NovelToon NovelToon
ANAK RAHASIA

ANAK RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / One Night Stand / Single Mom / Hamil di luar nikah
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.

Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?

Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

NARASI Episode 12

Indira menyipitkan mata, mencoba menggali ingatan yang terasa samar. Ada sesuatu tentang wanita itu, Kamala dan anak kecil yang bersamanya yang terasa begitu familiar.

Jari-jarinya masih mengetuk meja kaca dengan ritme pelan, sementara pikirannya terus berputar. Apa aku pernah mengenal mereka? Atau ini hanya perasaan sesaat?

Ia menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. Wajah Kamala terbayang jelas di kepalanya, begitu juga dengan anak kecil yang terlihat lemah dalam pelukan wanita itu.

Indira merasa seolah-olah dirinya pernah berada di sisi mereka… pernah memiliki peran dalam hidup mereka. Tapi kapan? Bagaimana?

Ia memejamkan mata, mencoba mengingat lebih dalam. Tapi yang muncul hanyalah potongan-potongan bayangan yang tidak jelas, suara seorang wanita yang berbicara lembut, tawa anak kecil, dan sesekali, perasaan hangat yang tidak bisa dijelaskan.

Lalu, mendadak, sebuah kemungkinan menghantam pikirannya.

Indira membuka matanya dengan cepat. Napasnya sedikit memburu.

Tapi… itu tidak mungkin, kan?

Namun semakin ia mencoba mengabaikan perasaan itu, semakin kuat dorongan dalam hatinya yang berkata, bahwa ada sesuatu yang harus ia cari tahu.

Tentang Kamala.

Dan tentang anak kecil itu.

Indira menggenggam tangannya erat. Pikirannya semakin dipenuhi rasa penasaran yang tak bisa diabaikan begitu saja.

"Aku harus mencoba mencari tahu tentang mereka."

Keputusan itu terasa begitu kuat di dalam dirinya. Ia tidak bisa hanya duduk diam dan membiarkan perasaan ini mengganggu pikirannya tanpa kepastian.

Indira bangkit dari sofa, melangkah ke jendela besar ruang tamunya, menatap keluar dengan tatapan kosong. Langit sore mulai berubah jingga, dan di kejauhan, suara kendaraan yang berlalu-lalang terdengar samar.

Ia tahu bahwa menemukan Kamala dan anak kecil itu tidak akan mudah. Tapi jika memang ada sesuatu yang menghubungkan mereka dengannya, maka ia harus menemukannya.

Tanpa menunggu lebih lama, Indira meraih ponselnya dan mulai mencari kontak seseorang yang mungkin bisa membantunya.

"Aku tidak akan membiarkan ini menjadi misteri selamanya," batinnya.

Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan, tapi satu hal yang pasti, jawabannya ada di luar sana. Dan ia akan menemukannya.

Pikirannya teralihkan oleh kedatangan Seno yang marah, terdengar jelas saat berbicara di telepon.

"Aku sudah bilang sebelumnya, jangan buat kesalahan konyol seperti ini! Kau pikir aku punya waktu untuk membereskan kekacauan kalian?" geramnya.

Indira yang baru saja melangkah masuk ke ruangan itu mengernyit, memperhatikan ekspresi suaminya yang penuh amarah. Ia berdiri sejenak, membiarkan Seno menyelesaikan panggilannya sebelum akhirnya memberanikan diri bertanya.

"Ada masalah?" suaranya tenang, tapi matanya penuh rasa ingin tahu.

Seno menoleh sekilas ke arahnya, masih tampak kesal. Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan sebelum menjawab, "Hanya urusan pekerjaan. Orang-orang itu tidak becus bekerja."

Indira berjalan mendekat, menatap suaminya dengan lebih dalam. "Masalah besar?"

Seno mengusap wajahnya, tampak enggan menjelaskan lebih jauh. Tapi Indira tahu, kalau sampai Seno semarah ini, pasti ada sesuatu yang serius.

"Beberapa proyek tertunda. Mereka melakukan kesalahan yang seharusnya tidak terjadi," jawab Seno akhirnya, suaranya lebih terkendali.

"Aku harus menyelesaikannya sebelum semakin kacau."

Indira mengangguk pelan. "Kalau begitu, semoga bisa cepat diselesaikan."

Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi melihat wajah Seno yang masih tegang, ia memutuskan untuk menundanya.

Seno merapikan jasnya dengan gerakan cepat, wajahnya masih terlihat tegang karena panggilan telepon tadi. Ia melirik jam di pergelangan tangannya, lalu menghela napas.

"Aku harus ke kantor sekarang," katanya tanpa banyak basa-basi.

Indira yang masih berdiri di dekat meja hanya mengangguk. "Hati-hati di jalan," ucapnya pelan.

Seno berhenti sejenak di depan pintu, menatap Indira sekilas. "Kalau ada sesuatu yang penting, hubungi aku."

Indira tersenyum tipis. "Aku tahu."

Tanpa menunggu lebih lama, Seno melangkah keluar, meninggalkan Indira yang masih berdiri di tempatnya.

Begitu suara mobil suaminya menghilang di kejauhan, Indira kembali duduk di sofa, pikirannya kembali dipenuhi dengan pertanyaan tentang Kamala dan anak kecil yang bersamanya kemarin.

"Aku harus mencari tahu sendiri," gumamnya, sebelum mulai beranjak dari tempat duduk.

Calista datang dari arah tangga, menuju ke arah Indira. Dengan pakaian rapi, rambutnya tertata sempurna seperti biasa. Ia tampak bersemangat, matanya berbinar saat melihat Indira duduk di ruang tamu.

“Mama, aku mau pergi sebentar. Ada janji sama teman-teman,” katanya sambil merapikan tas kecilnya, di bahu.

Indira menatapnya sebentar sebelum mengangguk. “Jangan pulang terlalu malam, Calista.”

“Iya, Ma. Aku janji,” jawabnya sambil tersenyum, lalu berjalan ke luar rumah.

Indira menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit dari sofa. Tanpa membuang waktu, ia melangkah menuju kamarnya.

Setibanya di kamar, Indira langsung menuju meja rias, jemarinya meraih kunci mobil yang tergeletak di samping beberapa dokumen. Pandangannya sempat tertuju pada tumpukan kertas itu, tapi ia mengabaikannya, ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan sekarang.

Setelah itu, ia melangkah ke sisi tempat tidur, mengambil ponselnya yang tergeletak di sana. Dengan cepat, ia memasukkan perangkat itu ke dalam tas, memastikan semua yang ia butuhkan sudah lengkap.

Tanpa ragu, ia berjalan keluar kamar, langkahnya mantap menuju garasi tempat mobilnya terparkir. Suara langkah kakinya bergema pelan di sepanjang lorong rumah yang sepi.

Setibanya di garasi, Indira berhenti sejenak di samping mobilnya. Ia menggenggam kunci di tangannya, matanya menatap kosong ke depan.

Ia tahu, pencariannya tidak akan mudah. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak bisa mundur sekarang.

Indira membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Ia duduk sejenak, menyalakan mesin, langsung melajukan kendaraan keluar dari halaman rumah.

Hatinya berdebar, tidak sepenuhnya yakin dengan apa yang akan ia temukan, tapi satu hal yang pasti, ia harus mencari tahu lebih banyak tentang Kamala dan anak kecil itu.

Perjalanan menuju tempat pertemuan mereka kemarin terasa sedikit lebih lama dari yang ia ingat. Pikiran Indira terus berputar, mencoba menghubungkan potongan-potongan ingatan samar yang selama ini terasa seperti bayangan yang sulit digapai.

Setelah beberapa saat, ia akhirnya tiba di tempat itu. Sebuah taman kecil di tengah kota, dengan bangku-bangku kayu yang menghadap ke area bermain anak-anak. Indira memarkir mobilnya di sisi jalan, lalu duduk sejenak di dalam kendaraan, mengamati sekelilingnya.

Tidak ada tanda-tanda Kamala maupun anak kecil itu.

Indira menghela napas, lalu keluar dari mobil. Langkahnya pelan namun pasti saat ia berjalan menuju tempat ia melihat mereka kemarin. Matanya menyapu area sekitar, mencari sosok yang familiar.

Kosong.

Ia duduk di bangku, mencoba mengingat setiap detail yang mungkin bisa membantunya. Apa mungkin mereka hanya kebetulan ada di sini kemarin? Atau mungkin… mereka sering datang ke tempat ini?

Indira melirik ke sekeliling, mencari seseorang yang mungkin bisa memberinya petunjuk. Pandangannya tertuju pada seorang wanita tua yang sedang duduk di bangku tak jauh darinya, memperhatikan cucunya yang bermain.

Tanpa ragu, Indira bangkit dan mendekati wanita itu.

“Permisi, Bu,” sapanya dengan sopan.

“Saya ingin bertanya, apakah Ibu sering melihat seorang wanita dengan anak kecil di sini? Wanita itu berambut panjang, terlihat sederhana, dan anak kecilnya tampak sedikit lemah.”

Wanita tua itu menoleh, tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk.

“Oh, maksudmu ibu muda yang sering duduk di sana?” Wanita itu menunjuk ke bangku tempat Indira sering duduk.

“Ya, saya pernah melihatnya beberapa kali. Anak kecil itu sering tertidur dalam pelukannya.”

Indira menahan napas, merasa ada harapan. “Apakah Ibu tahu di mana mereka tinggal?”

Wanita itu menggeleng pelan. “Tidak, saya hanya melihat mereka di sini. Kadang pagi, kadang sore. Tapi sudah beberapa hari ini saya tidak melihat mereka lagi.”

Indira mengangguk, sedikit kecewa tapi juga lega karena tahu Kamala bukan sekadar bayangan dalam ingatannya.

“Terima kasih, Bu,” ucapnya sebelum kembali ke bangku semula.

Ia menghela napas panjang. Ini mungkin hanya langkah kecil, tapi setidaknya ia tahu bahwa Kamala dan anak kecil itu sering datang ke taman ini. Mungkin, jika ia kembali lagi esok hari… mereka akan muncul.

Indira menatap langit yang mulai gelap.

Aku akan menemukan mereka, cepat atau lambat.

******

Kamala duduk di tepi tempat tidur, jemarinya dengan lembut menyentuh dahi anak kecil yang terbaring lemah di sana. Wajah mungil itu tampak pucat, napasnya terdengar berat, dan tubuhnya masih terasa panas.

"Sayang, panasmu nggak turun..." gumam Kamala pelan, suaranya dipenuhi kecemasan. Ia meremas jemarinya sendiri, merasa panik tapi berusaha tetap tenang.

Matanya melirik ke pintu, berharap Affan segera pulang. Tapi ia tahu, pria itu sedang bekerja di tokonya, dan kemungkinan besar belum tahu kondisi anak ini yang semakin memburuk.

"Dingin, Bu..." suara lirih itu membuat hati Kamala semakin mencelos.

Ia segera menarik selimut lebih rapat ke tubuh kecil di hadapannya, lalu menggenggam tangan mungil yang terasa begitu dingin.

"Sayang, tahan sedikit lagi, ya. Ibu akan cari cara supaya kau merasa lebih hangat," ucapnya dengan suara lembut, meski hatinya diliputi kepanikan.

Kamala menyusuri sekeliling ruangan, matanya sibuk mencari pakaian hangat yang bisa ia pakaikan pada tubuh kecil itu. Lemari di sudut kamar segera ia buka, tangannya mengaduk tumpukan pakaian dengan tergesa.

"Ada... harusnya ada..." gumamnya, napasnya sedikit memburu.

Akhirnya, ia menemukan sebuah sweater besar yang cukup tebal, milik Affan. Tanpa berpikir panjang, Kamala segera kembali ke sisi anak itu dan dengan hati-hati menyelimuti tubuh mungilnya dengan sweater tersebut.

Tubuh kecil itu masih gemetar, napasnya tersengal pelan. Kamala menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca melihat kondisi anak itu yang semakin lemah. Ia meraba dahinya lagi, panasnya masih tinggi.

"Ya Tuhan… harus bagaimana ini?" bisiknya panik.

Pikirannya terus berputar mencari solusi. Ia tahu bahwa menunggu tanpa melakukan apa-apa bukanlah pilihan. Ia harus melakukan sesuatu, setidaknya mencoba menurunkan panas anak itu sementara menunggu Affan pulang.

Kamala segera beranjak menuju dapur, mengambil handuk kecil baru, lalu merendamnya dengan air hangat lagi.

Ia kembali ke kamar dengan cepat dan mulai mengompres dahi anak itu dengan penuh hati-hati.

"Sayang, tahan sebentar lagi, ya. Om Affan akan segera pulang…" katanya lirih, berharap anak itu tetap bertahan.

Matanya kembali melirik ke arah pintu lagi, berharap Affan akan segera pulang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!