Di bawah lampu kerlap-kerlip euforia club, Rane, si Single Mom terpaksa menjalankan profesi sebagai penari striptis dengan hati terluka, demi membiayai sang anak yang mengidap sakit jantung.
Di antara perjuangannya, kekasih yang dulu meninggalkan dirinya saat hamil, memohon untuk kembali.
Jika saat ini, Billy begitu ngotot ingin merajut asmara, lantas mengapa dulu pria itu meninggalkannya dengan goresan berjuta luka di hatinya?
Akankah Rane menerima kembali Billy yang sudah berkeluarga, atau memilih cinta baru dari pria Mafia yang merupakan ipar Billy?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon malkist, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
"Lima hari ini, perkembangan Dande semakin membaik."
Rane lega mendengar penjelasan Dokter William yang barusan memeriksa anak nya yang saat ini mengobrol di depan ruangan.
"Terimakasih, Dok."
Dokter itu menghembuskan nafas sedikit kasar. "Kau masih canggung pada ku, Rane."
Rane sekadar tersenyum sekenanya pada teman sebangku nya dulu. "Aku memang seperti ini. Kau ingin aku bagaimana lagi?"
"Jika ada waktu senggang, mari kita makan siang atau makan malam bersama?"
Rane menggeleng pelan. "Maaf, Wil, aku adalah single parent. Harus bekerja keras dan sisa waktu luang ku yang cuma sedikit menurut ku, dikuasai oleh Dande." Lebih baik menolak halus ketimbang memberi harapan pada pria baik-baik seperti teman sekolah nya dulu ini.
"Aku, permisi."
Rane membuka pintu ruang rawat, berlalu meninggalkan William yang diam tak merespon.
"Mamaaaa..."
Sapaan ceria gadis berumur enam tahun yang menyambut nya, seolah-olah melenyapkan beban Rane.
"Hai, Sayang. Bagaimana keadaan mu?"
"Sangat baik."
Tapi, Rane masih melihat wajah pucat di sana.
"Ma, tadi malam aku terbangun. Nyari Mama tapi tidak ada. Mama ke mana?"
Ditanya demikian, tak mungkin Rane berkata jujur tentang profesi nya sebagai wanita penari striptis.
"Lima hari ini, Mama sudah memiliki pekerjaan tetap.""
"Whooo." Mata Dande berbinar. "Selamat, Ma."
"Tapi kerja nya malam hari. Makanya, kamu..." Rane menoel manja ujung hidung kecil itu sembari mengukir senyum terindah yang tulus. "Tidak lihat Mama saat terbangun tengah malam. Tidak apa kan?"
Dande mengangguk kecil. "Eum. Tapi, kerja apa malam-malam? Bukannya waktu malam, semua orang harus tidur?"
Inilah anaknya, cerewet nan ceriwis. Rane mana mungkin bisa bertahan hidup jika kehilangan anak seceria Dande.
"Usir setan. Kan, setan keluar nya malam jadi harus dibasmi. Sekarang, jangan banyak tanya. Mending kita berpelukan."
Maaf, Nak. Mama harus berbohong.
Dalam hati, Rane menangis pilu.
"Andai punya Papa, pasti Mama tidak perlu repot-repot kerja yang terdengar berbahaya dan menyeramkan. Tapi, Mama hebat jadi pengusir setan. Keren deh."
Rane merenggangkan pelukannya.
Ucapan Dande membuat Rane teringat Billy. Sejak malam itu, Billy tak pernah kelihatan.
"Pasti dia malu pernah mengenal wanita seperti ku yang berujung menjadi pel4cur," gumamnya berpikir demikian. Bagaimana tidak berpikir aneh-aneh, saat itu Billy menggebu-gebu ingin membuka penyamaran nya, namun setelah tahu dirinya di balik topeng itu adalah wanita masa lalu nya, maka apa? Rasa jijik pasti.
***
Pukul sepuluh malam, Rane terbangun di sebelah Dande yang masih tertidur pulas.
Waktunya berangkat kerja.
"Maaf, Sayang. Mama harus pergi lagi."
Satu kecupan di pipi itu tersemat hangat. Sejurus, ia beranjak keluar. Seperti biasa, Rane selalu menitipkan Dande ke suster yang berjaga di sift malam.
Satu jam kepergian Rane, Dande terbangun karena bermimpi buruk.
"Ma..."
Hampa yang ia dapatkan. Bocah itu menarik tubuh kecil nya untuk duduk.
Rasa kantuknya menguap sudah.
Merasa bosan, Denda beranjak keluar ruangan.
Ternyata tidak sesepi seperti kuburan. Masih ada orang yang duduk dan rebahan di kursi lainnya yang mungkin keluarga pasien yang menunggu.
Tidak ada yang menarik di mata Dande. Sampai ia melihat ada seorang lelaki yang berseragam rumah sakit sama seperti nya sedang termenung di ujung koridor seorang diri di sana.
"Hai, Paman. Apa kau juga kabur untuk bermain?"
"Hah?"
Anak siapa berkeliaran malam-malam mengganggu diri nya yang lagi termenung.
"Maksud ku, apa kau bosan di ruang inap tanpa teman, lalu berjalan jalan di koridor rumah sakit? Kalau iya, berarti kita sama. Aku bosan di ruang itu sendiri. Bagaimana, kalau kita bermain bersama?"
Jadi, gadis kecil memakai pakaian rumah sakit ini sedang bermain-main di malam hari karena bosan katanya.
Lucu sekali.
"Siapa namamu, Cerewet?"
Bocah itu main duduk di sebelah Paman tampan yang memakai seragam rumah sakit mirip dengan nya. "Dande." Kaki mungilnya berayun ayun riang tak mau berhenti. Pecicilan tapi lucu.
"Dande?"
"Ish, kenapa naik gitu alisnya? Nama ku jelek, ya?"
"Justru unik. Apa itu nama asli mu?"
Bocah itu mengangguk." Lebih tepatnya Dandelion."
Wah, nama bunga yang sering dilambangkan kekuatan, keberanian, harapan, serta keceriaan.
"Paman sakit juga? Sakit apa?" Dande menatap si Paman seksama. "Tetap ganteng. Tidak ada pucat-pucat dan lukanya."
"Hahaha..." Si Paman tertawa terhibur. Anak siapa sih, menggemaskan sekali.
"Dande sendiri tidak ada luka tapi kenapa di rumah sakit?"
"Oh, kalau Dande, kadang di sini yang terasa nyeri dan sakit. Katanya jantung ku bermasalah."
Deg...
Jantung? Kenapa kebetulan sama yang ia alami dari kecil karena bawaan genetik.
"Mama ku sering ngomel kalau aku bermain lama. Kan tidak asyik ya? Mulut Mama tuh manyun manyun asem gini ... Ehem, 'Dande, main nya udah, Nak. Dande, jangan lari-lari, Nak. Dande, jangan terlalu capek ... Dande... Dande ... Ah, semua serba dibatasi."
Pintar sekali niru kecerewetan Mamanya.
"Percaya sama Paman, Mama mu begitu karena dia sayang Dande. Cinta nya segunung dan selangit, bahkan seluruh penjuru dunia tidak bisa menggambarkan kasih sayang nya. Mama memang kadang kala menyebalkan kalau serba melarang kita, tapi itu sebenarnya demi kebaikan kita."
"Waah, benar kah?"
"Eum, benar dong."
"Ah, jadi kangen Mama."
"Maka pergi ke ruangan mu dan temui. Bilang pada nya ... Love you, Mom."
"Kalau malam, Mama kerja. Pagi baru pulang. Beberapa hari ini, gitu terus. Dande kadang takut kalau mimpi buruk, tidak ada Mama yang peluk, seperti sekarang. Makanya Dande keluar."
Kening pria itu berkerut. "Memang nya, Mama Dande kerja apa, kok malam?"
"Usir setan. Kata Mama, setan muncul nya malam hari jadinya harus dibasmi. Eh, Paman kok senyum?"
Karena kamu polos dan lucu menggemaskan.
"Kalau Papa Dande, jagain kan?"
Tiba tiba, kepala kecil itu tertunduk lesu. Sinar matanya langsung redup. "Dande belum pernah ketemu Papa. Kata Mama, dia udah jadi bintang setelah meninggal." Bocah cerewet berpipi tirus itu, mendongak ke langit.
Si Paman yang merupakan Billy, reflek mengelus lembut pucuk kepala kecil itu. Kasihan sekali. Sudah yatim rupanya. Pantes Mama dia banting tulang karena ia tahu betapa mahalnya biaya rumah sakit, jika benar tebakannya kalau si gadis kecil menderita jantung koroner dini yang seratus persen turunan genetik.
"Kau harus berusaha sembuh, demi Mama mu. Oke?"
Elusan sayang si Paman, menyentuh perasaan si Dande. "Paman, mau jadi Papa ku?"
"Hah?"
"Mau jadi Papa ku? Tenang, Mama ku cantik kok, tapi lebih cantikkan aku sih."
"Hahaha... kalau kau lebih cantik dari Mama mu, maka aku akan lebih memilih mu jadi istri lucu ku," goda si Billy seraya menoel ujung hidung imut itu.
"Ya ampun, Dande. Bibi Suster mencari mu sejak tadi. Kau ini, mau suster aduin ke Mama mu besok?"
Kedatangan seorang suster, mengganggu acara ngobrol mereka.
"Jangan Bibi Sus. Nanti, Mama gini ..." Dande melotot meniru sang Mama.
Billy lagi-lagi tersenyum terhibur.
"Paman, Dande pergi ya. Byee..."
"Byee, Dande. Cepat sembuh ya."
"Eum... Paman juga."
Tangan kecil Dande digenggam lembut oleh suster itu, melangkah bersama.
Ketika sedikit menjauh. Dande menepuk keningnya. "Aku lupa menanyakan namanya." Dande berhenti. Suster itu pun otomatis tertahan.
"Ada apa?"
Tak menjawab suster, Dande lebih dahulu menoleh ke belakang. Yaak, si Paman sudah tidak ada di kursi itu.
kasihan rane nanti