Fahira Hidayati tak pernah menyangka akan terjebak begitu jauh dalam perasaannya kini. Berawal dari pandangan mata yang cukup lama pada suatu hari dengan seorang ustadz yang sudah dua tahun ini mengajarnya. Sudah dua tahun tapi semuanya mulai berbeda ketika tatapan tak sengaja itu. Dua mata yang tiba-tiba saling berpandangan dan seperti ada magnet, baik dia maupun ustdz itu seperti tak mau memalingkan pandangan satu sama lainnya. Tatapan itu semakin kuat sehingga getarannya membuat jantungnya berdegup kencang. Semuanya tiba-tiba terasa begitu indah. Sekeliling yang sebelumnya terdengar riuh dengan suara-suara santri yang sedang mengaji, tiba-tiba saja dalam sekejap menjadi sepi. Seperti sedang tak ada seorangpun di dekatnya. Hanya mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu LHS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#22
Sesampainya di dalam rumah, Ustadz Pahlevi begitu kaget ketika teringat ada uang di saku bajunya. Ia segera mengeluarkannya dan memberikannya kepada Zulaikha. Beberapa lembaran uang yang basah segera di keringkan Zulaikha di depan kipas angin.
*Kenapa gak nginep di pondok saja, Yah," kata Zulaikha sambil memijat-mijat pundak Ustadz Pahlevi. Ustadz Pahlevi kembali terdengar bersin. Ustadz Pahlevi tak menjawab. Dia merasa saat ini tidak sedang bersama Zulaikha. Dia seperti sedang berada di kamar itu bersama Fahira Hidayati. Saat ini saling berpandangan.
"Yah," kata Zulaikha sambil menepuk punggung Ustadz Pahlevi ketika Ustadz Pahlevi seperti tidak mendengar perkataannya. Ustadz Pahlevi terkejut dan segera berbalik menghadap Zulaikha.
"Ada apa, Bu," kata Ustadz Pahlevi.
"Kenapa ayah gak nginep saja di pondok." Zulaikha mengulangi pertanyaannya. Ustadz Pahlevi tersenyum.
"Gak enak sama Ustadz Nunung, Bu. Aku juga gak nyaman nginep di rumah orang," kata Ustadz Pahlevi.
"Oh ya. Apa kamu sudah hitung uangnya?"
Zulaikha mengangguk. Seulas senyum menghias bibirnya.
"Aku terpaksa mengambil dua bulan honorku," desah Ustadz Pahlevi. Wajah Zulaikha berubah gelisah. Senyum di bibirnya hilang.
"Oya , Yah. Agar kamu gak bertanya-tanya kemana nanti uang yang satu juta itu aku pergunakan." Zulaikha bangkit dan mengambil uang di depan kipas angin dan kembali duduk. Dia meletakkan lembaran-lembaran uang itu di depan Ustadz Pahlevi.
"Lima ratus ribu untuk setoran di Bank, beli beras tiga ratus ribu ukuran dua puluh lima kilo. Sisa dua ratus ribu untuk kebutuhan sampai satu minggu," kata Zulaikha. Uang itu dikumpulkannya kembali dan meletakkannya.
"Bukankah kita sudah setor Bank kemarin?"tanya Ustadz Pahlevi.
"Uang ini untuk penyetoran bulan depsn. Karna kamu sudah ambil jatah honor yang dua bulan, kita tidak punya harapan untuk mendapatkan uang lagi," kata Zulaikha ketus.
Tatap mata Ustadz Pahlevi melemah. Inilah satu hal yang tidak disukai Ustadz Pahlevi dari Zulaikha. Dia selalu mencampur kebahagiaan dengan kesusahannya. Tak salah sih. Tapi ia hanya ingin Zulaikha sedikit menghargainya pulang dengan membawa sedikit rizki yang ia harapkan dapat menenangkan hati Zulaikha.
Ustadz Pahlevi hanya terdiam. Suasananya sudah berubah tak nyaman untuk melanjutkan perbincangan. Ustadz Pahlevi mendesah panjang lalu bangkit dari duduknya.
"Aku mau tidur dulu, ngantuk," kata Ustadz Pahlevi tanpa melihat sedikitpun ke arah Zulaikha. Setelah mengatakan itu, ia kemudian melangkah menuju kamarnya.
Zulaikha memilih membaringkan tubuhnya di atas sofa. Setelah terbangun karna suara sepeda motor Ustadz Pahlevi tadi, kantuknya tak kunjung datang. Hujan terdengar mulai reda. Zulaikha gelisah. Sesekali ia bangkit dan menengok ke dalam kamar memperhatikan wajah Ustadz Pahlevi yang nampak menggigil. Ia merasa yakin saat ini Ustadz Pahlevi mulai merasa tertekan dengan sikapnya selama ini. Ia hanya berharap semoga sikapnya itu tak sampai berakibat buruk dalam rumah tangganya. Ia hanya ingin Ustadz Pahlevi mengerti bahwa kebutuhan pokok sehari-hari itu tidak sedikit. Apalagi dengan bertambahnya anggota keluarga. Dulu, waktu masih berdua, penghasilan yang didapatkan dari mengajar cukup untuk kebutuhan mereka berdua. Dan ia pun tak memintanya untuk bekerja jauh-jauh. Tapi sekarang keadaan sudah berubah. Kebutuhan pokok dari hari ke hari semakin mahal, belum lagi belanja Winda yang seharinya bisa menghabiskan dua puluh ribu. Ia ingin Ustadz Pahlevi lepas dari pesantren itu. Kewajibannya saat ini telah gugur dengan kewajiban kepada keluarganya. Dia ingin Ustadz Pahlevi mencari pekerjaan yang gajinya cukup untuk kebutuhan perbulannya. Jika pun lebih, dia orang pertama yang akan mengingatkan Ustadz Pahlevi untuk menyumbangkan kelebihan rizkinya untuk pesantren.
Zulaikha melangkah pelan ke dalam kamar. Selimut yang masih terlipat di atas meja sebelah ranjang ia ambil dan menggelarnya di atas tubuh Ustadz Pahlevi yang meringkuk kedinginan.
Dengan pelan Zulaikha duduk di sisi ranjang. Kening Ustadz Pahlevi di pegangnya dengan telapak tangannya. Kening Ustadz Pahlevi terasa hangat. Sudah pasti karna basah kehujanan beberapa menit dengan jarak satu kilo dari pesantren ke rumahnya. Sisa obat demam di kotak obat sudah habis. Jika harus mengkompresnya, ia takut Ustadz Pahlevi terbangun. Suara dengkur yang sesekali terdengar menandakan bahwa ia sudah tertidur lelap. Zulaikha kembali menatap lekat penuh kasih sayang wajah Ustadz Pahlevi.
Lelaki yang telah dinikahinya setahun yang lalu itu memang tidak pernah