damba setelah lelah memeluk raga.
Arsen keluar dari kamar mandi, masih dengan rambut basahnya. Meninggalkan genangan kecil di lantai.
"Pak Arsen!" sentaknya, Arsen terkejut. "Apa? Kenapa berteriak? Saya tidak tuli, Nadira"
"Lantainya basah!"
"Lap!"
"Pak Arsen dong yang lap!"
"Pak lagi?!"
"Kenapa? Gak suka?"
"Nadiraaaa," Arsen berubah jengkel.
Wanita ini! Hanya dia yang berani membantah dan memerintah diriku. Jika bukan karena nasihat Kakek, aku pasti sudah menggantung dia di atas pohon! geram Arsen.
Keduanya sengit. Namun pada akhirnya tetap Arsen yang membersihkan lantai basah itu dengan bersungut, menahan kesal dalam hati. Melap lantai sampai bersih.
Aku, sejak kapan bisa diperintah oleh seorang wanita seperti dia? geramnya.
"Puas?"
"Sip, berikutnya jangan sampai ada lantai basah lagi, ya, Mas Arsenio ... " jawab Nadira dengan nada yang dilembut-lembutkan. Membuat Arsen bergidik.
"Ka-kamu! cepatlah istirahat, besok kita harus kembali ke Ibukota," kata Arsen seraya mengambil bantal dan selimut dari lemari.
Nadira menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya sambil menepuk keningnya sendiri. Nadiraaaa, what are you doing? Berani-beraninya menggoda Pak Arsen? Panggil Mas segala lagi! Ih malu banget, deh!
***
Di suatu tempat. Rentak kaki menggema, orang-orang berkerumun menemui Sang Ketua, begitu mereka memanggilnya. Sedang seseorang yang dipanggil Sang Ketua, menatap anak buahnya satu persatu, jemarinya menjepit sebatang rokok yang menyala. Dari mulutnya asap mengepul tebal lalu hilang lenyap di udara.
"Maaf, Ketua. Kami gagal," ujar salah seorang dari mereka. Sang Ketua masih diam.
"Tapi, Ketua ... Kami awalnya berhasil menculik gadis itu ... "
Sang Ketua bangkit. "Dasar bodoh!" umpatnya sambil melempar puntung rokok yang tadi dihisapnya.
Semua anak buahnya terdiam. "Sudah kukatakan, main secara halus, kalian malah sembrono. Apa kalian tahu siapa yang kalian hadapi itu? Ha?!" Sang Ketua kalap.
"Jika Agen itu sampai tahu tempat ini, kalian tidak akan bisa menebak bagaimana cara dia membalas kita. Beruntung dia keluar dari organisasi, jika tidak, informasi di dalam disk itu pasti akan langsung sampai ke pihak atas," matanya menerawang jauh.
"Lalu, Ketua. Apa yang harus kami lakukan untuk menebus kegagalan kami?"
"Kau pikir kau bisa menebusnya? Mimpi! Pergi sana, jangan berada di hadapanku!" sentaknya. Lalu, orang-orang itu berlari keluar.
Sang Ketua kembali terduduk.
"Arsenio ... Akan kubayar hutang itu dengan baik," gumamnya tak jelas. Lalu ikut berlalu dari sana.
salam kenal untuk author nya