Ariana selalu percaya bahwa hidup adalah tentang menjalani hari sebaik mungkin. Namun, apa yang terjadi jika waktu yang dimiliki tak lagi panjang? Dia bukan takut mati—dia hanya takut dilupakan, takut meninggalkan dunia tanpa jejak yang berarti.
Dewa tidak pernah berpikir akan jatuh cinta di tempat seperti ini, rumah sakit. Baginya, cinta harusnya penuh petualangan dan kebebasan. Namun, Ariana mengubah segalanya. Dalam tatapan matanya, Dewa melihat dunia yang lebih indah, lebih tulus, meski dipenuhi keterbatasan.
Dan di sinilah kisah mereka dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azra amalina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan Pulang Menuju Rumah Ariana
Setelah selesai makan di warung tenda, Dewa, Ariana, dan Bang Ardan kembali ke mobil. Udara malam terasa sejuk, dan suasana kota mulai lengang. Dewa menyetir dengan tenang, sementara Ariana duduk di sebelahnya, menatap jalanan yang diterangi lampu kota.
Di kursi belakang, Bang Ardan tampak diam, sibuk melihat ponselnya. Sesekali, ia melirik ke luar jendela, memastikan perjalanan tetap aman.
Ariana menoleh ke Dewa dan bertanya pelan, “Dewa, gimana keadaan ibumu sekarang?”
Dewa melirik sekilas ke arah Ariana sebelum kembali fokus pada jalan. Ia tersenyum tipis. “Ibu baik-baik aja. Waktu aku pulang kemarin, dia nggak berhenti menanyakan keadaanku. Aku tahu dia khawatir, tapi aku juga nggak mau bikin dia makin cemas.”
Ariana tersenyum. “Pasti beliau senang akhirnya kamu pulang, ya?”
Dewa mengangguk. “Iya, apalagi Nayla. Adikku itu langsung nempel terus kayak lem. Dia bahkan sempat nangis karena kangen.”
Ariana terkekeh pelan. “Nayla memang selalu manja sama kamu.”
Bang Ardan yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. “Ibumu kelihatan sehat waktu kamu pulang?”
Dewa mengangguk. “Sehat, Bang. Tapi aku tahu beliau pasti sering capek. Makanya aku terima tawaran Ayah buat kerja di perusahaannya, biar bisa bantu keluarga juga.”
Ariana menatap Dewa dengan penuh perhatian. “Aku senang kamu akhirnya bisa pulang dan lihat keadaan keluargamu sendiri. Tapi, kamu juga harus jaga diri, ya? Jangan terlalu membebani diri sendiri.”
Dewa tersenyum kecil. “Tenang aja, aku nggak akan memaksakan diri. Aku janji.”
Ariana menghela napas lega. “Syukurlah.”
Perjalanan mereka berlanjut dengan suasana yang lebih hangat. Sesekali, Ariana berbicara tentang impiannya yang ingin segera sehat sepenuhnya, sementara Dewa mendengarkan dengan penuh perhatian. Bang Ardan tetap dalam mode siaga, meskipun sesekali ikut tersenyum mendengar candaan adiknya.
Tak lama, mereka sampai di rumah Ariana. Dewa memarkir mobil di depan gerbang, lalu menoleh ke Ariana. “Udah sampai. Kamu harus langsung istirahat, ya?”
Ariana tersenyum dan mengangguk. “Iya, aku janji.”
Bang Ardan turun lebih dulu dan membuka pintu untuk adiknya. Sebelum keluar, Ariana menatap Dewa sekali lagi. “Makasih, Dewa. Untuk semuanya.”
Dewa tersenyum hangat. “Selalu.”
Malam itu, mereka berpisah dengan hati yang lebih tenang, membawa harapan bahwa esok akan lebih baik.
...----------------...
Setelah memastikan Ariana masuk ke dalam rumah dengan selamat, Dewa menghela napas pelan. Ia melirik Bang Ardan yang masih berdiri di teras, memastikan adiknya benar-benar masuk ke dalam.
“Aku pulang dulu, Bang,” kata Dewa sambil membuka pintu mobil.
Bang Ardan menoleh dan mengangguk. “Hati-hati di jalan, Dewa.”
Dewa tersenyum kecil sebelum masuk ke dalam mobil. Ia menyalakan mesin dan mulai melajukan kendaraannya menuju rumah. Udara malam masih sejuk, dan jalanan tidak terlalu ramai.
Baru beberapa menit perjalanan, ponselnya yang tergeletak di dashboard bergetar. Layar menunjukkan nama Ezra. Dewa langsung meraih ponselnya dan menekan tombol speaker.
“Halo?”
Suara Ezra terdengar di seberang. “Bro, lo di mana? Gue sama Rangga udah di rumah lo nih.”
Dewa mengerutkan kening. “Serius? Ngapain kalian ke rumah gue malem-malem gini?”
Terdengar suara tawa kecil dari Rangga di latar belakang. “Ya kali kita nggak boleh main ke rumah lo. Cepetan pulang, kita udah nunggu di depan.”
Dewa menggeleng pelan dan tersenyum. “Oke, gue otw. Tunggu di situ.”
Setelah menutup telepon, Dewa menambah kecepatan sedikit. Ia tidak menyangka kedua sahabatnya datang berkunjung tanpa pemberitahuan. Tapi di satu sisi, ia merasa senang. Setelah beberapa hari ini disibukkan dengan pekerjaan dan menjaga Ariana, mungkin ia memang butuh waktu untuk bercengkerama dengan teman-temannya.
Tak butuh waktu lama, Dewa sampai di rumah. Benar saja, di depan pagar, Ezra dan Rangga sudah berdiri dengan santai. Ezra bersandar di motornya, sementara Rangga duduk di kap mobilnya sendiri, melambaikan tangan begitu melihat Dewa datang.
Dewa turun dari mobil dan menatap mereka berdua dengan heran. “Jadi, ada acara apa ini?”
Ezra menyeringai. “Nggak ada. Kita cuma kangen sama lo.”
Rangga tertawa. “Dan sekalian mau denger cerita lo tentang kerja di kantor bokap lo.”
Dewa menghela napas sambil menggelengkan kepala. “Dasar kalian…”
Malam itu, meski lelah, Dewa merasa senang bisa kembali bertemu dengan sahabat-sahabatnya. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah, siap untuk mengobrol panjang lebar seperti dulu.