"DAVINNNN!" Suara lantang Leora memenuhi seisi kamar.
Ia terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa aneh.
Selimut tebal melilit rapat di tubuhnya, dan ketika ia sadar… sesuatu sudah berubah. Bajunya tak lagi terpasang. Davin menoleh dari kursi dekat jendela,
"Kenapa. Kaget?"
"Semalem, lo apain gue. Hah?!!"
"Nggak, ngapa-ngapain sih. Cuma, 'masuk sedikit'. Gak papa, 'kan?"
"Dasaaar Cowok Gila!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raey Luma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelarian
Bayangan itu bergerak lagi.
Kali ini lebih dekat ke jendela.
Leora menahan napas. Seluruh tubuhnya terasa membeku.
Terdengar ketukan pelan di kaca.
Sekali.
Dua kali.
Seolah seseorang mengetuk sambil tersenyum.
Leora mundur makin jauh, punggungnya menabrak pot bunga. Pot itu jatuh dan menggelinding, suara kecilnya membuat Leora tersentak.
“Leora…”
Suara itu pelan, hampir samar, tapi ia mengenal nada itu.
Leora menutup telinganya. “Nggak—nggak mungkin dia ke sini. Dia nggak mungkin tau alamat Davin.”
Tapi pikirannya segera membantah sendiri.
Rey selalu tahu sesuatu yang seharusnya tidak mungkin ia tahu.
Leora meraih ponselnya dengan tangan gemetar, mencoba menelepon Bi Marni. Namun seketika teringat—
Semua nomor sudah diblokir sebelum ia pergi tadi sore.
Termasuk nomor Bi Marni dan Davin.
“Bodoh…” Leora memaki dirinya sendiri sambil menggigit bibir.
Bayangan itu kini bergerak meninggalkan jendela.
Leora terpaku.
Lebih menakutkan saat seseorang tidak terlihat, dibanding saat mereka masih berdiri di depan mata.
Detik berikutnya…
Klek.
Suara pagar rumah terbuka.
“Ya Tuhan…” jantung Leora hampir copot, ketika orang itu memunculkan diri di depannya.
"Lo kaget?" ucap Davin, dengan raut puas.
"Gak lucu!" kata Leora, sambil berlalu meninggalkannya.
Namun, Davin segera meraih tangan perempuan itu. Membuat Leora terhenti seketika.
"Sorry kalau gue bikin lo kaget. Tapi, makasih karena lo udah nurut malam ini"
Leora mendelik, matanya memandang sinis, "gue gak nurut. Gue cuman gak enak badan aja, makannya gue gak pergi"
“Lo bilang gak enak badan,” ulang Davin sambil menundukkan wajahnya sedikit, “Tapi muka lo kayak abis ngeliat hantu.”
Leora cepat-cepat menarik tangannya.
“Nggak. Biasa aja.”
“Leora.”
Nada Davin berubah—lebih rendah,
Leora menelan ludah.
Ia benci saat Davin memanggilnya begitu.
“Gue baru pulang. Pagar tadi gue buka pelan karena takut bikin lo kaget. Tapi… kenapa lo pucet begini?”
Leora memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan gemetarnya.
“Tadi ada—”
Bibirnya tiba-tiba kelu.
Ia menahan diri.
Tidak mungkin ia bilang kalau ia yakin seseorang berada di luar jendela.
Davin menunggu. Dan itu membuat Leora makin gugup.
“Ada apa?” Davin mendekat setengah langkah. “Lo habis nangis?”
“Enggak!” Leora buru-buru menjauh. “Tadi cuma… dingin. Tiba-tiba. Makanya gue merapat ke jendela terus kaget waktu lo muncul.”
Alasan paling tidak masuk akal yang bisa ia keluarkan.
Dan keduanya sama-sama tahu itu.
Davin mengangkat alis, skeptis.
“Lo gak perlu bohong sama gue, Lo.”
“Gue gak bohong.”
Davin menatapnya lama sekali.
Seolah sedang membaca pikiran Leora satu per satu.
Kemudian klik—
Davin menutup pagar kembali, menguncinya dari dalam.
“Nih ya,” ucapnya perlahan. “Mulai sekarang… apa pun yang bikin lo takut, bilang ke gue. Jangan sok berani.”
“Gue nggak takut,” ujar Leora.
“Terserah lo. Tapi lo gak bisa terus bohongin gue.”
Leora memalingkan wajah, pipinya memerah meski dada masih sesak.
Davin melanjutkan sambil berjalan ke pintu rumah, “Masuk. Udara di luar makin dingin.”
Leora diam.
Tidak bergerak.
“Lo masih mikirin apa, sih?” tanya Davin sambil memutar badan menatapnya lagi.
Leora mengerjap.
Sekilas, ia menatap sisi rumah yang gelap.
Bayangan tadi seperti masih ada.
Davin memperhatikan arah tatapannya.
Rahangnya mengeras sedikit.
“Leora,” panggil Davin lebih lembut dari sebelumnya. “Masuk.”
Leora akhirnya melangkah pelan mendekatinya.
Tapi sebelum ia melewati Davin, perempuan itu berbisik tanpa sadar, “Tadi beneran ada orang…”
Davin langsung menoleh cepat.
“Apa?”
Leora menggoyangkan kepala. “Nggak. Lupa. Udah.”
Tapi suara Davin kini berubah tegang.
“Leora, tadi lo liat siapa?”
Leora menatapnya sebentar, sebelum akhirnya menjawab pelan.
"Entahlah..."
Davin merasakan tubuhnya menegang.
Perkataan tentang Pak Ilham tadi mulai terngiang:
‘Rey itu bukan murid biasa.’
Davin mencoba tenang.
“Oke,” katanya, “Mulai sekarang, gue gak bakal jauh dari lo. Apa pun yang terjadi.”
Leora terdiam.
Davin membuka pintu, menepi, lalu menatapnya.
“Sekarang lo harus istirahat"
Begitu Leora melangkah masuk ke ruang tamu, langkahnya langsung terhenti.
Di tangan Davin, terlihat beberapa kotak hadiah, paper bag cantik, dan tiga buket bunga besar—dua berisi bunga segar, satu lagi campuran snack manis yang dikemas rapi.
Leora memandanginya tanpa berkedip.
Semuanya jelas bukan milik Bi Marni.
Apalagi milik Davin.
Davin yang baru menutup pintu, mengikuti arah pandang Leora.
“Oh…” gumamnya, seolah baru ingat. “Gue sampai lupa. Ini semua hadiah dari sekolah.”
Leora menatapnya dengan mata menyipit, curiga.
“Dari sekolah?”
“Dari anak-anak yang nonton penampilan gue siang tadi.” Davin mengangkat satu paper bag. “Pak Ilham nitipin ke gue.”
Leora belum bereaksi, tapi tubuhnya jelas menegang.
Davin menggeser salah satu bucket snack, lalu mengangkatnya.
“Nih. Kayaknya ini buat lo.”
Leora mengernyit. “Hah? Buat gue?”
Davin menghadapkannya lebih dekat,
menaruh buket snack itu di tangan Leora.
Berat. Dan isinya…
Choco stick kesukaan Leora.
Permen mint yang selalu ia beli kalau lagi cemas.
Biskuit rasa vanila yang sering ia makan diam-diam.
Leora memandang isinya satu per satu.
“Kenapa makanan ini familiar banget…” gumam Leora nyaris tak terdengar.
“Cocok sama lo, makanya gue kasih buat lo.” Davin berjalan ke meja, mengambil satu lagi “Oh iya, ini juga.”
“Lo yakin semua ini dari fans lo?”
Davin berhenti. Menatapnya.
“Lo gak percaya?”
Leora menggigit bibir.
“…Ya udah sih, jangan nyolot. Galak amat”
Wajah Davin langsung mengernyit.
“Nyolot?” Davin mendekat. “Dari tadi gue biasa aja kok?”
Leora meninggalkannya pelan.
"Udah ah, berisik. Gue mau balik ke kamar"
Leora tidak menoleh lagi ketika masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu… setengah.
Lampu kamarnya sudah ia nyalakan sejak tadi, tapi ruang itu terasa berbeda setelah kejadian barusan.
Leora meletakkan buket snack ke meja kecil, lalu meraih selimut tipis dan menariknya ke atas ranjang. Ia duduk, memeluk lutut, mencoba mengatur napas.
Televisi dia hidupkan asal, tanpa peduli saluran apa. Sekadar untuk membuat suara. S
Dengan tangan masih sedikit gemetar, ia membuka salah satu snack kesukaannya. Aromanya menenangkan… seharusnya. Tapi entah kenapa lidahnya terasa hambar.
“Bodoh banget…” gumamnya pelan, marah pada dirinya sendiri karena takut.
Ia mengunyah pelan, mencoba menenangkan diri.
Saat itulah suara langkah terdengar dari luar kamarnya.
Davin.
Langkah itu pendek, dan berhenti tepat di depan pintu kamarnya yang setengah terbuka.
Leora buru-buru duduk lebih tegak, sok santai.
Davin bersandar sebentar di kusen pintu. Ia tidak masuk.
“Lo tutup pintunya setengah,” ucap Davin pelan, “buat apa?”
Leora menoleh cepat, pura pura bingung.
“Hah? Ya biar… biar nggak pengap.”
“Pengap? AC nyala.”
“Ya gue suka aja begitu. Ribet amat sih.”
Perlahan Davin merapat sedikit ke pintu, tapi tetap tidak masuk.
“Tadi lo beneran takut?”
“Enggak.”
“Leora.” Nada itu muncul lagi—nada yang membuat dada Leora berdesir dan nyebelin sekaligus.
Leora mendengus pelan.
“Gue cuma… kaget. Udah.”
Davin memandangi wajah Leora lama.
“Kalo lo takut, bilang. Sesimpel itu.”
“Males ngomong sama lo." balas Leora menggertakan gigi.
“Ya udah. Gue cuma mau bilang…”
Ia menggeser sedikit kepalanya, agar bisa melihat wajah Leora dari celah pintu.
“…kamar gue di sebelah. Kalau ada apa-apa, panggil gue.”
Leora memalingkan wajah. “Gue gak bakal manggil.”
“Terserah lo.” Davin berbalik pelan. “Tapi pintunya biarin kebuka. Gue enak mantau kalo gitu.”
Leora spontan mendelik.
“Siapa yang minta lo mantau?!”
“Lo nggak minta. Tapi gue yang mau.”
Leora terdiam. Snack di tangannya hening tiba-tiba.
Saat Davin hendak masuk ke kamarnya sendiri, langkahnya terhenti lagi.
“Oh iya,” katanya tanpa menoleh, “jangan tidur larut malam ini.”
Leora refleks mengeras.
“Kenapa?”
“Ya. Karena lo masih demam. Lo harus istirahat cukup"
---
Setelah Davin masuk ke kamarnya, rumah kembali hening.
Leora duduk bersandar di dinding, selimut masih melingkar di bahu.
Sudah hampir tiga puluh menit sejak Davin meninggalkannya.
Leora menelan ludah.
Entah kenapa, udara di kamar tiba-tiba berubah dingin. Bukan dingin AC… tapi dingin yang membuat bulu kuduknya berdiri satu per satu.
Seperti ada yang menatapnya dari sudut paling gelap kamar.
Leora menggeser posisi duduk.
“Tadi cuma halusinasi…” gumamnya, meyakinkan diri sendiri.
Namun detik berikutnya—
krsek.
Suara kecil. Seperti seseorang berjalan di luar jendela.
Leora tersentak keras hingga snack di tangannya jatuh ke lantai.
Tubuhnya langsung merinding.
"Jangan sekarang…” bisiknya panik.
Tanpa pikir panjang,
tubuhnya bergerak sendiri.
Leora melompat dari tempat tidur
dan berlari sekencang-kencangnya keluar kamar.
Langkahnya terdorong rasa takut mentah.
Ia hampir menabrak dinding sebelum akhirnya—
BRAK!
Pintu kamar Davin ia buka sekeras itu.
Davin yang sedang olahraga ringan langsung menoleh cepat.
Ia hanya memakai kaos hitam tipis dan kolor abu-abu. Rambutnya sedikit berantakan.
“Leora?” Davin mengerutkan dahi. “Kenapa lo—”
Belum sempat kalimat itu selesai,
Leora menghambur ke arahnya, memeluk pinggangnya sekuat tenaga.
Refleks.
Tanpa kontrol.
Seolah Davin satu-satunya hal aman di dunia.
Tubuh Leora gemetar hebat, wajahnya terkubur di dada Davin.
Davin beku.
Shock.
Benar-benar tidak siap menerima pelukan selekat itu.
Tangan Davin yang tadinya terangkat di udara akhirnya perlahan turun… lalu berhenti ragu di punggung Leora, seperti takut salah gerak.
“L-Leora?” suaranya serak, bingung sekaligus panik. “Lo kenapa? Lo kenapa gemeter begini?”
Leora tidak menjawab.
Ia bahkan semakin menekan tubuhnya ke Davin, seolah takut dilepas.
Davin mencoba menarik sedikit jarak untuk melihat wajahnya.
“Hey… lihat gue bentar.”
Leora menggenggam kaos Davin erat-erat, tidak mau dijauhkan.
Davin terpaku beberapa detik.
“…Oke,” ucapnya lebih lembut, “gue gak akan lepasin. Tenang.”
Ia mengusap punggung Leora perlahan dengan telapak hangat.
Gerakannya pelan, seolah menenangkan anak kecil.
“Tadi… ada… ada suara,” bisik Leora akhirnya, “Di luar jendela. Kayak… kayak ada orang.”
Davin langsung tegang.
Tapi ia tidak menunjukkannya.
Ia memeluk Leora lebih mantap, dagunya menyentuh pelan atas kepala perempuan itu.
“Udah. Lo aman sekarang,” ucap Davin pelan.
“Selama lo sama gue, gak ada yang bisa nyentuh lo.”
Leora meremas pinggangnya makin kuat, merasa dunia sedikit tenang untuk pertama kalinya malam itu.
“Lo… bisa lepasin dulu?” tanya Davin pelan, canggung. “Gue… gak bisa napas.”
Leora spontan melepaskan pelukannya—
tapi hanya satu detik.
Kemudian ia sadar Davin hanya memakai kolor dan kaos tipis, sementara dirinya barusan nemplok seperti boneka hidup.
Pipinya langsung merah.
Panas.
Malu bukan main.
Davin mengelus kening sendiri, tampak mencoba menahan tawa.
“Gue baru mau tidur,” katanya sambil menunjuk dumbbell kecil. “Gue bahkan belum mandi…”
“Gue—gue gak peduli,” balas Leora terbata, “Gue takut.”
Davin menatapnya.
Kemudian ia berkata pelan,
“Mulai sekarang… tidur di kamar gue aja malam ini.”
“APA?!”
“Lo ketakutan,” Davin menatapnya serius. “Gue gak bakal nyuruh lo balik ke kamar sendirian setelah lo peluk gue kayak mau pingsan.”
Leora mendongak marah-malu-panik.
“Gue tadi refleks! Jangan GR!”
“Refleks atau nggak, lo tetap boleh tidur di sini.”
Leora ingin protes, tapi tubuhnya masih gemetar.
“Kalo lo mau duduk dulu, sini.” Davin menepuk sisi kasurnya. “Gue gak bakal nyentuh lo. Janji.”
*kenapa di novel2 pernikahan paksa dan sang suami masih punya pacar, maka kalian tegas anggap itu selingkuh, dan pacar suami kalian anggap wanita murahana, dan suami kalian anggap melakukan kesalahan paling fatal karena tidak menghargai pernikahan dan tidak menghargai istrinya, kalian akan buat suami dapat karma, menyesal, dan mengemis maaf, istri kalian buat tegas pergi dan tidak mudah memaafkan, dan satu lagi kalian pasti hadirkan lelaki lain yang jadi pahlawan bagi sang istri
*tapi sangat berbanding terbalik dengan novel2 pernikahan paksa tapi sang istri yang masih punya pacar, kalian bukan anggap itu selingkuh, pacar istri kalian anggap korban yang harus diperlakukan sangat2 lembut, kalian membenarkan kelakuan istri dan anggap itu bukan kesalahan serius, nanti semudah itu dimaafkan dan sang suami kalian buat kayak budak cinta dan kayak boneka yang Terima saja diperlakukan kayak gitu oleh istrinya, dan dia akan nerima begitu saja dan mudah sekali memaafkan, dan kalian tidak akan berani hadirkan wanita lain yang baik dan bak pahlawan bagi suami kalau pun kalian hadirkan tetap saja kalian perlakuan kayak pelakor dan wanita murahan, dan yang paling parah di novel2 kayak gini ada yang malah memutar balik fakta jadi suami yang salah karena tidak sabar dan tidak bisa mengerti perasaan istri yang masih mencintai pria lain
tolong Thor tanggapan dan jawaban?