"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Maya menahan napas, merasakan hembusan napas hangat Arya di lehernya. Punggungnya yang sedikit melengkung karena posisi membungkuk, kini terasa begitu dekat dengan Arya. Aroma maskulin pria itu memenuhi indra penciumannya. Ia tahu Arya sengaja. Pria itu menahan posisi itu, membuat Maya terpaku dalam ketegangan yang menyesakkan.
"Sudah bersih," bisik Arya, suaranya serak, begitu dekat dengan telinga Maya.
Maya merasakan merinding di sekujur tubuhnya. Ia ingin beringsut menjauh, tapi tubuhnya seolah tak bisa digerakkan. Perasaan tidak nyaman bercampur penasaran itu semakin kuat. Ia seperti terperangkap. Sebuah permainan berbahaya yang terus berlanjut, dan ia adalah pionnya.
Arya menegakkan tubuh sedikit, memberi sedikit jarak, namun ia tidak sepenuhnya menjauh. Ia masih berdiri di belakang Maya, dekat sekali. "Bagian sini juga perlu dibersihkan," katanya, menunjuk sebuah sudut rak yang lebih rendah, masih di dekat kaki Maya.
Maya menelan ludah. Ia tahu Arya ingin ia kembali membungkuk. Ini adalah godaan yang jelas. "Baik, Tuan," jawabnya, suaranya nyaris berbisik.
Ia kembali berlutut, menunduk untuk membersihkan sudut rak itu. Ia bisa merasakan tatapan Arya padanya. Ia mencoba mengabaikannya, fokus pada setiap inci debu yang ia bersihkan.
Tiba-tiba, ia merasakan tangan Arya menyentuh pinggangnya. Sebuah sentuhan ringan, namun jelas. Arya membungkuk lagi, seolah ingin melihat lebih dekat apa yang Maya bersihkan. Jemarinya menyentuh kain dasternya, lalu mengusap perlahan kulitnya yang tertutup kain.
"Ada debu yang tertinggal di sini," bisik Arya, suaranya lebih rendah dari sebelumnya, tepat di telinga Maya. Ia tidak membersihkan apa pun. Ia hanya memegang pinggang Maya, usapannya kini terasa lebih berani.
Maya merasakan jantungnya berdetak kencang, memukul-mukul dadanya. Seluruh tubuhnya menegang. Ini adalah batas. Arya sudah melangkah terlalu jauh. Ia harus menghentikannya. Sekarang.
"Tuan..." Maya mencoba berbicara, namun suaranya tercekat.
"Hm?" Arya berbisik, napasnya menerpa leher Maya. Genggamannya di pinggang Maya semakin erat, menariknya sedikit ke belakang, mendekat ke tubuh Arya.
Maya bisa merasakan tubuh Arya yang kokoh di belakangnya.
Sebuah sensasi panas menjalar di sekujur tubuh Maya.
Rasa takut, rasa bersalah, dan sebuah gair4h terlarang yang membara bercampur aduk di dalam dirinya. Ia merasakan pipinya memanas, seluruh tubuhnya gemetar.
"Saya... saya tidak bisa, Tuan," Maya akhirnya berkata, suaranya bergetar. Ia mencoba melepaskan diri, tapi Arya memegang pinggangnya terlalu kuat, namun tidak menyakitkan.
"Kenapa tidak bisa, Mbak Maya?" bisik Arya, suaranya terdengar lembut, namun ada nada dominan di sana. "Saya tidak melakukan apa-apa."
Maya tahu ia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Arya sedang melakukan lebih dari "tidak melakukan apa-apa." Ia sedang menggodanya, memancingnya, dan ia hampir saja jatuh.
"Saya... saya harus bekerja," kata Maya, mencoba fokus.
Arya terkekeh pelan. "Anda sudah bekerja keras, Mbak Maya. Mari istirahat sebentar."
Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Arya menarik Maya ke belakang. Maya terkesiap. Ia ditarik hingga berdiri tegak, dan tubuhnya langsung menabrak dada bidang Arya. Arya memeluknya dari belakang. Lengan kekar Arya memeluk pinggangnya, mendekapnya erat. Dagu Arya bersandar di bahunya, napas hangatnya menerpa telinga Maya.
Maya memejamkan mata. Seluruh tubuhnya diliputi panas. Ia tidak bisa bergerak. Ia terperangkap dalam dekapan Arya. Rasa bersalah yang amat sangat
menghantamnya, namun di saat yang sama, ada sensasi kenikm4tan terlarang yang membuatnya nyaris mendes4h.
"Saya tahu Anda lelah," bisik Arya, suaranya rendah dan serak, sebuah nada yang membuat bulu kuduk Maya meremang. "Istirahatlah sebentar dalam dekapan saya."
Maya menggelengkan kepala, mencoba melepaskan diri. "Tuan... jangan begini. Saya tidak bisa."
"Kenapa tidak?" Arya berbisik, ia mengusap lengan Maya yang ada di pelukannya. "Apakah Anda tidak merasa nyaman dengan saya, Mbak Maya?"
Pertanyaan itu menusuk hati Maya. Ia nyaman. Terlalu nyaman, bahkan. Tapi ia tidak bisa mengakuinya.
"Saya... saya sudah bersuami, Tuan," bisik Maya, suaranya tercekat, mencoba mengingatkan Arya, dan dirinya sendiri, tentang batas.
Arya terdiam sejenak. Genggamannya di pinggang Maya mengerat. "Saya tahu itu," bisiknya, suaranya kini terdengar sedikit dingin, namun tetap ada nada dominan di dalamnya. "Tapi itu tidak mengubah perasaan saya terhadap Anda, Mbak Maya."
Jantung Maya bergemuruh. Pengakuan itu. Sebuah pengakuan yang begitu berani, begitu jujur, namun juga begitu berbahaya. Arya tidak hanya bermain-main. Ia serius.
"Saya rasa Anda juga merasakan hal yang sama, kan?"
Arya berbisik lagi, ia membalikkan tubuh Maya perlahan agar menghadapnya, tanpa melepaskan pelukannya.
Mata Maya bertemu dengan mata tajam Arya. Pria itu menatapnya dalam, sebuah tatapan yang penuh gair4h, namun juga menuntut. Wajah mereka begitu dekat, Maya bisa merasakan napas Arya di wajahnya.
"Mbak Maya?" Arya berbisik, seolah menunggu jawaban.
Maya menelan ludah. Ia tidak bisa berbohong. Tidak pada Arya, tidak pada dirinya sendiri. Ada getaran aneh, sebuah dorongan kuat yang menariknya ke arah pria ini.
Namun, sebelum Maya bisa menjawab, tiba-tiba terdengar suara pintu gudang terbuka dari luar.
Krekkk!
Maya dan Arya sama-sama terkesiap. Mereka spontan menjauh, melepaskan pelukan yang terlarang itu. Wajah Maya memucat pasi.
Bi Sumi berdiri di ambang pintu, memegang keranjang cucian. Matanya membulat melihat Arya dan Maya yang berdiri begitu dekat di dalam gudang. Sebuah ekspresi terkejut, namun juga curiga, terlihat jelas di wajahnya.
"Maaf, Tuan," kata Bi Sumi, suaranya sedikit tercekat. "Saya... saya hanya mau mengambil lap bersih di sini."
Arya segera mengendalikan ekspresinya. Wajahnya kembali tenang, namun ada sedikit ketegangan yang
Samar. "Tidak apa-apa, Bi Sumi. Kami... kami baru saja selesai membahas penataan buku-buku di sini."
Maya menunduk, tidak berani menatap Bi Sumi. Rasa malu dan bersalah menghantamnya begitu kuat. Bi Sumi pasti melihat semuanya.
Bi Sumi mengangguk perlahan, namun tatapannya masih penuh pertanyaan. Ia melangkah masuk, mengambil lap bersih, dan segera berbalik. "Baik, Tuan. Saya permisi."
Ia bergegas keluar, meninggalkan Maya dan Arya dalam keheningan yang canggung. Pintu gudang tertutup, namun keheningan yang tersisa terasa lebih mencekam dari sebelumnya.
Maya merasakan pipinya memanas. Ia tidak berani menatap Arya. Ia tahu, Bi Sumi pasti sudah curiga. Ini akan menjadi masalah besar.
Arya menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat ke arah Maya, mengangkat dagu Maya perlahan dengan jari telunjuknya, memaksanya untuk menatapnya.
"Dia tidak akan bilang apa-apa," kata Arya, suaranya rendah, seolah membaca pikiran Maya. "Saya akan pastikan itu."
Mata Maya bertemu dengan mata Arya. Pria itu masih menatapnya dengan tatapan yang intens, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. Sebuah senyum yang mengatakan, "Kita belum selesai."
Maya merasa terperangkap. Ia tahu ini baru permulaan. Sebuah awal dari konflik batin yang lebih dalam, antara kesetiaan pada pernikahannya dan tarikan godaan Arya yang menawarkan sensasi baru. Ia tidak tahu bagaimana ia akan keluar dari situasi ini. Atau, apakah ia bahkan ingin keluar?
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya