Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah menuju neraka
Darah Anna mendidih.
Ini bukan sekadar hukuman. Ini adalah ancaman dari seorang pria yang ingin melihatnya menderita seperti dirinya.
Tangan Anna mengepal, rahangnya mengeras.
"Coba saja!" ia menantang dengan suara penuh amarah.
Mata mereka bertemu dalam tatapan penuh kebencian dan tantangan.
"Lakukan jika itu membuatmu puas! Asal aku tidak pernah menjadi istri dari si cacat otak idiot!"
Keheningan memenuhi ruangan sejenak.
Lalu…
Ethan tertawa.
Namun kali ini, tawanya berbeda.
Lebih dalam. Lebih dingin.
Lebih mengerikan.
Tatapannya mencerminkan sesuatu yang membuat Anna ingin mundur.
Ia tahu ia telah memancing monster yang jauh lebih mengerikan dari yang ia duga.
Ethan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.
"Belum tentu aku yang akan melakukannya, Anna."
Suara Ethan begitu lembut… terlalu lembut.
Dan itulah yang membuatnya semakin menakutkan.
"Aku bisa membiarkan orang lain melakukannya untukku."
Anna menegang.
Perasaan buruk tiba-tiba merayapi tubuhnya.
Ethan tersenyum melihat reaksinya. Lalu, ia menyebutkan satu nama.
"Harry Zhao."
Napas Anna tersengal.
Seketika tubuhnya membeku.
Ethan mengamati wajahnya dengan penuh kepuasan.
"Kekasih dermawanmu di penjara itu," lanjutnya, suaranya terdengar seperti racun yang menetes perlahan, meresap ke dalam pikirannya.
"Aku bisa saja meminta seseorang memberinya hadiah kecil. Tidak harus besar. Mungkin hanya sebuah kecelakaan kecil yang akan membuatnya lebih memahami keadaanku."
Darah Anna seakan menguap dari tubuhnya.
Dunia di sekelilingnya terasa kabur, suara Ethan bergema di dalam kepalanya seperti mimpi buruk yang nyata.
Tidak…
Tidak mungkin…
Harry…
Tidak mungkin Ethan benar-benar…
Anna berusaha membaca ekspresi Ethan, mencari kepastian apakah ini hanya gertakan atau kebenaran yang kejam.
Tapi mata Ethan tetap dingin. Tanpa ragu.
Seakan benar-benar siap melakukannya.
Atau mungkin, perintah itu sudah diberikan.
Pintu di hadapannya tiba-tiba terbuka, tetapi sebelum Anna bisa bereaksi, dua tangan kasar mencengkeram lengannya.
Ia tersentak, berusaha melawan, tetapi tubuhnya ditarik begitu kuat hingga ia terseret ke luar dari ruangan itu.
Matanya masih terkunci pada Ethan—pria yang baru saja menghancurkan dunianya dengan satu kalimat.
Ethan hanya duduk di sana, menikmati keputusasaan yang terpancar dari mata Anna.
Tanpa rasa bersalah.
Tanpa belas kasihan.
Saat itu, Anna sadar—ia tidak sedang berhadapan dengan seorang pria.
Ia berhadapan dengan iblis.
Dan sayangnya…
Iblis itu telah memilihnya sebagai korban.
Anna baru saja melangkah keluar dari pintu, tetapi dua wanita berseragam pembantu langsung menyambarnya.
Ia tidak tahu ke mana mereka akan membawanya.
Namun, sesuatu di dalam dirinya berteriak—ini tidak akan baik.
Ketika pintu kamar lain terbuka, Anna segera menyadari bahwa ruangan ini bukan sembarang tempat.
Tidak ada dekorasi berlebihan, tidak ada kemewahan. Hanya sebuah ruangan luas dengan cermin besar di satu sisi… dan sebuah meja kecil.
Di atas meja itu, tergeletak gunting besar.
Dingin. Tajam. Mengancam.
Anna merinding.
"Apa yang ingin kalian lakukan?" suaranya bergetar, tapi ia berusaha menutupinya dengan keberanian palsu.
Dua wanita itu saling melirik sebelum salah satunya tersenyum sinis.
"Kami akan mengajarkanmu arti membuang kehormatan."
Jantung Anna berdegup keras.
Ia mencoba melangkah mundur, tapi sebelum sempat bergerak lebih jauh, tangan kekar salah satu dari mereka mencengkeram bahunya.
Kuat. Tegas. Tidak memberi ruang untuk melawan.
"Lepaskan aku!" Anna memberontak, tetapi cengkeraman itu semakin kuat.
Lalu—
KRETT!
Suara gunting terbuka membuat napas Anna tercekat.
Wanita bertubuh lebih kecil mengambil gunting besar itu dan tanpa peringatan mengarahkannya ke ujung gaunnya.
Anna membeku.
"Hei! Ini gaun karya Anthony Liu! Jangan merusaknya!"
Ia hanya bisa berteriak dalam hati.
Tapi tentu saja, mereka tidak peduli.
Dalam satu gerakan, gunting itu mulai merobek kain mahal itu dari bawah.
"Hentikan!" Anna meronta, tetapi sia-sia.
Bunyi kain yang terbelah memenuhi ruangan.
Sayatan gunting itu semakin naik, membelah gaun itu menjadi dua bagian.
Lalu—
Kain itu jatuh.
Tersisa hanya bra dan celana dalam yang masih melekat di tubuhnya.
Anna terkesiap, tubuhnya menegang saat udara dingin langsung menyentuh kulitnya.
Harga dirinya terjatuh bersama kain yang kini tergeletak di lantai.
Ia merasa telanjang.
Terhina.
Seperti seorang wanita yang diperkosa oleh sekelompok wanita.
Wanita yang memegang gunting tersenyum puas sebelum melemparkan potongan gaun itu ke sudut ruangan.
Sementara yang lain menatapnya dengan sorot mata merendahkan.
"Jika kau ingin keluar, hanya ini yang kau miliki."
Anna menelan ludah, mencoba menutupi dirinya semampu mungkin dengan tangan kosong.
Tapi wanita yang lebih tua hanya mencibir.
"Tuanku tidak menjadikanmu pelacur."
Ia menunduk, menunjuk kain robek di lantai.
"Tapi tanpa pakaian ini, kau bukan siapa-siapa. Kau hanya gelandangan."
Kata-kata itu menampar Anna lebih keras daripada pukulan mana pun.
Ia tahu mereka tidak sekadar menelanjangi tubuhnya.
Mereka sedang menghancurkan harga dirinya.
Anna ingin berteriak, ingin melawan, ingin menunjukkan bahwa ia tidak selemah yang mereka pikirkan.
Tapi tubuhnya gemetar.
Mulutnya terasa kering.
Karena di dalam hatinya, ia tahu—wanita itu benar.
Tidak lama kemudian, sebuah pakaian dilempar ke wajahnya.
Baju tahanan lamanya.
Kotor. Lusuh. Bau penjara masih menempel padanya.
Wanita tua itu tersenyum penuh sindiran.
"Kenakan ini. Maka kau akan tahu…"
Anna menggigit bibirnya.
"Apa artinya menjadi seorang istri Ethan Ruan yang bertahta dibandingkan menjadi seorang gelandangan hina."
Anna bangkit perlahan, tangannya gemetar saat mengancingkan kemeja lusuh yang diberikan kepadanya.
Matanya menyala dengan api perlawanan, tetapi di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang lebih menusuk.
Ethan benar-benar tahu caranya menghancurkan seseorang tanpa menyentuhnya langsung.
Menaikkannya setinggi langit, lalu menjatuhkannya ke tanah tanpa belas kasihan.
Memberinya pakaian mewah, lalu merobeknya seperti sampah.
Kehormatan macam apa ini?
Jika hari ini mereka bisa merobek gaunnya, esok mereka bisa mencukur rambutnya, menjadikannya lelucon, dan membuangnya tanpa nama.
Anna menelan ludah, tangannya merapikan kerah kemeja usang itu dengan sisa martabat yang ia genggam.
Langkahnya pelan menuju pintu, mengenakan sepatu lusuh yang terasa seperti belenggu di kakinya.
Namun sebelum ia bisa keluar, pintu terbuka.
Han masuk.
Dua wanita yang tadi merendahkannya langsung melangkah mundur, memberi hormat.
Anna tahu, Han bukan sekadar pelayan biasa.
Di rumah ini, dia adalah tangan kanan Ethan—seseorang yang bisa menghancurkan seseorang hanya dengan satu perintah.
"Apakah kau sudah membuat keputusan?" suara Han terdengar berat, seperti ingin menekannya lebih jauh ke dalam jurang keputusasaan.
Anna mendongak, menatap Han tanpa rasa takut.
Senyumnya miring, matanya penuh dengan kebencian yang membara.
"Keputusan apa? Jika Ethan si cacat mental itu menginginkan pemuas birahi, dia bisa mencari wanita lain. Aku tidak tertarik menjadi pelacur dalam rumah ini."
Han mengerutkan kening.
Rahangnya mengeras, matanya berkilat tajam.
"Jaga ucapanmu."
Anna terkekeh pelan, tetapi tawa itu lebih terdengar seperti kepedihan yang dipaksakan.
"Mengapa? Karena aku mengatakan yang sebenarnya?"
Ia meludah ke lantai, lalu menatap Han tajam.
"Ethan bisa menyiksaku, merendahkanku, menghinaku sesuka hati. Tapi pada akhirnya, dia bukan siapa-siapa di luar rumah ini, bukan?"
Han mengepalkan tangannya, berusaha menahan dorongan untuk membungkam mulut wanita ini.
Anna menatapnya tanpa gentar, suaranya menjadi lebih dingin.
"Apa dia pikir dia bisa menguasai dunia hanya dengan kursi roda itu?"
Han menarik napas panjang.
Namun sebelum ia bisa merespons—
Suara bass yang dalam dan penuh kekuasaan terdengar dari alat komunikasi di telinganya.
Ethan.
"Biarkan dia pergi."
Han terdiam.
Namun suara Ethan belum selesai.
"Dia akan belajar sendiri... bagaimana rasanya jatuh di dunia yang tidak mengenal belas kasihan."
Han menatap Anna.
Ia ingin memperingatkannya, ingin mengatakan sesuatu yang bisa membuatnya mengerti dengan siapa ia sedang bermain.
Namun, tidak ada gunanya.
Anna akan belajar dengan caranya yang paling kejam.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?