NovelToon NovelToon
Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Bad Boy
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: sha whimsy

" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.

Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."

Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."

"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."

Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"

Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ustadz Ganteng

Malam itu, suasana masjid terasa khusyuk. Lampu-lampu menerangi ruangan dengan lembut, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Para jamaah sudah berkumpul, menunggu kajian malam Jumat dimulai. Di depan, seorang pria dengan setelan baju koko putih berdiri dengan tenang. Pria itu adalah Bilal, sosok yang tampak semakin tampan dan berkarisma malam itu. Wajahnya bersih, dihiasi dengan ekspresi yang tenang namun penuh keyakinan. Setiap gerak-geriknya mencerminkan ketenangan seorang yang paham akan ilmunya.

Dengan suara lembut namun tegas, Bilal membuka kajian dengan basmalah. "Bismillahirrahmanirrahim," ucapnya, suaranya bergema di ruangan yang hening. Semua mata tertuju padanya, mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Sahabat sekalian," Bilal melanjutkan, menatap jamaah dengan tatapan yang hangat namun serius, "menjaga hati itu adalah bagian penting dalam kehidupan kita. Hati adalah pusat segala niat dan perbuatan. Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Segumpal daging itu adalah hati.' (HR. Bukhari)."

Suara Bilal terdengar penuh makna, dan setiap kata yang ia ucapkan disampaikan dengan kedalaman emosi. Ia berbicara dengan keyakinan yang membuat para jamaah terhanyut. Setiap kalimatnya terasa hidup, membawa pesan yang meresap dalam hati.

"Karena itu," lanjut Bilal, "kita harus senantiasa menjaga hati dari penyakit-penyakit batin seperti iri, dengki, dan sombong. Hati yang bersih akan memancarkan kebaikan dalam sikap kita sehari-hari." Bilal menatap jamaah sejenak, memberikan ruang bagi kata-katanya untuk meresap. "Dalam berinteraksi dengan sesama, baik keluarga, teman, maupun orang lain, sikap kita mencerminkan apa yang ada di dalam hati. Jika hati kita dipenuhi dengan kasih sayang dan kesabaran, maka itulah yang akan terlihat dalam perilaku kita."

Bilal berbicara dengan penuh keyakinan, tangannya sesekali bergerak lembut untuk menekankan poin-poin yang ia sampaikan. Para jamaah tampak terpaku mendengarkan, seolah tak ingin melewatkan satu kata pun. Wajah Bilal yang karismatik semakin menambah bobot pada setiap nasihat yang disampaikannya.

Malam itu, di bawah sinar lampu masjid yang lembut, Bilal bukan hanya menyampaikan ceramah. Ia menjadi sosok yang memancarkan ketenangan dan kedamaian, menyentuh hati banyak orang dengan kata-katanya.

"Ganteng banget ustadznya, bisalah kenalan," kata Mira sambil tersenyum memuji.

"Iyalah, calon suami gue," balas Sinta dengan nada bercanda, namun penuh percaya diri.

"Mana mau ustadz ganteng kayak dia sama lu," sahut Mira sambil tertawa kecil, menggoda temannya.

Di sudut lain, terdengar banyak bisikan dari perempuan-perempuan yang memuji ketampanan Bilal, bahkan beberapa di antara mereka tak bisa menahan senyum. Sorotan mata mereka tertuju pada sosok Bilal yang sedang memimpin kajian. Fatimah, yang duduk di antara mereka, hanya menggeleng pelan, mendengarkan percakapan teman-temannya.

"Hadehh, kenapa sih orang-orang ini pada terpesona sama Kak Bilal," gumam Fatimah dalam hati, merasa sedikit risih dengan obrolan yang berputar di sekitar nya.

Fatimah tahu, kakaknya memang memiliki daya tarik yang tak bisa diabaikan. Tapi bagi Fatimah, Bilal adalah sosok kakak yang sederhana, jauh dari kesan yang dibicarakan para perempuan di sekelilingnya.

Bilal melanjutkan ceramahnya dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan, menyita perhatian semua yang hadir.

"Saudara-saudaraku, menjaga hati bukanlah perkara yang mudah. Di zaman yang penuh godaan ini, sering kali kita terjerumus dalam perkara-perkara yang mengotori hati tanpa kita sadari. Salah satunya adalah hasad, atau iri hati. Rasulullah SAW pernah bersabda, 'Jauhilah iri hati, karena sesungguhnya iri hati memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.' (HR. Abu Dawud)."

Bilal berhenti sejenak, menatap hadirin, memastikan mereka menyerap pesan yang ia sampaikan. Cahaya lampu masjid memantul di wajahnya, memberikan kesan yang makin karismatik. Beberapa perempuan di belakang masih saling berbisik, memuji ketampanannya, namun Bilal tetap fokus pada tugasnya.

"Kita harus belajar untuk membersihkan hati dari rasa iri dan dengki. Caranya? Bersyukur. Dengan bersyukur, kita akan melihat segala nikmat yang Allah berikan, baik besar maupun kecil. Syukur itu menenangkan hati dan menjauhkan kita dari penyakit batin. Dan salah satu cara untuk memperkuat syukur adalah dengan memperbanyak dzikir, mengingat Allah dalam setiap langkah kita."

Suasana hening, para jamaah terdiam, mendengarkan dengan khusyuk. Bilal kemudian menutup ceramahnya dengan doa.

"Semoga Allah senantiasa memberikan kita kekuatan untuk menjaga hati kita tetap bersih dan lurus di jalan-Nya. Mari kita tutup kajian malam ini dengan doa bersama, semoga segala ilmu yang kita dapatkan bisa kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari."

Semua jamaah menundukkan kepala, mengikuti doa yang dipimpin oleh Bilal. Suaranya yang tenang membawa ketenangan di hati mereka, termasuk Fatimah yang merasa bangga melihat kakaknya menyampaikan pesan-pesan agama dengan begitu bijak dan penuh wibawa.

Setelah menyelesaikan tausiyahnya, Bilal berjalan menuju kamar kecil untuk mencuci tangan. Dia merasa lega setelah bisa menyampaikan pesan yang penting malam itu. Selesai dari kamar mandi, di luar dia melihat seorang gadis seumurannya sedang berjongkok di dekat siring. Gadis itu mengenakan gamis panjang berwarna cokelat muda dan jilbab panjang yang senada. Dia tampak kesulitan dengan sesuatu.

Bilal mendekatinya, sedikit bingung. "Permisi, ngapain mbak di sini?" tanyanya lembut.

Gadis itu menoleh, wajahnya tampak serius tapi lembut. "Aku mau menolong kucing itu," jawabnya sambil menunjukkan ke arah bawah siring.

Bilal mengikuti arah pandangannya dan melihat seekor kucing kecil yang tampak terjebak di sana. "Tapi karena gamis yang kupakai, aku jadi susah untuk mengambilnya," lanjutnya dengan nada sedikit putus asa.

Bilal melihat gadis itu sejenak sebelum tersenyum tipis. "Biar saya yang ambil, Mbak... eh, maaf, siapa namanya?"

"Naila, Naila Syahda," jawabnya dengan suara pelan.

"Baik, Mbak Naila. Saya Bilal," kata Bilal sambil mulai mendekat ke siring untuk menolong kucing itu. Dengan sigap, Bilal turun sedikit ke tepian, dan tak butuh waktu lama baginya untuk mengangkat kucing yang terjebak itu. "Ini dia," katanya, menyerahkan kucing kecil itu ke Naila.

"Terima kasih, Ustadz Bilal," Naila tersenyum, menatap Bilal dengan rasa syukur. Bilal menunduk sedikit, merasa kagum pada gadis yang mau repot-repot menyelamatkan makhluk kecil seperti itu.

"Sama-sama. Senang bisa membantu," jawab Bilal singkat, berusaha menjaga sikapnya tetap sopan.

Mereka berdua sempat saling tersenyum, lalu Naila memeluk kucing itu dengan hati-hati, sementara Bilal berdiri sejenak, memastikan semuanya baik-baik saja sebelum pergi.

Setelah menolong gadis bermata teduh tadi, Bilal berniat kembali masuk ke dalam masjid. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sekelompok perempuan muda mengerubunginya di luar masjid. Mereka tampak antusias, sebagian besar memuji dan menggoda Bilal yang memang dikenal sebagai sosok yang tampan dan berkarisma.

"Kak Ustadz, poto sebentar dong!" seru salah satu dari mereka sambil mengacungkan ponselnya.

"Iya nih, sekali aja, nggak apa-apa kan?" tambah yang lain, berusaha mendapatkan perhatian Bilal.

Bilal tampak canggung. Sebagai seorang ustadz, ia berusaha menjaga pandangannya dan sikapnya agar tetap sopan. Ia menghindari kontak mata dan tersenyum tipis sambil berkata, "Maaf, saya harus segera masuk ke dalam."

Di tengah keramaian itu, ada satu sosok yang tampak tak peduli—Fatimah, adik Bilal, yang dengan tenang berdiri agak jauh, melihat situasi itu dengan wajah datar. Dia sudah terbiasa dengan banyaknya perhatian yang diterima kakaknya, dan ia sama sekali tidak tertarik ikut bergabung dengan kerumunan yang mengerubungi Bilal.

Bilal berusaha melewati kerumunan dengan sopan, namun perempuan-perempuan itu terus mencoba menarik perhatiannya. "Aduh, maaf ya, saya benar-benar harus masuk," kata Bilal sambil pelan-pelan bergerak menjauh. Meskipun tersenyum, dalam hatinya ia merasa risih dengan situasi ini, berharap ada jalan cepat untuk segera masuk ke masjid tanpa menimbulkan kegaduhan.

Tiba-tiba, salah satu gadis menarik lengan Bilal dengan cepat dan—cekrek!—kamera ponsel berbunyi. "Yes, dapat juga!" serunya sambil menunjukkan hasil foto ke teman-temannya.

Bilal kaget, dan seketika menarik tangannya dengan lembut dari genggaman gadis itu. Wajahnya tampak tegang, tapi dia mencoba tetap tenang. "Maaf, tapi tolong lain kali jangan seperti itu ya. Ini kurang baik," ucap Bilal sambil menahan perasaan tidak enaknya.

Gadis-gadis di sekitarnya terlihat sedikit malu, namun sebagian masih tertawa kecil, merasa bangga telah berhasil mengambil foto. Bilal hanya mengangguk tipis, lalu dengan cepat berjalan menjauh, memasuki masjid tanpa menoleh lagi.

Fatimah, yang melihat semuanya dari jauh, hanya menghela napas. "Kasihan Kak Bilal...," gumamnya sambil berjalan mengikuti langkah kakaknya ke dalam masjid.

***

Setelah pulang dari masjid, Bilal duduk bersama keluarganya untuk makan malam. Suasana rumah terasa hangat, ditemani aroma masakan ibu mereka yang sedap.

Saat Bilal sedang mengambil lauk, Fatimah tiba-tiba menirukan suara gadis-gadis di kajian tadi, "Ustadz ganteng," godanya sambil menatap Bilal dengan senyum nakal.

Bilal menggeleng pelan sambil tersenyum tipis, "Fatimah, jangan ikut-ikutan mereka, ah. Itu nggak lucu," jawabnya dengan nada tegas namun tetap lembut.

Mama tertawa kecil mendengar Fatimah menggoda Bilal. "Sudahlah, Bilal, biasa anak muda. Yang penting kamu tetap jaga hati dan sikap," ujar mama, sambil menyendokkan nasi ke piring Bilal.

Fatimah masih belum berhenti, ia tertawa kecil. "Iya, tapi kakak itu memang jadi idola banyak orang loh sekarang, apalagi setelah jadi ustadz," tambahnya, sambil melirik Bilal yang tampak semakin canggung.

"Ya sudah, makan saja yang banyak," kata Bilal sambil mencoba mengalihkan pembicaraan, merasa sedikit risih dengan candaan adiknya. Tapi di dalam hatinya, dia hanya bisa berharap pujian-pujian seperti itu tidak terlalu mempengaruhinya.

"Ustadz ganteng tolong ambilin ayam goreng nya dong, dedek gak nyampek nih, " Kata Fatimah sambil tertawa geli.

Bilal hanya bisa menghela napas sambil tersenyum kecil mendengar godaan Fatimah yang tak henti-hentinya. "Kamu ini, ada-ada aja," katanya sambil mengambil sepotong ayam goreng dan meletakkannya di piring Fatimah.

"Ini, buat 'dedek'," ujarnya dengan nada bercanda, mengikuti gaya bicara Fatimah.

Fatimah tertawa geli, merasa puas bisa menggoda kakaknya. "Makasih, Kak Ustadz!" serunya, membuat semua orang di meja makan ikut tertawa.

Mama tersenyum lembut, memandang anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. "Sudah-sudah, jangan digoda terus kakakmu itu. Dia kan baru pulang ceramah, biar tenang sedikit," kata ibu, menambahkan nuansa hangat dalam obrolan keluarga mereka.

Bilal, meski sedikit tersipu, merasa bahagia dengan suasana keluarganya yang harmonis. "Kalian ini, jangan bikin ustadz kehilangan kesabarannya, ya," katanya sambil melanjutkan makan malamnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!