Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19~ CINTA?
"Cie yang besok lamaran," gurau Vani menyapa kakak kembarnya yang sedang berdiri di dekat jendela tampak merenung.
Vano menoleh, tersenyum menatap adik kembarnya yang baru saja masuk ke kamarnya. "Hei, Bu Guru. Boleh dong, diajarin cara membina rumah tangga yang baik." Ia balik bergurau.
Vani mecebikkan bibirnya. Setelah menutup pintu ia pun berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Vano pun menghampirinya dan duduk di sampingnya.
"Kak, kayaknya besok kita perlu bawa Ambulance juga, deh."
Vano mengerutkan keningnya. "Kenapa harus bawa Ambulance?" tanyanya bingung.
"Ya takutnya si Indri atau salah satu calon mertua Kakak pingsan besok. Jadi kita gak perlu repot-repot lagi bawa mereka ke rumah sakit kalau sudah ada Ambulance yang disiapkan."
Vano terkekeh sambil geleng-geleng kepala. "Kamu ada-ada saja. Tapi ... ada benarnya juga."
"Semoga lamarannya besok lancar ya, Kak. Dan gak banyak drama dari mereka."
"Amiin."
Malam harinya Vano sulit terpejam. Meski semua persiapan sudah sempurna, namun tetap saja jantungnya berdebar memikirkan hari esok.
Entah bagaimana nanti reaksi Cinta saat tahu ia bukan benar-benar seorang barista.
Hari yang dinantikan pun tiba...
Pagi itu keluarga pihak laki-laki menuju kediaman pihak perempuan. Ada lima mobil melaju membelah jalanan dimana ada Vano di salah satunya.
Vano tampak gugup duduk diapit kedua orang tuanya. Papa Azka dan mama Kinan berusaha menenangkannya.
Sementara itu...
Di rumah pihak perempuan, semua anggota keluarga juga sudah berkumpul. Bahkan ada beberapa tetangga yang turut diundang.
Jika mama Ratih dan Indri serta anggota keluarga lainnya berpenampilan elegan. Berbeda dengan Cinta yang hanya mengenakan gamis putih lengkap dengan hijabnya.
"Masya Allah, Non Cinta cantik banget." Mbok Darmi yang baru saja masuk ke kamar sampai pangling melihat penampilan wanita itu.
Cinta tersenyum. "Ini calon Papanya Laura yang minta aku pakai beginian, Mbok."
"Duh, so sweet nya. Pasti laki-laki Sholeh, baru lamaran aja sudah meminta calon istrinya mengenakan hijab. Mbok turut berbahagia untuk Non Cinta dan Laura." Kedua mata mbok Darmi seketika berkaca-kaca.
Cinta memeluk wanita paruh baya itu, yang sudah ia anggap seperti ibu sendiri. Mbok Darmi sudah sangat lama bekerja di rumahnya, saat mamanya masih hidup. Dulu, ketika sang mama sering ikut papa perjalanan bisnis, mbok Darmi lah yang ada mengasuh dan menyiapkan segala keperluannya.
"Kalau nanti Non Cinta sudah menikah dan ikut sama suami. Sering-sering main kesini ya, Non. Mbok pasti kangen banget sama Non Cinta. Tapi kalau boleh sih, Mbok mau ikut Non Cinta aja."
"Kalau Mbok Darmi ikut aku, siapa yang jagain Papa? Aku gak akan bisa tahu bagaimana keadaan Papa. Insyallah, aku dan Laura pasti akan sering-sering main kesini."
Di ruang tamu. Seluruh keluarga berkumpul, berbincang-bincang sembari menunggu rombongan pihak laki-laki datang.
"Katanya, hari ini si Cinta juga mau di lamar ya?" tanya salah satu kerabat.
"Katanya sih, Gitu. Kita lihat saja nanti orangnya datang apa enggak," jawab mama Ratih.
"Syukur ya, masih ada laki-laki yang mau. Kalau janda sih masih mending. Lah ini, nikah aja gak pernah tapi bisa punya anak," timpal yang lainnya sambil menahan tawa.
"Memangnya, siapa sih yang mau melamar Cinta?"
"Kata Indri sih, cowok kere," jawab mama Ratih terdengar berbisik sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Terus kenapa mau menikahkan Cinta dengan laki-laki seperti itu?"
"Gak apa-apa lah. Hitung-hitung mengurangi beban Mas Haris. Kalau dia juga udah nikah, gosip-gosip diluar yang sering terdengar tentang Cinta punya anak haram bisa ikut hilang nantinya."
"Iya juga, ya."
Papa Haris hanya dapat menghela nafas panjang mendengar obrolan mama Ratih dengan kerabat dari pihak istrinya itu.
"Keluarga dari pihak laki-laki sudah datang!" seruan salah satu kerabat, membuat yang lainnya langsung berhambur keluar untuk menyambut.
Seluruh keluarga berdecak kagum melihat lima mobil mewah berhenti di depan rumah.
Mama Ratih yang berdiri di sisi suaminya tak hentinya tersenyum. Tak sabar rasanya menanti calon besan turun dari mobil.
"Ini keluarga calonnya Indri apa Cinta?" tanya salah seorang kerabat papa Haris.
"Ya keluarganya calonnya Indri, dong. Gak lihat yang datang mobil mewah semua? Kalaupun calonnya Cinta datang naik mobil, paling juga mobil rentalan," jawab mama Ratih.
Kerabat papa Haris tersebut tampak mecebikkan bibirnya. Meski ia juga ikut kecewa terhadap Cinta, tapi ia tak sampai hati membandingkan antara calonnya Indri dan Cinta.
Lima mobil mewah tersebut telah terparkir dengan rapi. Satu-persatu penumpang mulai turun dan membuka masing-masing bagasi, mengeluarkan hantaran lamaran.
Vano yang ada di salah mobil bersama kedua orang tuanya serta adik kembarnya belum juga turun. Sejenak ia menatap kearah rumah Cinta dan menatap beberapa orang yang akan menyambut mereka.
"Bismillah, semoga lancar," gumamnya."
Papa Azka mengusap pundak putranya. "Tenang, Nak. Insha Allah semuanya akan berjalan lancar," bisiknya yang membuat putranya langsung mengangguk.
Sementara di kamarnya, Cinta terus berdoa dalam hati agar lamaran untuk dirinya berjalan lancar. Ia berharap keluarganya nanti tidak menghina Stev dan membandingkan dengan calonnya Indri.
Pintu kamar yang tiba-tiba terbuka mengalihkan perhatian Cinta. Salah satu kerabat dari pihak mamanya masuk dengan ekspresi datar.
"Keluarga calonnya Indri sudah datang."
Cinta tersenyum. "Syukurlah."
"Terus keluarga calon kamu mana? Kenapa belum datang juga?"
"Mungkin masih di perjalanan," jawab Cinta.
"Sudah kamu telepon?"
"Iya, tadi katanya sudah diperjalanan."
Di kamar lain. Indri begitu senangnya saat diberitahukan jika keluarga Vano sudah datang. Beberapa kali membenahi penampilannya dan memastikan sudah terlihat sempurna.
Kini ia duduk manis di sisi tempat tidur, menunggu dengan tak sabar untuk dipanggil keluar bertemu Vano dan keluarga besarnya yang turut hadir.
Di luar, suasana terlihat sangat ramai. Seluruh keluarga penuh antusias menyambut keluarga dari pihak laki-laki yang mereka ketahui adalah calonnya Indri.
Papa Azka tampak gagah menggandeng lengan kanan putranya, dan mama Kinan yang anggun menggandeng lengan kirinya. Dibelakangnya ada rombongan keluarga yang lain membawa seserahan lamaran.
Pak Haris, ayah kandung Cinta itu menyambut mereka dengan tersenyum ramah.
Mama Ratih yang berdiri di sisi suaminya turut memasang senyum terindahnya. Saat melihat seserahan lamaran, ia terpukau. Sebagai wanita yang mengerti dunia fashion, ia tahu bahwa barang-barang seserahan itu adalah dari barang merk terkenal dengan harga fantastis.
Setelah seluruh keluarga Vano dipersilahkan masuk dan duduk di tempat yang telah disediakan khusus. Om Raka, yang merupakan adik papa Azka mulai membuka pembicaraan.
"Sebelumnya, perkenalkan anak kami yang memiliki niat baik terhadap putri Pak Haris, yakni Stevano Atmajaya, yang merupakan anak ke-dua dari Bapak Azka Atmaja dan Ibu Kinan Anjani. Saya, selaku Paman dari calon mempelai laki-laki yang mewakili, besar harapan kami pada Pak Haris sekeluarga atas niat baik anak kami."
Pak Haris tersenyum dan mengangguk. "Dengan senang hati, kami sekeluarga menerima niat baik, Nak Vano."
"Alhamdulillah. Kalau begitu, boleh dipanggilkan putri Pak Haris." Om Raka lalu menoleh menatap keponakannya. "Siapa namanya?"
"Cinta Aurora Hadiwijaya!" jawab Vano dengan lantang.
"Cinta?"
Papa Haris, mama Ratih dan seluruh keluarga mereka seketika terperangah.