Aura, gadis berusia 26 tahun yang selama hidupnya tidak pernah memahami arti cinta.
Karena permintaan keluarga, Aura menyetujui perjodohan dengan Jeno.
Akan tetapi, malam itu akad tak berlanjut, karena Aura yang tiba-tiba menghilang di malam pengantinnya.
Entah apa yang terjadi, hingga keesokan harinya Aura justru terbangun di sebuah kamar bersama Rayyan yang adalah anak dari ART di kediamannya.
"Aku akan bertanggung jawab," kata Rayyan lugas.
Aura berdecih. "Aku tidak butuh pertanggungjawaban darimu, anggap ini tidak pernah terjadi," pungkasnya.
"Lalu, bagaimana jika kamu hamil?"
Aura membeku, pemikirannya belum sampai kesana.
"Tidak akan hamil jika hanya melakukannya satu kali." Aura membuang muka, tak berani menatap netra Rayyan.
"Aku rasa nilai pelajaran biologimu pasti buruk," cibir Rayyan dengan senyum yang tertahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Kenyataannya
Rayyan kembali memasuki ruang perawatan Aura. Kedatangannya lantas membuat Mama Yara membisikkan sesuatu pada putrinya.
"Mama keluar dulu ya, mau makan. Kamu kalau mau makan minta sama suamimu."
"Eh, Ma?"
Mama Yara mengerlingkan mata, menggoda sang putri. Aura langsung mendesis sebal.
"Nih ya, Mama kasih tau. Kalau kamu terus nolak Rayyan, ntar dosa, lho. Dia itu suami kamu. Terus, nanti kamu bakal nyesel kalau sampai dia pergi. Percaya sama Mama." Mama Yara kembali berbisik-bisik didekat telinga Aura, setelah itu dia benar-benar berderap untuk segera pergi.
"Ray, Mama titip Aura ya," Mama Yara berpesan pada Rayyan yang berdiri kaku didekat sofa.
"I-iya, Bu."
Mama Yara langsung mengernyit dengan panggilan Rayyan terhadapnya. Sepertinya sudah berapa kali Rayyan salah memanggilnya hari ini padahal dia sudah mengingatkannya juga berulang kali.
"Ehm, maksud saya, iya, Ma." Rayyan langsung meralat saat paham dimana letak kesalahan panggilannya terhadap ibu kandung Aura itu.
Mama Yara langsung menarik lengan Papa Sky untuk kembali keluar dan menemaninya. Lagipula mereka memang harus lebih banyak memberi Aura dan Rayyan waktu untuk berbicara berdua. Mereka harus dipaksa dekat, atau kalau tidak keduanya akan terjebak dalam situasi akward terus padahal Aura harus belajar menerima jika Rayyan sudah menjadi suaminya.
Aura membuang pandangan ke samping, dia malas melihat pemuda dengan kaos abu-abu itu.
"Kamu udah tau sesuatu, belum?" Rayyan memulai percakapannya. Dia duduk di sofa yang cukup berjarak dari bed hospital yang Aura tempati.
"Soal apa?" desis Aura datar.
"Soal anak kita."
Aura tersenyum sarkas. Rayyan sudah berani mengatakan soal yang dikandungnya adalah 'anak kita'.
Hih, yang benar saja? batin Aura.
Rayyan sebenarnya belum sanggup untuk mengatakan hal ini pada Aura. Tapi mau bagaimanapun Aura harus mengetahuinya. Cepat atau lambat Aura akan menanyakan hal ini baik padanya ataupun kepada kedua orangtuanya.
Lagipula, kedua orangtua Aura juga tidak tega dan bingung mau memulai memberitahu Aura darimana. Jadi Rayyan harus lebih berani jujur untuk mengatakan yang sebenarnya.
Melihat Aura hanya diam, Rayyan kembali bersuara.
"Anak kita, udah gak ada lagi dalam kandungan kamu, Ra."
Meski sulit, akhirnya kenyataan itu mampu dinyatakan oleh Rayyan kepada gadis yang sudah menjadi istrinya itu.
Aura refleks memegang perutnya. Dia syok, tentu saja. Tapi mengingat kecelakaan yang menimpa nya, Aura merasa wajar jika dia sampai kehilangan bayi itu.
Tanpa Aura sadari, airmatanya menetes mendengar kenyataan ini. Ini semua salahnya dan karena kecerobohannya. Andai dia tidak mengalami kecelakaan itu, andai dia bisa menyebrang dengan baik, andai dia tidak ke toko buku dan andai dia tetap didalam mobil saja waktu itu, mungkin janinnya masih baik-baik saja didalam rahimnya.
Entah kenapa Aura merasa sedih, padahal diawal kehamilannya dia merasa tidak menginginkannya.
Apa ini balasan untuknya? Apa bayinya merasa kalau sejatinya Aura tak pernah mengharapkan kehadiran janin itu dalam hidupnya?
Aura tidak tau sejak kapan Rayyan sudah berpindah posisi ke samping tempat tidurnya. Pria itu tampak gamang antara mau menenangkan Aura dalam pelukan atau justru diam menyaksikan Aura yang tampak bersedih.
"Apa bayinya merasa kalau dia gak pernah diinginkan untuk hadir?" tanya Aura dengan gumaman pelan. Rembesan airmatanya kembali luruh di pipi. Rayyan tidak kuasa untuk membantu menghapusnya.
"Kamu tau ada beberapa hal didunia ini yang gak bisa kita duga? Salah satunya adalah kehilangan. Kita gak pernah tau betapa berharganya sesuatu sampai kita turut merasakan kehilangan."
Aura mendongak pada pria tinggi yang berdiri disampingnya. "Kamu gak tau gimana rasanya, Rayyan! Aku udah mulai menerima kehadiran bayi itu!" tukasnya disertai tangisan.
"Aku tau, aku tau, Ra. Bayi itu juga milikku!" Rayyan menekankan kata-katanya.
Aura menatap Rayyan dengan wajah yang basah oleh airmata. Rayyan tak tahan melihatnya.
"Kamu merasa kehilangan karena kamu sudah menganggapnya ada. Jadi, jangan salahkan diri kamu dengan kata-kata ... bayinya pergi karena gak pernah diinginkan. Kamu salah! Kamu udah menerimanya, dan dia pergi karena suratan takdir, bukan karena kesalahan kamu, Aura."
Rayyan menghapus jejak-jejak airmata Aura dengan ibu jarinya. Gadis yang sudah menjadi istrinya itu tidak menolak, justru seakan pasrah dengan perlakuan Rayyan. Tentu hal ini membuat Rayyan bersyukur karena perlahan-lahan Aura sudah mulai menerimanya, setidaknya begitulah yang Rayyan pikirkan sekarang.
Aura bukan tak dapat merasakan bagaimana tangan Rayyan yang bergetar saat menyentuhnya, tapi dia masih larut dalam kesedihan sehingga rasanya tidak kuasa untuk menolak. Atau justru Rayyan memang sudah memberinya kenyamanan hingga dia bisa menanggapi perlakuan pria itu dengan santai.
"Jujur, awalnya aku merasa tidak sanggup memberitahukan hal ini sama kamu. Tapi, kamu berhak tau. Semakin lama hal ini dirahasiakan maka kamu akan lebih sakit hati jika mengetahuinya dibelakang hari. Maafkan aku harus memberitahu kamu sebuah kenyataan meski itu sangat menyakitkan."
Aura kembali menangis tersedu-sedu. Dia membayangkan bagaimana saat dia menyaksikan perkembangan sang jabang bayi lewat layar USG disebuah klinik obgyn waktu itu. Aura bahkan belum sempat meminum susu kehamilannya untuk membuat bayi dalam kandungannya sehat dan tidak kekurangan nutrisi. Ternyata begini rasanya kehilangan anak yang sempat tumbuh dalam dirinya. Rasanya jauh lebih sakit ketimbang kenyataan waktu Aura gagal menikah dengan Jeno waktu itu.
"Apa suatu saat nanti aku masih bisa merasakan masa-masa itu lagi?" gumam Aura.
"Maksud kamu?" Rayyan menatap ke dalam netra perempuan itu. "... kamu mau merasakan masa-masa kehamilan lagi?" tanyanya menebak.
Aura mengangguk, tapi kemudian dia sadar akan sesuatu. Dia langsung melepaskan diri dari Rayyan yang sudah berani menangkup kedua pipinya dengan telapak tangan yang terasa kokoh.
Rayyan langsung berdehem sekilas, dia tidak mau memaksakan Aura untuk dekat dengannya. Kendati dia sudah menjadi suami Aura sekarang, dia tau cara mendekati Aura adalah dengan perlahan sampai dia benar-benar bisa memiliki hati perempuan itu.
"Kamu lapar? Aku ambilkan makan, ya?" Rayyan mengalihkan pembicaraan mereka agar suasana tidak canggung.
"Gak usah, nanti aku minta sama Mama aja!" Aura kembali ketus. Dia sudah sepenuhnya sadar bahwa tidak seharusnya dia menerima segala perlakuan baik Rayyan.
"Mama kamu udah nitipin kamu ke aku."
"Aku bukan barang yang bisa dititipkan," tukas Aura membuat Rayyan langsung bungkam.
Rayyan akhirnya mengangguk dan kembali duduk di sofa yang tadi ditempatinya.
"Jangan terlalu berusaha! Hati aku udah mati dan gak akan bisa menerima kamu dengan mudah. Apalagi jika mengingat apa yang udah kamu lakukan ke aku. Soal yang tadi, lupakan! Aku gak bener-bener menikmati perlakuan manis kamu, itu semua karena aku sedih mengingat bayinya udah gak ada!"
Rayyan hanya diam mendengar penuturan Aura yang lagi-lagi menolaknya secara terang-terangan. Tapi, ada sebuah kalimat Aura yang membuatnya tersenyum tipis, yaitu Aura sudah mengakui jika tadi dia telah memperlakukan Aura dengan manis. Rayyan tau sesungguhnya hati Aura bukan sudah mati seperti kata-kata perempuan itu. Hanya saja, perlu kesabaran yang ekstra untuk meluluhkan perempuannya ini.
...Bersambung ......
Mohon dukungannya ya. Novel ini mau othor ajukan kontrak. Semoga prosesnya gak lama ya🙏🙏🙏