Pelacur mahal milik Wali Kota. Kisah Rhaelle Lussya, pelacur metropolitan yang menjual jiwa dan raganya dengan harga tertinggi kepada Arlo Pieter William, pengusaha kaya raya dan calon pejabat kota yang penuh ambisi.
Permainan berbahaya dimulai. Asmara yang menari di atas bara api.
Siapakah yang akan terbakar habis lebih dulu? Rahasia tersembunyi, dan taruhannya adalah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arindarast, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rempah asmara
“Tidak. Itu kesalahan.” Rhaell panik dengan apa yang ia ucapkan barusan, sebuah ketololan di luar kendalinya.
Arlo terdiam sejenak, mengamati Rhaell yang tampak salah tingkah. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Ayo? Katanya mau ciuman?” Arlo merangkak di atas kasur, mendekat ke arah Rhaell, pelan dan penuh kehati-hatian. Seperti pawang yang mendekati binatang buas untuk dijinakkan.
Rhaell terduduk dan mengambil bantal di sebelahnya untuk senjata darurat, “Jangan macam-macam!” Nada yang terdengar seperti campuran protes dan gugup.
Arlo tertawa kecil, suaranya berat dan dalam, menggema di ruangan yang sunyi. “Siapa yang macam-macam? Kan kamu yang duluan bilang mau ciuman.” Ia mendekatkan wajahnya, napasnya mengenai pipi Rhaell. “Apa kamu sudah berubah pikiran?”
Rhaell memalingkan wajah, pipinya memerah. “Itu… sebenarnya bukan aku yang bilang” Ia mencoba terdengar tegas, tapi suaranya gemetar sedikit, mengkhianati perasaannya yang sebenarnya. “Itu setan. Bukan aku.”
Arlo mengangkat dagu Rhaell dengan lembut, membuat Rhaell terpaksa menatap matanya. “Oh, setan ya? Lalu, kenapa kamu terlihat begitu gugup?” tanyanya, suaranya menggoda. Ia mengusap bibir Rhaell yang sedikit terbuka. “Kemana Cia menyembunyikan Rhaellku yang pemberani?”
Rhaell terkejut ketika Arlo menyadari bahwa dirinya sedang dalam “mode Cia” yang naif dan mudah tersipu, bukan “mode Rhaell” si pelacur dominan, pengendali dunia.
Arlo tersenyum jahil. Ia mendekatkan wajahnya lagi, sangat dekat, hingga napas mereka saling bercampur. “Jadi… kamu masih ingin ciuman atau tidak?” bisiknya, suaranya terdengar sangat menggoda. Ia menatap mata Rhaell, mencari jawaban di balik tatapan yang penuh dengan keraguan.
Rhaell memejamkan matanya, diikuti oleh Arlo. Bibir mereka akan bertemu dalam hitungan detik. Namun tiba-tiba wanita jelmaan rubah itu bergerak cepat dan lincah, melompat dari kasur dan berjalan menuju pintu kamar. Meninggalkan Arlo dengan sejuta perasaan gemasnya.
Arlo menggelengkan kepala, tawa kecilnya berusaha menutupi degup jantungnya. “Menarik,” gumam Arlo, jari-jarinya menyentuh tempat tidur, masih merasakan sisa kehangatan tubuh Rhaell.
Ia menyukai ketidakpastian ini, kesulitan dalam menebak apa yang ada di benak Rhaell. Penuh teka-teki, misteri sebuah labirin yang ingin ia pecahkan.
...****************...
Rhaell melesat keluar dari kamar Arlo, jantungnya berdebar kencang. Udara di lantai atas terasa lebih dingin dari biasanya, seolah mencerminkan kegugupannya.
Langkah kakinya tergesa, menghindari kontak mata dengan siapapun. Rumah besar itu terasa sunyi, hanya diiringi detak jantungnya sendiri yang bergema di telinganya.
Tepat di depan pintu kamar Marco, mereka berpapasan. Marco yang baru saja keluar dari kamarnya, tampak terkejut sejenak melihat Rhaell yang terburu-buru.
Ia sempat tersenyum canggung, namun Rhaell hanya memberikan tatapan tajam, penuh permusuhan. Tidak ada sapaan, tidak ada senyum balas. Hanya tatapan mematikan yang menusuk, seolah menyatakan perang dingin di antara mereka.
Suara Marco yang penuh penyesalan, melayang di udara. “Maaf, Rhaell. Aku tidak bermak…” namun kata-katanya tertelan oleh langkah kaki Rhaell yang mengabaikannya.
Pintu jati kamar Arlo yang berat bergeser perlahan, mengeluarkan bunyi desis halus, seakan menggarisbawahi ketegangan Marco yang membuncah. Arlo muncul, matanya menangkap sosok Rhaell yang menjauh dengan langkah cepat, meninggalkan adiknya dalam kesunyian yang mencekam.
Tanpa sepatah kata pun untuk Marco, Arlo menyusul Rhaell, meninggalkan Marco sendirian dalam lautan kebingungan dan penyesalan yang semakin dalam.
Keduanya turun tangga, Arlo beberapa langkah di belakang Rhaell. Tidak ada percakapan, hanya langkah kaki mereka yang bergema di tangga megah itu. Rhaell tampak fokus pada pijakannya, sedangkan Arlo mengamati punggung Rhaell dari belakang.
Suara menggelegar menyambut Rhaell dari bawah sana, “Cia!” Edgar berlari menghampiri kakaknya. “Kemana aja sih, kok nggak angkat telpon? Aku kira Cia diculik.”
Rhaell tersentak karena tiba-tiba melihat adiknya di depan mata. Walaupun kenyataan ‘diculik’ itu benar, tapi ia berusaha menenangkan, “Cia aman, Gar… kok kamu bisa di sini sih?” Waktu yang hilang saat dirinya dikunci di kamar Arlo terasa seperti jurang yang dalam dan gelap. Apa saja yang telah terjadi selama itu?
Edgar memeluk Rhaell erat, “tadi Marco telpon pake ponsel Cia, katanya Cia dalam bahaya. Yaudah aku sama temenku langsung ngelacak lokasi Cia. Terus pas sampe sini ada banyak wartawan, akhirnya aku diwawancara bareng Pak Arlo.”
Rhaell melepas pelukan adiknya dan menoleh ke belakang. Menuntut penjelasan pada Arlo tentang adiknya yang diwawancara.
Arlo mendekati Rhaell, jaraknya hanya beberapa sentimeter. “Apa? Aku tidak punya pilihan lain,” katanya, suaranya lembut pula. “Edgar dan temannya membuat keributan, menerobos masuk saat wartawan sedang melakukan tugasnya.”
Rhaell melongo, mulutnya terbuka sedikit. Ia menatap Edgar dengan ekspresi campuran antara syok dan tidak percaya. Kemudian, dengan gerakan cepat dan tiba-tiba, ia menjitak kepala Edgar dengan lembut, tapi cukup keras untuk membuat adiknya meringis.
“Aduh, Cia!” rengek Edgar, mengusap kepalanya yang baru saja dijitak.
Rhaell menahan tawanya dan berlagak keras. “Calon dokter itu harus tenang, nggak boleh panik. Apalagi sampe nerobos rumah orang sembarangan.” katanya menasehati adiknya yang ceroboh. “Cia jitak lagi ya, kalau Edgar nakal.”
Arlo, yang mengamati interaksi antara Rhaell dan Edgar, tersenyum geli. “Jangan takut, Gar,” katanya, “Nanti saya yang balas kalau kakakmu macam-macam.”
Edgar, yang masih mengusap kepalanya, menatap Arlo dengan mata berbinar. Ia kemudian menjulurkan lidahnya ke arah Rhaell, memanfaatkan kesempatan untuk meledek kakaknya. “Lihat, Cia? Backinganku calon wali kota. Kamu pasti kalah,” katanya, lalu menambahkan “Wleee!” dengan suara yang dibuat-buat.
Arlo, masih tersenyum geli, merangkul bahu Edgar dan mulai berjalan menjauh dari Rhaell, meninggalkan Rhaell sendirian di depan tangga. Ia mengusap puncak kepala Edgar dengan lembut, suaranya terdengar rendah dan penuh kejahilan.
“Pasti sakit ya,” katanya, melirik ke arah Rhaell sebentar. “Kakakmu memang buas.”
“Iya, setuju. Dulu Cia tinggal di hutan liar, makanya begitu.” Bisik Edgar yang suaranya cukup keras untuk didengar seluruh penghuni rumah.
Rhaell berdehem. Nadanya terdengar sedikit tajam. “Pake pengeras suara aja, Gar, biar sedunia tahu,” omelan yang terdengar gemas dan jenaka.
Edgar dan Arlo tertawa atas kekesalan Rhaell. Tidak pernah terpilirkan oleh Arlo sebelumnya, bahwa menjahili Rhaell bisa semenyenangkan ini, bisa menghangatkan hatinya.
Ia melepaskan rangkulannya dari Edgar, lalu duduk di sofa ruang tengah. “Jadi,” katanya, suaranya tenang penuh wibawa, “apa yang ingin kamu lakukan selanjutnya?”
Edgar berpikir sejenak. “Aku lapar,”jawabnya dengan suara polos.
...****************...
Di dapur yang luas dan modern, aroma rempah-rempah dan bahan masakan segar memenuhi udara. Edgar, dengan cekatan mengupas bawang putih, sementara Arlo, dengan tangan terampil, memotong sayuran dengan rapi.
Keduanya berbincang ringan, tawa mereka bercampur dengan bunyi pisau yang membelah sayuran dan gelegar wajan. Edgar, dengan gaya cerobohnya, sesekali menaburkan garam terlalu banyak, membuat Arlo tertawa geli.
Hobi memasak yang dimiliki Arlo sudah tertanam sejak masa kuliahnya di luar negeri. Bisa dijadikan acuan untuk membimbing Edgar, menunjukkan teknik-teknik memasak yang tepat.
Kerja sama mereka seperti orkestra yang memainkan simfoni rasa. Saling melengkapi, saling membantu, menciptakan harmoni di antara perbedaan gaya memasaknya.
Rhaell duduk di kursi kitchen island, mengamati interaksi adiknya dan Arlo. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia tak menyangka, Arlo dan Edgar bisa sedekat ini dalam waktu singkat. Ditotal, mereka hanya pernah bertemu dua kali. Di sekolah saat penyerahan beasiswa dan di apartement saat Arlo menjemput Sienna.
Edgar, dengan semangatnya, mencicipi masakan mereka, lalu memberi jempol pada Arlo. “Mantap, Pak Arlo! Rasanya… luar biasa!” pujinya dengan antusias.
Arlo tersenyum bangga, “Terima kasih, Gar… tapi panggil aku Arlo saja.”
Di tengah kesibukan mereka, Edgar tiba-tiba teringat sesuatu. Ia berlari kecil ke arah Rhaell, menyodorkan sesendok saus bolognese yang dibuat Arlo. “Cia, cobain ini. Enak banget.”
Rhaell tersenyum, menerima pemberian Edgar dengan lembut. Ia menyeruput saus itu, merasakan rasa yang gurih dan lezat.
“Wow. Ini saus terenak sepanjang masa!” katanya, lalu melirik ke arah Arlo yang sedang meniriskan pasta. Matanya bertemu dengan mata Arlo, dan di sana, ia melihat percikan sesuatu yang lebih dari sekadar ‘orang asing’. Sebuah pemahaman diam-diam, sebuah ikatan yang tak terucapkan.
Suasana dapur yang tadinya hanya dipenuhi aroma masakan, kini juga dipenuhi oleh aroma cinta yang mulai tumbuh di antara mereka berdua. Ketegangan dan ketidakpastian yang sebelumnya membayangi mereka, perlahan mulai sirna, digantikan oleh kehangatan dan kebersamaan.
Arlo, yang memperhatikan ekspresi Rhaell, tersenyum lembut. Ia tahu, perjalanan mereka masih panjang, masih banyak teka-teki yang harus dipecahkan. Namun, di tengah semua itu, ia merasa ada harapan, sebuah kemungkinan untuk membangun sesuatu yang indah bersama Rhaell.
Masih dengan senyumnya yang merekah, Arlo mendekati Rhaell. Jarak mereka hanya sejengkal. Aroma saus bolognese masih tercium samar dari bibir Rhaell. Ia mengulurkan tangannya, menyentuh lembut pipi Rhaell, menghapus sedikit sisa saus yang menempel. Sentuhannya begitu ringan, namun terasa begitu dalam, menimbulkan getaran yang tak terjelaskan.
“Rasanya memang enak,” bisik Arlo, suaranya serak, “Sama seperti... kamu.” Tatapan matanya tak lepas dari mata Rhaell, penuh dengan kerinduan dan ketertarikan yang tak terbantahkan.
Rhaell terpaku. Ia ingin membalas tatapan Arlo, namun seperti ada sesuatu yang menahannya, jantungnya berdebar tak karuan. Ia baru merasakan kedekatan yang begitu intens dengan seseorang setelah sekian lama. Kedekatan yang melampaui batas ‘orang asing’ biasa.
Tiba-tiba, suara langkah kaki setengah berlari menuju ke arah dapur. Atlas, wajahnya sedikit tegang. “Ibumu… ada di sini,” katanya, suaranya hampir berbisik.
Sebelum Arlo atau Rhaell sempat menjawab, suara seorang wanita terdengar dari arah ruang makan. Suaranya hangat, namun ada sedikit keheranan di baliknya.
“Hai anakku, bagaimana wawancaranya tadi? Eh, lagi ada tamu siapa ini?”
Bersambung…
tu kan mo arah ke ❤❤ gituu 😅🤗