Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berhasil menipu
Amara mengikuti di belakang saat Amel membawanya berkeliling rumah dan menunjukkan tempat-tempat favorit Dimas. Amelpun menjelaskan secara detail apa yang disuka dan tidak disukai oleh putranya. Saat merasa cukup, keduanya lantas kembali ruang tengah.
"Kamu sudah mengerti dengan semua yang kujelaskan tadi?" Sambil memangku kaki, Amel yang baru saja membenamkan bokongnya di sofa kembali bertanya untuk memastikan.
"Insya'allah mengerti Nyonya," Amara yang berdiri tak jauh dari Amel menjawab. Iapun menganggukkan kepala untuk meyakinkan.
"Bagus. Kau harus manfaatkan waktumu untuk beristirahat di saat Dimas sedang beristirahat. Atau kau tak memiliki waktu untuk beristirahat lagi saat dia terbangun dan kembali berulah."
"Baik Nyonya."
"Sekarang kau bisa beristirahat. Asisten rumah tangga akan mengantarmu ke kamar." Amel tersenyum lalu melempar pandangannya ke arah pintu. "Euis!" teriaknya memanggil seseorang yang sepertinya berada di dalam sana.
"Saya Nyonya!" sahut suara cempreng wanita dari dalam. Tak lama kemudian, muncul seorang gadis dengan berlari tergopoh kearah mereka. "Iya Nyonya, ada apa?" tanya gadis mungil yang mengikat we ekor kuda rambut sebahunya itu dengan napas setengah terengah.
"Euis, kenalkan, ini Amara. Perawat baru Dimas." Amel mengisyaratkan dengan pandangan ke arah Amara.
Euis seketika menggeser pandangannya ke arah Amara lalu tersenyum manis. Gadis imut yang mengenakan kaus warna biru itu mengulurkan tangannya untuk menyalami Amara.
"Perkenalkan atuh, nami abdi teh Euis," ucapnya dengan logat sunda yang kental sembari membungkuk mendekati Amara.
Amara yang menyambut uluran tangan itu seketika mengernyit bingung. "Nama depan kamu Abdi?" tanyanya penasaran.
"Ya bukan atuh. Neng Perawat, mah," protes Euis sambil tertawa. "Abdi mah saya. Kalau Euis itu baru nama abdi."
"Euis," sela Amel dengan pandangan memperingatkan.
"Iya Nyonya," sahut Euis antusias.
"Antar Amara ke kamarnya, ya."
"Siap Nyonya." Euis mengangguk patuh. Lalu melempar pandangannya ke arah Amara. "Sok mangga atuh Neng Perawat, mari saya antar."
"Terimakasih," ucap Amara sambil tersenyum pada Euis, lantas menoleh pada Amel. "Saya lermisi, Nyonya," pamitnya pada sang majikan dan dibalas anggukan oleh wanita paruh baya itu.
Amara lantas melangkah mengikuti di belakang Euis. Keduanya melangkah melewati ruang demi ruang. Amara memelankan langkah saat melewati pintu tempat Dimas beristirahat, hingga mereka sampai di depan sebuah pintu yang terletak tepat di sebelahnya. Euis lantas membuka pintu itu lebar-lebar.
"Ini kamar buat Neng Perawat, sok atuh masuk." Euis menjulurkan tangannya, memberi isyarat agar Amara masuk.
"Euis," panggil Amara sambil menatap pintu kamar Dimas dengan ekspresi ragu. "Kok kamar saya bersebelahan dengan kamar Tuan Dimas?"
"Ya iya atuh, Neng teh Perawatnya Mas Dimas, jadi harus ditaruh bersebelahan. Begitu nyak. Supaya Neng Perawat denger kalau mas Dimas tiba-tiba wae ngamuk."
"Oh, gitu." Amara menjawab faham.
"Iya atuh Neng." Euis menjawab yakin. "Sok mangga Neng istirahat dulu, Euis tinggal yah. Kalau Neng asa hareudang, sok nyalakan AC. Remotenya ada di meja."
Amara mengangguk setelah melirik remote yang terletak di nakas. "Terima kasih, Euis,"
"Kalem weh atuh Neng, sama Euis mah santai saja," Euis tersenyum lebar sambil menepuk dadanya.
"Nggak usah panggil Neng, ya. Namaku bukan Neneng soalnya." Amara langsung tertawa saat Euis membelalakkan matanya. "Hahaha bercandaan, Euis. Aku tahu Neng maksudnya Nona, kan?"
Euis langsung manggut sambil nyengir. "Kalau gitu panggil Teteh aja ya," pintanya kemudian.
"Boleh" jawab Amara sepakat.
"Assiaapp ...! Kalau gitu Euis pamit ya, Teh. Biar Teteh bisa istirahat."
"Hu'um," balas Amara sambil mengangguk. Kemudian Euis pun beranjak dari sana dengan langkah ringan.
Setelah Euis tak nampak lagi dari pandangan, Amarapun menutup pintu kamar itu rapat. Gadis berjilbab mengedarkan pandangan menyisir ruang kamar berukuran sedang itu kemudian menarik travel bag miliknya mendekati lemari pakaian berukuran besar,
Namun Amara mengurungkan niatnya untuk memindahkan pakaiannya kedalam lemari. Ia memutuskan untuk membuka kotak obatnya dan mencari salep pereda nyeri guna mengobati pelipisnya yang memar.
Di hari pertamanya bekerja Amara sudah mendapatkan sambutan yang luar biasa dari pasiennya. Dan ia tak bisa menebak apa lagi yang akan dilakukan laki-laki itu lagi setelah ini.
Dengan kesadaran penuh, Amara sudah memutuskan untuk terjun kedasar jurang yang entah kedalamannya sampai dimana ia pun tak tahu, maka ia pun sadar tak mudah baginya untuk kembali ke permukaan. Amara hanya bisa sabar dan tawakal dalam menjalani hari-harinya ke depan yang penuh dengan tantangan.
* * *
Amara melangkah menuju kamar dimana Dimas dengan nampan berisi makanan lengkap dengan segelas susu. Ia sengaja mengantar makan malam ke kamar Dimas sebab lelaki itu terlihat masih lemah hingga tak memungkinkan untuk makan di ruang makan.
"Selamat malam Tuan dimas," sapa Amara setelah membuka pintu dan melangkah masuk.
Dimas yang sedang bersandar santai pada kepala ranjang itu terkejut dengan kehadiran Amara.
"Kok lo masih di sini?" Dimas bertanya heran sembari menatap Amara tidak suka.
"Saya akan tetap di sini sampai Tuan sembuh." Amara menjawab santai sembari tersenyum. Ia lantas duduk di sebuah kursi dengan posisi menghadap pada Dimas.
Mendengus kesal, Dimas langsung membuang muka berpaling dari Amara. Ekspresinya menggelap dengan rahang yang mengetat. Lelaki itu membanting ponselnya di ranjang dan langsung menatap Amara dengan sorot tajam.
"Mesti berapa kali gue ngomong, gue nggak butuh elo!" teriak Dimas dengan penuh penekanan di kalimat terakhir sambil menunjuk wajah Amara. "Jadi sekarang gue minta, elo pergi dari rumah ini! Gue nggak mau lihat muka lo lagi. Pergi!!" Dimas menunjuk ke arah pintu.
Berusaha menyembunyikan ketakutan, Amara tetap menunjukkan sikap tenang seolah tak gentar dengan gertakan Dimas. Ia tetap tersenyum dan melakukan pekerjaannya.
"Maaf Tuan, meski anda menginginkannya, tapi selangkahpun saya tak ingin beranjak dari rumah ini. Jadi saya minta, sebaiknya mulai sekarang Tuan membiasakan diri dengan kehadiran saya di sini. Untuk ketidak nyamanan Anda, saya mohon maaf pada anda yang se ,,, dalam-dalamnya." Lagi-lagi Amara berbicara sembari tersenyum.
Namun gadus tetap bersikap hati-hati dan waspada agar bisa mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi. Sebab dengan gangguan syaraf yang dialami Dimas memang tak bisa disembuhkan dengan sekejap mata.
"Sekarang Tuan makan dulu, karena setelah itu harus minum obat," bujuk Amara sembari menyodorkan piring makan di tangannya.
Dimas terlihat tersenyum saat menggerakkan tangannya menerima piring itu. Sehingga Amara berpikir Dimas akan benar-benar mengambil lalu kemudian melahap makanannya.
Namun ternyata apa yang Amara kira tak seperti kenyataannya. Dimas justru menepisnya, sehingga piring itu pecah setelah menimpa lantai dan memuntahkan isinya hingga berserakan.
Bukannya menyesal, Dimas justru tertawa senang sebab berhasil menipu Amara. Seringai iblisnya muncul saat menatap Amara membelalakkan penuh keterkejutan dan menatap puing-puing piring itu dengan tatapan nanar.
"Bersihkan sekarang juga dengan tanganmu!" bentak Dimas dengan nada memerintah sembari menunjuk pada kekacauan yang telah dia buat.
Bersambung
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨