“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
“Sayang bangun, kita sudah sampai.”
Suara Kahfi membangunkan Syanas dengan Syanas langsung tersadar. Ia mengedarkan pandangan ke luar jendela bus. Malam sudah benar-benar menyelimuti dunia, lampu-lampu jalan sesekali terlihat berkelip dari kejauhan, tetapi selebihnya, hanya ada bayangan gelap pepohonan dan jalanan sepi.
“Kita sudah sampai ya?” tanya Syanas.
Kahfi tidak menjawab, hanya menunggu dengan sabar saat Syanas meregangkan tubuhnya, berusaha menghilangkan rasa pegal yang masih menempel di persendiannya.
Begitu bus berhenti sempurna, Kahfi bangkit lebih dulu, mengambil koper mereka, lalu melangkah turun dengan tenang. Syanas mengikuti dengan sedikit malas.
Udara malam langsung menyergap tubuhnya begitu ia melangkah keluar, membuatnya menggigil tanpa bisa dicegah. Padahal ia sudah mengenakan pakaian yang cukup tertutup, tetapi angin malam ini benar-benar menusuk.
Syanas melirik sekeliling. Tempat ini jauh berbeda dari kota yang biasa ia tinggali. Tidak ada gedung tinggi, tidak ada jalanan yang dipenuhi kendaraan. Hanya ada beberapa bangunan sederhana yang berjejer di pinggir jalan, diterangi lampu kuning temaram.
“Ini di mana sih?” tanyanya sambil menoleh ke arah Kahfi.
Lelaki itu menoleh, kemudian tersenyum kecil. “Tempat kelahiranku,” jawabnya singkat.
Syanas mengerutkan dahi, menatap Kahfi dengan sedikit lebih lama. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi melihat ekspresi lelaki itu, entah kenapa ia memilih untuk diam.
“Kita ke sana dulu, makan,” ajak kahfi berjalan ke sebuah warung di hadapan mereka, yang mana tampak cukup ramai dibandingkan tempat lain di sekitar situ.
Syanas hanya mengangguk, dengan ia melihat warung itu sederhana, dengan beberapa meja kayu panjang dan kursi plastik berjejer rapi.
Aroma makanan hangat langsung menyambut mereka begitu masuk, membuat perut Syanas yang belum terisi tiba-tiba berbunyi.
“Duduklah.” Kahfi menarik kursi untuk Syanas, lalu ia sendiri duduk di seberang meja.
Tak lama, seorang perempuan paruh baya datang membawa daftar menu. Kahfi tidak melihat menu sama sekali, ia hanya menyebut beberapa makanan dengan yakin, sementara Syanas menunggu dengan malas.
“Nggak nanya aku mau makan apa dulu?” keluhnya setelah si perempuan itu pergi ke dapur.
Kahfi menyandarkan punggungnya ke kursi. “Nggak perlu, kamu pasti suka.”
Syanas mendengus pelan. Percaya diri sekali.
Saat makanan datang, ia harus mengakui bahwa hidangan itu terlihat menggugah selera. Seporsi nasi hangat, ayam goreng yang masih mengepul, tahu dan tempe bacem, serta lalapan segar.
Syanas mulai makan dengan perlahan. Di luar dugaan, rasanya benar-benar enak.
“Kita bakal tinggal di mana?” tanyanya sambil mengunyah.
Kahfi menyesap tehnya sebelum menjawab, “Di rumah.”
Syanas melirik Kahfi tajam. “Rumah siapa?”
Kahfi tersenyum tipis. “Rumahku.”
Jawaban itu membuat Syanas sedikit terdiam. Otaknya berputar, mencoba mencerna semuanya. Berarti Kahfi masih punya keluarga di sini? Atau ia hanya memiliki tempat tinggal yang sudah lama ia tinggalkan?
Ia ingin bertanya lebih banyak, tetapi melihat cara Kahfi berbicara, tampaknya lelaki itu tidak berniat menjelaskan lebih dari yang ia katakan.
Syanas menghela napas.
Perjalanan ini sepertinya akan lebih panjang dari yang ia bayangkan. Kahfi menatap Syanas yang masih sibuk dengan piringnya. Nasi hampir habis, ayam tinggal tulang, dan sambal di piringnya sudah nyaris bersih.
Kahfi mengangkat alis. “Kenyang belum?” tanyanya santai.
Syanas menghela napas pelan. “Lumayan.”
Kahfi melirik meja sekeliling. Warung ini memang sederhana, tapi pilihan menunya lumayan banyak. Ia melirik menu yang tertempel di dinding, lalu menoleh lagi ke arah Syanas.
“Kalau masih lapar, pesen lagi aja. Di sini banyak makanan enak.”
Syanas menatap Kahfi malas. “Aku lagi diet.”
Kahfi langsung terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Diet?”
Syanas menyipitkan mata. “Kenapa? Nggak boleh?”
Kahfi menggeleng sambil tersenyum tipis. “Boleh aja. Cuma... Diet model apa yang makan ayam goreng, nasi sepiring penuh, sambel banyak, sama tahu tempe bacem, ludes habis?”
Syanas mendengus. “Ya ampun, itu tetap bisa masuk diet tau!”
Kahfi menahan tawa. “Oke, oke. Tapi kalau diet beneran, kenapa makannya tadi semangat banget?”
Syanas melipat tangan di dada. “Aku nggak semangat. Aku cuma menghargai makanan yang udah disajikan.”
“Oh, jadi kalau aku pesenin satu porsi lagi, kamu bakal tetap menghargainya?”
Syanas langsung melotot. “Nggak!”
Kahfi terkekeh pelan. “Begitu ceritanya.”
Syanas makin manyun. “Bisa nggak kita ngobrolin hal lain aja?”
Kahfi mengangguk. “Boleh. Ngomongin apa?”
Syanas berpikir sejenak sebelum akhirnya melipat tangannya di meja. “Kenapa kamu ngajak aku ke sini? Maksudku, tempat kelahiran kamu… Kenapa kita harus tinggal di sini?”
Kahfi menatap Syanas beberapa detik, lalu tersenyum samar. “Karena aku ingin.”
Syanas langsung mendengus kesal. “Jawaban macam apa itu?”
“Jawaban yang jujur.”
Syanas menatap Kahfi tajam. “Ada alasan lain kan?”
Kahfi hanya tersenyum tipis dan kembali menyesap tehnya. “Kalau lapar nanti bilang aja. Aku pesenin lagi.”
Syanas menepuk dahinya pelan. Obrolan mereka kembali ke makanan. Lelaki ini benar-benar bikin kesal!
Namun, Syanas kembali menatap Kahfi dengan kening berkerut. Ia baru sadar sesuatu. Dari tadi, lelaki itu berbicara dengannya dengan nada santai. Tidak ada kata-kata ketus, tidak ada sindiran tajam yang biasa keluar dari mulutnya.
Biasanya Kahfi selalu terdengar seperti robot yang program bawaannya adalah berbicara dingin dan tajam. Tapi malam ini, suaminya itu terdengar lebih manusiawi. Lebih santai.
Syanas mengamati ekspresi Kahfi. Lelaki itu masih terlihat serius, tapi ada sesuatu yang berbeda. Entah karena tempat ini adalah kampung halamannya, atau karena ia memang sengaja mengurangi ketajaman lidahnya.
“Kenapa melamun? Aku tau, aku ganteng kok.”
Syanas berkedip cepat. “Ih... Pede amat. Aku cuma heran aja.”
Kahfi mengangkat alis. “Heran kenapa?”
Syanas menatap Kahfi ragu sejenak. “Kamu ternyata bisa ngobrol santai juga ya.”
Kahfi terdiam beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Kenapa? Nggak biasa?”
Syanas menghela napas. “Banget.”
Kahfi terkekeh pelan. “Yaudah, kalau gitu mulai sekarang aku ngomong ketus lagi aja, biar kamu nggak kaget.”
Syanas langsung melotot. “Terserahlah palingan nahan ati aja!”
Kahfi terkekeh lagi, kali ini lebih terdengar seperti tawa sungguhan. Syanas hanya bisa mendesah pelan. Entah kenapa, meskipun menyebalkan, tawa lelaki itu tidak seburuk yang ia kira.
Kahfi melirik jam tangannya. “Ayo, kita lanjut jalan lagi.”
Syanas mendesah, merasa sedikit malas. Udara malam semakin dingin, dan perutnya yang kenyang membuatnya ingin langsung mencari tempat tidur. Tapi melihat Kahfi sudah berdiri dan membayar makanan, ia tak punya pilihan selain menurut.
Mereka berjalan ke arah pangkalan ojek pengkolan yang hanya diterangi lampu jalan temaram. Beberapa tukang ojek sedang mengobrol santai sambil menyeruput kopi, tapi langsung menoleh saat Kahfi dan Syanas mendekat.
“Bang, dua ojek ya,” ucap Kahfi.
Salah satu tukang ojek, seorang lelaki bertubuh agak gemuk dengan jaket tebal, mengangguk. “Siap mas. Kampung mana?”
“Kampung asem. Tapi saya yang bawa motornya,” jawab Kahfi.
Si tukang ojek mengernyit. “Lho, terus saya ke mana mas?”
Kahfi tersenyum tipis. “Naik ojek yang satu lagi. Nanti saya yang bayar.”
Syanas sendiri hanya bisa menghela napas dalam hati. Ini lelaki, kok ya posesif amat. Nggak mau terpisah barang lima belas menit naik ojek?
Si tukang ojek akhirnya menggeleng-gelengkan kepala dan berseru ke temannya, “Cuk, dunia kayaknya udah nggak aman buat kita berdua.”
Temannya yang baru saja menyalakan rokok menimpali dengan santai. “Udah, kita ke planet mars aja yuk.”
Syanas tanpa pikir panjang langsung mengangkat tangan. “Ikut dong mas.”
Kedua tukang ojek itu menoleh bersamaan. Yang pertama menatap Syanas dengan tatapan penuh simpati, sementara yang kedua mendesah panjang, lalu melirik Kahfi.
“Mas kalau mbaknya ikut, terus sampean ikut juga, kayaknya kita ini makin menderita. Apalagi di musim hujan begini.”
Kahfi langsung menahan tawa, sementara Syanas hanya menyeringai kecil. Ia tadinya hanya ikut bercanda, malahan di balik bercanda. Jantungnya menjadi panas seketika. ia pun mendengus dan melipat tangan di dada.
“Yaudah mas. Silakan bawa motornya. Saya jadi penumpang aja.”
Kahfi menerima kunci motor lalu menyusun barang mereka dan menoleh ke Syanas. “Ayo naik.”
Syanas menaiki motor dengan mendengus pelan. Dalam hati, ia sudah merencanakan kalau nanti mereka sampai di rumah, ia akan menggoda Kahfi soal sifat posesifnya.
Tapi untuk sekarang, ia hanya bisa memeluk dirinya sendiri, bersiap menghadapi dinginnya perjalanan menuju kampung halaman suaminya yang penuh misteri.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..