Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 21 — A Bit of Help
“Kau harus banyak istirahat, kurangi begadangmu dan jangan terlalu stress,” celoteh Ashana saat mengompres kepala Faza dengan air dingin.
Faza hanya mengangguk sambil bergumam, “Ternyata kebiasaan marah-marahmu itu masih belum hilang ya? Kau berisik sekali, Ashana. Apa kau tahu itu?” celetuk Faza asal.
“Apa? Kebiasaan marah-marah katamu? Hei, seorang dokter memang harus seperti ini, demi kebaikan pasiennya tahu?” sahutnya tak terima.
“Ya, ya, dan aku yakin sekali bahwa pasienmu itu langsung merasa stress setelah mendengar omelanmu,” katanya lagi meledek Ashana.
“Pasienku tidak banyak protes sepertimu!” tegas Ashana. Lalu, keduanya tertawa.
Tawa pertama yang mereka bagi setelah banyaknya kebencian yang mereka terima satu sama lain.
“Bagaimana dengan sakit kepalamu? Apakah masih terasa berdenyut?” tanya Ashana seraya mengambil alat kompresan dari atas kepala Faza.
Pria itu mengangguk, “Sudah lebih baik dari sebelumnya,” katanya seraya menyandarkan punggung di dipan dan tersenyum pada Ashana.
“Baguslah kalau begitu, jika besok sakit kepalamu masih terasa sebaiknya kau pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.”
Ashana mulai merapikan kembali bekas kompresan itu. Setiap pergerakannya tak luput dari perhatian Faza.
“Apa kau tahu apa penyebab stress yang kualami, Ashana?” tanya Faza tiba-tiba.
Ashana kembali menoleh lalu menggeleng pelan. “Tidak, apa kau sedang merasa stress tentang sesuatu akhir-akhir ini?” tanyanya.
“Hmm, memang, urusan pekerjaan dan juga kau,” jawab Faza dengan senyum terangkat di bibirnya
Sedangkan Ashana tampak bingung, menaikkan satu alisnya, ia bertanya, “Aku? Memangnya kenapa denganku?”
Belum sempat Faza menjawab pertanyaan Ashana, tetiba dering ponselnya berbunyi. Tanda sebuah panggilan masuk.
“Sepertinya ponselmu berbunyi,” kata Ashana.
“Maaf, bisa tolong ambilkan ponselku?” pintanya meminta tolong Ashana.
Ashana mengangguk lalu mengambilkan ponsel Faza di meja dekat sofa tepi jendela. “Dari Vanya,” kata Ashana seraya menyerahkan ponsel itu kepada Faza.
“Halo? Kenapa kau menelepon malam-malam begini, Van?” tanya Faza dengan agak ketus saat panggilan telepon tersambung.
Ashana mengernyit, ia sudah sering mendengar dan melihat sifat ketus Faza terhadapnya, tapi tak pernah tahu bahwa pria itu bisa ketus juga terhadap adiknya. Padahal, sependek ingatannya, Faza sangat menyayangi adik perempuannya itu.
Raut wajah Faza berubah jadi terkejut yang bercampur dengan rasa takut, Ashana bahkan melihat pria itu langsung duduk tegak ketika panggilan terputus.
“Kenapa? Ada apa? Kenapa wajahmu berubah tegang begitu?” tanya Ashana sedikit cemas.
Bukannya menjawab, pria itu justru berdiri dan langsung menyambar kunci mobilnya di atas meja.
“Jawab aku dulu ada apa? Kau mau ke mana?” cegah Ashana di depan pintu kamar.
Deru napas Faza memburu, kalut dan takut mulai merambati hatinya yang rapuh. “Vanya kecelakaan, sekarang ada di rumah sakit, aku harus segera ke sana.”
“Apa? Bagaimana bisa? Bukankah tadi dia di kamarnya?” tanya Ashana ikut cemas.
Faza menggeleng cepat, “Aku … aku tidak tahu. Minggir, Ashana, aku harus ke rumah sakit sekarang!” seru Faza.
“Aku ikut! Biar aku yang mengendarai mobilnya. Kau sedang sakit kepala, berbahaya jika memaksa memegang kemudi,” kata Ashana dengan tegas lalu merebut kunci mobil itu dari genggaman Faza.
***
Di depan pintu Instalasi Gawat Darurat, Albert berjalan mondar-mandir dengan cemas. Vanya masih menjalani perawatan pertolongan pertama pada korban kecelakaan tunggal.
Melirik ke dalam ruangan itu, hati pria berusia 23 tahun itu terasa direnggut paksa. Albert rasanya ingin masuk ke dalam, menemani Vanya di saat seperti ini atau bahkan menerima semua rasa sakit yang gadis itu terima.
“Albert!” panggil Faza yang baru saja tiba bersama dengan Ashana. Untuk sesaat ia melupakan rasa sakit kepala yang menderanya.
Pikirannya sekarang hanya tertuju pada adik perempuannya itu. Ia menghampiri Albert yang berada di depan pintu. "Bagaimana keadaannya?"
Albert menoleh lalu menggeleng pelan. “Perawat masih menangani lukanya,” jawabnya dengan lemah.
Faza tampak sendu, kepalanya tertunduk ke bawah, matanya mulai mengembun.
“Tenanglah, Vanya akan baik-baik saja,” kata Ashana mencoba menenangkan.
Faza lalu menoleh, “Ashana, kau seorang dokter kan? Tolong bantu selamatkan Vanya. Kumohon padamu, Ashana.”
Kesedihan itu tak dapat lagi dibendungnya, ia bahkan sampai memohon di hadapan Ashana. Perempuan yang dibencinya.
“Kau juga dokter di rumah sakit ini, kan?”
Ashana mengangguk, ini memang rumah sakit tempatnya bekerja, tapi bukan berarti ia bisa bertindak seenaknya. Ashana ragu pada awalnya tapi kemudian, setelah menimbang keputusannya, perempuan itu pun mengangguk.
“Biar aku bantu periksa dulu,” kata Ashana menawarkan diri. Sudah menjadi tugasnya untuk menolong dan mengobati dan ia akan mencoba yang terbaik. Tetapi …
“Dokter Ashana?” kata salah seorang dokter residen. “Kebetulan Anda di sini, bolehkah Anda membantu kami?” tanyanya agak panik.
Ashana pun mengangguk, bahkan kedua pria di belakangnya ikut penasaran dengan apa yang terjadi, tetapi mereka tak bisa melakukan apa-apa selain menunggu dan berharap yang terbaik.
Setelah dokter residen itu menjelaskan situasi di dalam ruang Instalasi Gawat Darurat itu, Ashana pun langsung mengikutinya setelah mengganti pakaiannya.
“Sebenarnya, apa yang terjadi?” tanya Faza pada Albert sesaat Ashana sudah pergi.
“Aku juga tidak tahu, Tuan,” sahut Albert dengan rasa penasaran yang sama.
Faza menoleh, “Aku bertanya padamu, Albert. Apa yang sebenarnya terjadi sampai adikku mengalami kecelakaan seperti ini?”
Pria itu tampak salah tingkah karena ternyata sudah salah memahami pertanyaan atasannya barusan. Rasa bersalah merayapi hati Albert untuk sesaat hingga rasanya ia tak mampu berkata.
“Aku menunggu penjelasanmu,” ujar Faza mulai tak sabar.
Kemudian, Albert mulai menceritakan kejadian yang sebenarnya sampai akhirnya Vanya berakhir di sini.
“Astaga, dia pasti merasa tertekan karena aku menggertaknya tadi siang,” gumam Faza terduduk di lantai.
“Maafkan saya, Tuan.” Albert pun ikut luruh jatuh ke lantai. Keduanya merasa sama-sama bersalah atas apa yang sudah terjadi pada Vanya.
Tak lama setelah itu, Ashana kembali ke luar dengan wajah yang cukup lega. Faza dan Albert lekas mendekatinya.
“Apakah dia baik-baik saja?” tanya keduanya hampir bersamaan.
Ashana melepas maskernya dan tersenyum, “Dia baik-baik saja, kalian tidak usah khawatir.”
Baik Albert ataupun Faza sama-sama menghela napas penuh syukur. “Syukurlah dia baik-baik saja.”
“Tapi … “ ucap Ashana menggantung.
“Tapi apa?”
luknut. ketemu indiana jones sekali langsung teler . huuhhhhh