Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pencerahan
Sudah seminggu sejak pertemuan terakhir Malik dengan Naima di rumahnya. Dia tidak menyangka bahwa momen itu akan terus terlintas di pikirannya. Bagaimana gadis itu terlihat gugup, canggung, namun tetap menjaga sikap tenangnya. Malik tak pernah membayangkan Naima akan berada di ruang tamunya, berbicara dengan ibunya dan Haris, seolah-olah itu adalah hal yang biasa.
Meski waktu telah berlalu, pikirannya masih sering kembali ke hari itu. Senyum kecil Naima yang setengah dipaksakan, cara dia melambaikan tangan dengan kaku, dan bagaimana dia menghindari tatapannya. Malik tak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya apa yang sebenarnya dipikirkan gadis itu.
Malik merasakan bulir-bulir air membasuh wajahnya, dingin dan perlahan mengalir menyusuri tubuhnya. Rasa penat yang sejak tadi menekan pundaknya mulai memudar, seolah sirna bersama aliran air. Mandi memang selalu menjadi pelariannya, cara paling sederhana untuk meredakan lelah dan mengurai benang kusut di pikirannya.
Namun kali ini, bahkan air yang menenangkan sekalipun tak mampu menghapus kebingungan yang menghantui. Malik menunduk, membiarkan air terus mengalir, matanya terpejam sejenak.
"Kenapa dia belum juga memberikan jawaban?" gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara rintik air shower yang terus mengalir.
Pikirannya kembali pada Naima. Gadis itu, dengan segala kerumitannya, terus mengisi ruang di kepalanya. Pertanyaan tentang lamaran itu hanya permukaan dari apa yang ia rasakan. Malik tahu ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik sikap dingin dan canggung Naima, tapi apa?
Ia mendesah berat, membuka matanya, menatap air yang mengalir ke bawah. Rasa penasaran bercampur frustrasi membuatnya ingin mencari jawaban lebih dalam, meski ia sadar mungkin itu membutuhkan lebih dari sekadar kesabaran.
Malik menghela napas panjang, menyelesaikan mandi yang seakan tidak mampu meredakan kebingungannya. Setelah menuntaskan gerakan mengeringkan rambut, ia melangkah keluar dari kamar mandi, mendapati Haris yang sedang selonjoran di atas kasurnya.
Dengan ekspresi curiga, Malik menatap kakaknya, "Ngapain lo ke kamar gw?" Suaranya tegas, meski ada rasa janggal yang menggelayuti pikirannya.
Haris tidak segera menjawab. Dia meletakkan ponselnya di samping tubuhnya, menatap Malik dengan pandangan yang sulit dibaca, tapi jelas menunjukkan sebuah kepedulian yang dalam.
"Lo tau beberapa orang punya gangguan kecemasan sosial?" Haris akhirnya membuka percakapan, suaranya terdengar serius.
Malik terdiam sejenak, mendengarkan kata-kata kakaknya, meskipun ia sudah mulai merasa ada yang tidak beres. "Mereka cenderung enggan bertemu dengan orang asing, menutup diri, dan gak mau jadi pusat perhatian."
Kalimat itu menggantung di udara. Malik mengerutkan kening, mencoba mencerna apa maksud kakaknya. Ia tidak segera menjawab, tapi rasa penasaran mulai muncul.
“Apa hubungannya sama gw?” Malik bertanya, meski sebenarnya ia sudah mulai merasakan apa yang akan dijelaskan kakaknya.
Haris tidak terburu-buru menjawab. Dia menatap adiknya, lebih dalam kali ini, seakan menunggu waktu yang tepat. "Bukan lo," jawabnya akhirnya, "tapi Naima."
Malik terkejut. Namanya terucap begitu saja, dan seakan dunia di sekitarnya berputar lebih lambat.
"Cewek yang lo taksir itu," Haris melanjutkan, "punya gangguan kecemasan sosial."
Kata-kata itu menggema di kepala Malik. Naima, gadis yang selama ini ia perhatikan, ternyata menyimpan hal besar yang tidak ia ketahui. Gangguan kecemasan sosial—itu menjelaskan banyak hal tentang sikap Naima yang canggung, yang terkadang menghindar, dan selalu menjaga jarak. Malik merasa seolah mendapat pencerahan, namun juga semakin bingung tentang bagaimana cara mendekatinya.
"Jadi, lo pikir itu sebabnya Naima belum jawab lamaran gue?" Malik bertanya, suaranya terdengar ragu.
“Setelah gw bicara dengan dia. Gw bisa bilang bahwa itu mungkin.” ucap Haris. Dia menghela napas sedikit prihatin dengan adiknya. “Lo harus lebih banyak bersabar menghadapi orang-orang dengan gangguan kecemasan sosial. Lo pahamkan maksud gw jangan terburu-buru.”
Malik terdiam, sejenak mencerna kata-kata Haris. Pikirannya terasa kosong, seolah ada banyak hal yang ingin ia katakan, namun semuanya terhambat dalam keraguan. Tidak tahu harus mulai dari mana, atau bagaimana cara menyampaikannya.
"Orang dengan gangguan kecemasan sosial butuh waktu untuk merasa aman, terutama dalam hubungan personal," Haris melanjutkan dengan suara tenang, namun penuh pengertian. "Sabar dan pengertian itu kunci utama. Jangan paksa, beri waktu dan ruang. Kalau dia merasa diterima, bukan dipaksa, dia mungkin akan mulai membuka diri."
“Beberapa pemicu yang gw tau, Naima mungkin punya pengalaman memalukan, pernah di-bully, atau di-kritik,” ucap Haris, suara kakaknya yang tenang dan penuh pertimbangan mengisi ruang kamar yang sunyi.
Malik diam sejenak, mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan. "Karena itu dia tertutup dan sulit bergaul?" Malik bertanya dengan nada serius, tetapi ada kekhawatiran yang tak bisa dia sembunyikan.
Haris menatap adiknya dengan penuh pengertian. "Iya. Mungkin dia pernah mengalami sesuatu yang benar-benar membuatnya merasa kecil, merasa tidak dihargai. Pengalaman kaya gitu bisa sangat mengguncang, dan untuk seseorang yang punya gangguan kecemasan sosial, luka itu bisa bertahan lama."
Malik merasakan hatinya terhimpit. Gambar Naima yang selalu terlihat tegar di depannya, yang terlihat berusaha menjaga jarak dan menyembunyikan ketidaknyamanannya, sekarang terlihat berbeda di matanya. Seperti ada beban berat yang dipikulnya, sesuatu yang tidak bisa dia ungkapkan.
"Mungkin itu kenapa dia selalu menghindar, gak mau terlalu dekat dengan orang lain," lanjut Haris, menyadari adiknya yang tengah merenung dalam diam. "Coba bayangin aja kalau dia pernah diejek, di-bully waktu kecil, atau mungkin pernah dihina oleh orang-orang yang dia percayai. Itu bisa jadi trauma yang bikin dia takut membuka diri. Takut ditolak, takut disakiti."
Haris pelan, menepuk pundak Malik dengan lembut. "Lo harus sabar. Kalau dia memang punya pengalaman yang bikin dia merasa malu atau merasa dihina, itu bisa jadi alasan kenapa dia terlalu berhati-hati dalam hubungan apapun. Dan lo gak bisa langsung menyelesaikan ini dalam waktu singkat. Kadang-kadang, orang butuh waktu bertahun-tahun untuk benar-benar sembuh."
“Kasih dia waktu, kasih dia ruang. Jangan paksakan. Kalau lo memang peduli sama dia, tunjukkan dengan cara yang dia bisa terima, dengan sabar dan penuh pengertian. Kalau dia merasa diterima, dia akan perlahan membuka dirinya, tapi itu perlu waktu."
Malik mengangguk pelan, meski masih ada kegelisahan yang mengganjal di hatinya. Dia sadar bahwa untuk memahami Naima lebih jauh, dia harus lebih banyak mendengarkan, dan tidak hanya fokus pada apa yang dia inginkan. Itu bukan hanya tentang menjawab lamaran, tapi tentang memberikan dukungan yang Naima butuhkan untuk merasa aman.
Sambil mengelus pelan keningnya, Malik merasa seolah ada sebuah titik terang yang perlahan mulai muncul dalam pikirannya.
“Oke, itu aja saran gw sebagai kakak lo,” ucap Haris, Good luck,” ucap Haris, beranjak meninggalkan Malik.
Namun sebelum sosok Haris benar-benar pergi dia berbalik menatap Malik dengan seringai menyebalkan, “Oiya, tentu aja konsultasi gw ga gratis,” sambungnya.
Malik mendengus melihat kepergian Haris. Meskipun merasa agak terganggu dengan tingkah kakaknya, dia tidak bisa menolak kenyataan bahwa Haris benar. Kakaknya yang seorang psikolog tentu lebih paham mengenai dinamika perilaku manusia. Haris tahu apa yang dia bicarakan.
Malik memiringkan kepalanya, kembali memikirkan Naima. Rasa bingung yang sebelumnya ada di hatinya, kini sedikit lebih jelas. Tugas Malik sekarang bukan hanya untuk menunggu, tetapi untuk menunjukkan pengertian dan kesabaran. Sebuah langkah yang tak mudah, tetapi perlu.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak