Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MEMPERTARUHKAN REPUTASI
Dan yang paling menghantam Arru Vance tidak mencuri perhatian. Ia menguasai ruangan. Arya mengepalkan tangan untuk pertama kalinya, ia sadar.
Ia bukan kalah karena Shima berpindah hati. Ia kalah kelas. Kalah kendali, kalah keberanian, kalah posisi.
Saat Arru menggiring Shima keluar ruang observasi dengan tangan tetap di punggungnya protektif tanpa pamer. Arya memalingkan wajah. Ia tahu, sejak malam itu Shima Senja bukan lagi sesuatu yang bisa ia sentuh.
Pagi itu, rumah sakit belum sepenuhnya bangun dari kelelahan malam sebelumnya, tapi Shima sudah berdiri di depan tempat tidur pasien yang semalam hampir ia kehilangan. Wajahnya tenang, profesional seolah malam krisis itu tak pernah meninggalkan bekas.
“Bagaimana kondisinya pagi ini?” tanya Shima sambil menatap monitor.
“Stabil, Dok,” jawab residen muda di sampingnya. “Tekanan darah normal, saturasi membaik.”
Shima mengangguk. “Kita tidak boleh lengah. Observasi ketat dua puluh empat jam. Besok pagi kita adakan rapat kecil dengan tim jantung dan anestesi. Saya ingin rencana tindakan lanjutan disiapkan.”
Residen itu mencatat cepat. “Baik, Dokter Senja.”
Shima menoleh pada pasien yang masih terlelap. Tatapannya melembut sesaat bukan karena ragu, tapi karena tanggung jawab yang begitu besar.
“Dia masih punya jalan,” ucapnya pelan. “Dan kita akan pastikan dia melewatinya.”
Saat Shima melangkah keluar, bisik-bisik mulai terdengar. Tidak keras. Tidak terang-terangan. Tapi cukup jelas untuk dirasakan.
“Itu dia…”
“Dokter Senja…”
“Katanya semalam…”
Shima tetap berjalan. Langkahnya mantap. Bahunya tegak. Ia sudah terlalu lama hidup di bawah tatapan orang lain untuk terganggu oleh hal semacam ini.
Namun di sudut koridor, dua perawat tak bisa menahan diri.
“Beneran ya, semalam itu… Tuan Arru Vance masuk ruang observasi?”
“Iya... Aku lihat sendiri. Semua dokter langsung diam.”
“Pantes… Dokter senja adalah istrinya.”
Gosip itu menyebar lebih cepat dari lift rumah sakit.
Pagi itu, ruang dokter berubah menjadi lautan bisikan.
“Tuan Arru masuk ruang observasi tanpa izin direktur, loh.”
“Dan tidak ada yang berani melarang.”
“Katanya beliau berdiri di sana sepanjang prosedur. Wajar saja Tuan Vance adalah pemilik rumah sakit ini.”
“Dokter Senja hampir kehilangan pasien tapi tetap luar biasa tenangnya.”
Di lantai lain, Arya berdiri di depan wastafel, kedua tangannya mencengkeram tepi keramik. Pantulan wajahnya di cermin tampak kusut.
Suara itu terus terngiang.
Arru Vance, ruang observasi, Shima.
Seorang dokter lewat dan tanpa sadar berkata, “Hebat ya Dokter Senja. Punya suami seperti itu… pantas dia tenang.”
Kata suami itu menusuk.
Arya memalingkan wajah.
Di ruang direktur, Leonhard Whitmore menutup map laporan dengan pelan. Tatapannya serius.
“Jadi ini benar,” gumamnya. “Arru Vance turun langsung ke ruang observasi.”
Sekretarisnya mengangguk. “Ya, Tuan. Dan sejak pagi… hampir seluruh staf membicarakannya.”
Leonhard bersandar di kursinya, lalu tersenyum tipis bukan senyum santai, tapi penuh perhitungan.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “Rumah sakit ini harus lebih berhati-hati. Dokter Senja bukan lagi hanya aset medis kita. Dia… Nyonya Vance.”
Sementara itu, Shima duduk di ruangannya, membuka berkas rapat besok pagi. Wajahnya tetap fokus, meski ia tahu dinding-dinding rumah sakit ini sedang membicarakannya.
Ponselnya bergetar.
Satu pesan masuk.
Arru:
Kau belum tidur cukup. Jangan lupa makan siang. Besok rapat aku sudah tahu.
Shima menatap layar itu lama.
Ia menghela napas pelan.
“Dia benar-benar… mengawasi,” gumamnya, entah kesal atau merasa aman.
Di luar ruangan, dunia mungkin sedang heboh. Di dalam dirinya, Shima hanya tahu satu hal.
Ia harus tetap berdiri. Sebagai dokter. Sebagai istri. Dan sebagai wanita yang tak akan mudah dijatuhkan.
****
Ruang rapat lantai tujuh terasa lebih dingin dari biasanya. Layar besar menampilkan hasil CT-scan dan rekam jantung pasien yang semalam hampir kehilangan nyawa. Beberapa dokter senior sudah duduk dengan wajah serius. Direktur rumah sakit, Leonhard Whitmore, berada di ujung meja, kedua tangannya saling bertaut. Shima berdiri di depan, tablet di tangannya.
“Pasien mengalami gagal jantung akut pasca-aritmia berat,” ujar Shima tenang. “Stabilisasi awal berhasil, tapi kondisi ini bukan akhir. Kita perlu tindakan lanjutan.”
Ia menggeser slide.
“Jika kita hanya mempertahankan terapi konservatif, risiko kekambuhan dalam tiga puluh hari ke depan sangat tinggi.”
Belum sempat Shima melanjutkan, suara kursi ditarik sedikit kasar.
“Aku tidak setuju.”
Arya menyandarkan punggung, menyilangkan tangan. Tatapannya dingin.
“Pasien itu terlalu lemah untuk tindakan invasif lanjutan. Kau terlalu agresif, Dokter Senja.”
Beberapa kepala menoleh. Ruangan hening.
Shima tidak langsung menjawab. Ia menatap Arya sebentar cukup lama untuk menunjukkan ia mendengar, tapi tidak terprovokasi.
“Justru karena kondisinya lemah,” kata Shima akhirnya, “kita tidak punya banyak waktu untuk menunggu.”
Arya terkekeh pendek. “Teori di atas kertas memang selalu terdengar indah.”
Dokter senior lain ikut angkat suara. “Pendekatan Dokter Senja memang berisiko.”
Leonhard mengangkat tangan, menghentikan bisikan yang mulai muncul.
“Lanjutkan, Dokter Senja,” ucapnya tenang, tapi tajam. “Apa rencana Anda?”
Shima menghela napas pelan, lalu melangkah setengah langkah ke depan.
“Saya mengusulkan pemasangan alat bantu jantung sementara, diikuti evaluasi ulang dalam tujuh hari. Ini memberi waktu bagi otot jantung untuk pulih tanpa membebani sistem.”
Arya langsung menggeleng. “Itu spekulatif. Jika terjadi komplikasi, siapa yang bertanggung jawab?”
Shima menatapnya lurus.
“Saya.”
Jawaban itu membuat ruangan semakin sunyi.
Leonhard menyipitkan mata. “Anda sadar betul, Dokter Senja, bahwa ini bukan prosedur ringan. Reputasi rumah sakit.”
“Akan lebih hancur,” potong Shima dengan tenang tapi tegas, “Jika kita membiarkan pasien ini pulang hanya untuk kembali dalam kondisi lebih buruk.”
Arya tertawa kecil, sinis. “Kau terdengar terlalu yakin.”
Shima menoleh padanya. Kali ini, suaranya lebih dingin.
“Keyakinan datang dari data, Dokter Arya. Bukan dari ketakutan mengambil keputusan.”
Beberapa dokter senior saling berpandangan.
Leonhard bersandar ke kursinya. “Saya ingin mendengar satu hal dari Anda, Dokter Senja.”
Shima menatap direktur itu tanpa ragu.
“Jika ide Anda gagal,” kata Leonhard pelan, “Apa yang membuat Anda yakin ini tetap layak dicoba?”
Shima tidak langsung menjawab.
Ia menatap layar, lalu menatap wajah-wajah di sekeliling meja. Terakhir, matanya berhenti pada Arya sebentar saja.
“Karena jika kita tidak mencobanya,” ucap Shima mantap, “Pasien itu tidak punya kesempatan kedua.”
Sunyi.
Leonhard mengangguk perlahan. “Baik.”
Ia menatap seluruh ruangan. “Kita lanjutkan sesuai usulan Dokter Senja. Dengan pengawasan ketat.”
Arya menegang.
Rapat ditutup dengan suasana berat. Satu per satu dokter berdiri. Arya tetap duduk beberapa detik lebih lama, menatap meja dengan rahang mengeras.
Shima mengemasi tabletnya. Tangannya sedikit bergetar bukan karena ragu, tapi karena tekanan yang akhirnya dilepaskan.
Di luar ruang rapat, bisik-bisik kembali muncul.
“Dokter Senja menang.”
“Direktur mendukungnya.”
“Berani sekali…”
Shima berjalan menjauh tanpa menoleh.
Arru mungkin tidak ada hari ini. Tapi untuk pertama kalinya, Shima membuktikan.
Ia tidak berdiri di posisi ini karena nama belakang Vance. Ia berdiri karena kemampuannya sendiri.
Kabar bahwa Dokter Shima Lyra Senja akan memimpin operasi lanjutan malam itu menyebar cepat terlalu cepat untuk ukuran rumah sakit.
Di lorong-lorong Vance Medical Center, bisik-bisik terdengar lebih tajam dari biasanya.
“Ini operasi penentuan reputasi.” “Kalau gagal… habis.”
“Direktur mempertaruhkan banyak hal padanya.”
Bahkan beberapa dokter senior yang biasanya menjaga jarak kini sengaja menunda pulang. Mereka ingin melihat apakah keberanian Shima berbanding lurus dengan kemampuannya, atau hanya keberuntungan sesaat karena status barunya sebagai Nyonya Vance.
Shima tahu semua itu.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.