15 tahun berlalu, tapi Steven masih ingat akan janjinya dulu kepada malaikat kecil yang sudah menolongnya waktu itu.
"Jika kau sudah besar nanti aku akan mencarimu, kita akan menikah."
"Janji?"
"Ya, aku janji."
Sampai akhirnya Steven bertemu kembali dengan gadis yang diyakini malaikat kecil dulu. Namun sang gadis tidak mengingatnya, dan malah membencinya karena awal pertemuan mereka yang tidak mengenakkan.
Semesta akhirnya membuat mereka bersatu karena kesalahpahaman.
Benarkah Gadis itu malaikat kecil Steven dulu? atau orang lain yang mirip dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiny Flavoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19 - Menginap di rumah Bunda part III
"Yakin kamu mau ngebiarin saya tidur di Sofa," iseng Steven menjambak kecil rambut Rimba yang diikat ekor kuda dibelakang.
Rimba yang sedang merapikan sprei kasurnya spontan menegakkan badannya dan berputar menghadap Steven. "Menurutmu saya bercanda?" tantangnya.
Lelaki itu sengaja memajukan kepalanya, sedikit membungkuk, menyetarakan tinggi badannya yang menjulang agar sejajar dengan istrinya tersebut. "Oke, saya akan tidur di sofa malam ini," ucapnya begitu dekat.
Rimba mengerjap dua kali, ia tersadar kalau dirinya kini sedang berada dirumah Bunda. Celaka kalau bunda atau Galang tau mereka belum tidur seranjang. "Ralat deh! kamu tidur dikamar ini aja," pintanya.
Steven hanya menanggapinya dengan senyuman tipis, lantas ia beranjak naik ke atas ranjang yang ukurannya lebih kecil dari ranjang dirumahnya.
"Jam segini udah mau tidur?" tanya Rimba yang masih berdiri mengamati suami tampannya itu.
"Nggak ada larangan tidur lebih awal kan?" balas Steven balik bertanya, seraya merebahkan tubuh jangkungnya terlentang. "Lagipula nggak ada yang bisa saya lakukan lagi sekarang," ucapnya sudah memejamkan mata dengan tangan disisi tubuhnya.
Rimba tak menyahuti ucapan Steven. Entahlah, apa dia mengerti maksud sindiran suaminya barusan, atau emang dasarnya gadis itu terlalu cuek.
"Saya keluar sebentar ya, mau ngobrol bentar sama bunda," ujar Rimba yang tahu kalo suaminya itu belum benar-benar tertidur.
"Hemm," sahut Steven tanpa membuka matanya.
Rimba pun kembali keluar dari kamarnya. Ternyata diruang tv sudah tidak ada orang. Sepertinya bunda dan Galang sudah masuk ke dalam kamarnya masing-masing. Rimba pun lalu mengetuk pintu kamar Vania.
"Bun!"
"Apa Rim? masuk aja," sahut Vania dari dalam.
"Bunda belum tidur?" tanya Rimba saat sudah masuk dan mendapati Vania tengah membaca buku diatas ranjangnya.
"Belum, kenapa? kok kamu malah kesini ninggalin Steve," kata Vania lantas menutup buku tebal yang dibacanya itu.
"Dia udah tidur Bun," jawab Rimba naik ke atas ranjang dan duduk bersila disana.
"Tumben pengantin baru jam segini udah tidur, biasanya untuk beberapa hari lembur terus," ujar Vania tertawa kecil, menggoda putrinya yang nampak mengerutkan keningnya tak paham.
"Lembur apa?" tanya Rimba polos.
Vania memicingkan sebelah matanya menatap curiga. "Jangan bilang kalian belum melakukan itu," gumamnya serius.
"Oh hubungan suami istri maksud Bunda?" terka Rimba tanpa canggung. "Kami belum siap aja, Bun" katanya.
"Ya?" Vania terlihat kaget. "Kalian yang nggak siap, apa kamu yang nolak?" tanyanya penuh curiga.
Perempuan bersuami tapi masih gadis itu terdiam sejenak, ia juga bingung sendiri. Rimba memang tidak terang-terangan menolaknya, tapi Steven sendiri yang tidak memintanya secara langsung dan malah inisiatif tidur di kamar lain kemarin malam. Bukankan itu tandanya Steven juga belum siap?
"Oke, katakanlah bunda percaya kalau kalian memang belum siap. Tapi kamu perlu tau Rim, jika suatu saat suami kamu menginginkannya, maka kamu harus mau. Karena menurut agama kita, menolak ajakan suami akan menjadikan dosa yang besar bagi istri, begitu juga salat mereka tidak akan diterima, karena melayani suami adalah salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan, kecuali jika kamu sedang dalam fase haid, hamil, sakit, maka boleh menolaknya asalkan suami kamu ridho," kata Vania memberi wejangan.
Rimba menunduk seraya menelan salivanya, sebenarnya ia sudah cukup paham mengenai hal itu. Ia pernah membaca artikel di media sosial tentang kewajiban apa saja yang harus dilakukan sebagai seorang istri yang baik.
"Kamu paham apa yang bunda katakan barusan?" tanya Vania sambil menyelipkan poni panjang Rimba yang menutupi separuh wajah ke kupingnya.
"Iya Bun, aku paham," sahut Rimba mengangkat wajahnya, lalu memeluk Vania. "Aku bersyukur dilahirkan ke dunia ini dari perut bunda. Bunda udah begitu sabar ngadepin aku yang bandel, nggak mau diatur dan suka membangkang. Maaf Bun, aku baru menyadarinya setelah menikah kemarin." gumamnya semakin mendekap Vania.
Vania meneteskan air matanya dibahu Rimba diam-diam. Tak mampu berkata, hanya rasa syukur yang mampu ia panjatkan dari hati. 'Terima kasih Tuhan, Engkau kirimkan peri kecil ini kepadaku, meski berasal dari kesalahan dan pengkhianatan Suamiku terdahulu. Aku Ridho dan ikhlas. Aku mencintai dan menyayanginya seperti anak kandungku sendiri.'
.
Setelah mengobrol dengan Vania, Rimba kembali ke kamarnya karena matanya sudah mulai mengantuk.
"Yah, udah ngorok aja dia," gumam Rimba saat melihat Steven sudah benar-benar terlelap dan hanyut dalam mimpinya sendiri. "Geser Om!" ucapnya sedikit mendorong tubuh Steven tapi tidak membuat suaminya itu bergeser sesenti pun.
Rimba mengusap wajahnya gusar. Bagaimana dia bisa tidur nyenyak kalau ranjang sekecil ini harus dibagi dua dengan Suaminya.
"Kak Steve!" Rimba mengguncang tubuh Steven agar bangun. "Tidurnya nyamping dong! aku jadi nggak kebagian tempat nih," ujarnya, namun tak ada tanggapan sedikit pun dari lelaki yang tengah terlelap itu. "Bangun ih!" Rimba kembali menguncang-guncang tubuh suaminya lebih kejam lagi.
Kali ini Steven bergerak sambil membuka matanya perlahan, "Ada apa?" tanya dengan suara parau khas orang bangun tidur.
"Geser, Aku juga mau tidur!" pinta Rimba sedikit memelas karena mengantuk.
Steven reflek menggeser tubuhnya mepet ke tembok. Kebetulan ranjang Rimba tidak berada ditengah ruangan, melainkan merapat di sisi tembok karena memang kamarnya sangat minimalis. "Apa mau pindah posisi, kamu yang dekat dinding?" tawarnya.
"Ogah, tar kamu pepet aku ke dinding gepeng!" tolaknya, lalu mulai merebahkan tubuhnya diatas ranjangnya.
Steven hanya mengulum senyum, gemas melihat sikap istrinya itu. "Good night," gumamnya saat melihat posisi Rimba yang langsung membelakanginya.
Rimba menggigit bibir bawahnya memunggungi Steven. Hatinya mulai campur aduk, detak jantungnya mulai tak biasa. Ini kali pertama Rimba harus tidur dengan seseorang, sebelumnya ia tidak pernah mau tidur berdua dengan siapapun, bahkan saat dulu Ellena menginap pun, Rimba memilih tidur di sofa sendirian dan malah membiarkan sahabatnya itu tidur dikamarnya.
"Good night," balas Rimba pelan. Rona merah mulai terlihat dipipinya, untung saja Steven tak bisa melihat wajah Rimba yang saat ini menghangat.
..
Keesokan paginya,
Kedua bola mata Rimba terbuka lebar. Dia benar-benar kaget saat menyadari ada lengan kekar yang tengah melingkar berat diatas perutnya. ia susuri lengan asing itu dan berakhir di wajah lelap seorang lelaki tampan bak titisan dewa, dia lah Steven suaminya sendiri.
Melihat posisi suaminya yang masih tertidur itu memaksa Rimba untuk memperhatikannya sejenak. Dalam pandangan gadis itu, Steven ternyata memang memiliki visual dewa yang pesonanya bahkan tak bisa ia lewati begitu saja. Berkulit putih bersih, hidung mancung menantang, dan alis tebal yang rapi, belum lagi bibirnya yang sukses membuat Rimba gemas ingin sekali menariknya.
“Apa kamu nggak bakalan berhenti?” Steven tiba-tiba membuka matanya.
“Lho? Ma-maksudnya?” Rimba terbata.
“Kamu!” desis Steven yang ternyata sudah bangun dari tadi dan hanya pura-pura tertidur.
"Emang aku kenapa?" tantang Rimba.
“Kagum liat saya?” tanyanya menggoda Rimba. Meski tadi terpejam, tapi Steven sadar sedari tadi Rimba terus memperhatikannya dari samping.
“Hah?” Rimba terkejut. "Jadi kamu pura-pura tidur ya?" pekik Rimba tak terima, wajahnya yang memerah kemudian mendorong tubuh Steven hingga mentok ke dinding.
"Ini KDRT namanya," gumam Steven serius menatap Rimba.
"KDRT apaan? emang ada cidera?"
"Ini!" tunjuk Steven pada punggungnya. "Punggung saya sakit kamu dorong ke tembok, liat aja pasti memar," ucapnya.
"Hish, lebay! suruh siapa pura-pura tidur?!" gumam Rimba kesal, lalu beranjak turun dari ranjangnya dan keluar menuju kamar mandi untuk cuci muka.
Steven mengulas senyum selepas kepergian Rimba.
.
.
.
Bersamamu adalah hal yang paling indah yang pernah kurasakan hingga ku tak dapat luput dari masalalu kita.