Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
Tangan Luna yang hangat perlahan mengusap punggung tangan Renzo, memberikan ketenangan di tengah cerita tentang masa lalunya yang mengerikan itu.
Luna khawatir dengan kondisi Renzo jika ia terus menceritakan secara detail peristiwa yang membuatnya trauma.
Renzo tersenyum kecil, menoleh ke arah Luna. “Aku baik-baik saja,” katanya, seakan membaca kekhawatiran di mata wanita itu. “Aku harus melawan ini… Jika aku ingin hidup lebih baik denganmu.”
Luna tersentak. Kata-kata Renzo terasa begitu dalam, seakan pria itu benar-benar bertekad menghadapi semua traumanya demi mereka.
“Aku percaya dengan ceritamu. Meskipun jutaan orang menganggapmu pembunuh pada saat itu dan sekarang misalnya. Aku tetap di sisimu, percayalah!"
Renzo menatapnya dalam, lalu menggenggam tangan Luna lebih erat. “Terima kasih…”
Hening sejenak. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar.
.
Tiba-tiba Luna terpikirkan satu hal lagi yang masih mengganjal, akhirnya dengan berani dia bertanya. “Ren, aku ingin bertanya sesuatu.”
Renzo mengangguk, memberi isyarat padanya untuk melanjutkan.
“Ivan. Jadi siapa sebenarnya dia? Benar dia kakak Ivy, lalu pada saat kejadian dia ke mana?"
Mata Renzo sedikit menyipit, seperti sedang merangkai benang merah di kepalanya.
"Betul, dia memang kakak kandung Ivy. Keluarga Ivy berantakan, Ibunya meninggalkan mereka saat kecil karena memilih pria lain yaitu rekan kerja Ayahnya. Sedangkan Ayahnya gila kerja untuk menyekolahkan Ivan dan Ivy, pada saat itu Ivan berada di luar negri."
"Jadi kamu memang tidak pernah melihatnya?" tanya Luna penasaran.
Renzo menggeleng, mencoba mengingat kembali potongan-potongan hal kelam itu.
"Tentang perasaanku dan Ivy, aku merasa sangat bodoh dulu menyukainya. Dia selalu mendekatiku sejak awal kuliah, di sisi lain hatiku yang rapuh aku merasa terisi oleh hadirnya dia. Mengapa semua itu berubah? Karena setelah aku berpacaran dengannya aku baru tahu jika dia juga mengencani banyak pria lain selain aku." Renzo melanjutkan ceritanya tentang Ivy.
"Itu makanya kamu selalu membuntutinya? Posesif padanya dan obsesimu padanya menjadi tinggi?" kata Luna sambil menatap Renzo dalam-dalam.
Pria tampan itu mengangguk, membenarkan perkataan Luna.
"Andai saat itu aku sudah berusia sama denganmu, aku pasti menawarkan diri untuk menjadi pacarmu. Sayang saja waktu itu aku masih kecil." Luna menutup mulutnya menahan tawa.
"Lebih berbahaya lagi jika aku mengencanimu saat itu, bisa saja aku di anggap pedofil," sahutnya, dia menahan bibirnya untuk tertawa.
"Jadi apakah jodohku adalah om-om tampan yang ada di depanku saat ini?"
.
.
Lembaga Pemasyarakatan Mandala
Sebuah penjara yang dijaga ketat, Renzo menunggu di ruang kunjungan dengan tatapan dingin. Di hadapannya, Ivan duduk di kursi besi, mengenakan seragam tahanan. Wajahnya tampak sedikit lebam akibat pertarungan mereka sebelumnya, tetapi senyum miringnya tidak pudar sedikit pun.
"Aku sudah menunggumu," kata Ivan dengan nada santai. "Kupikir kau tidak akan datang secepat ini. Atau kupikir kau akan semakin gila dan lebih baik mati."
Renzo tetap diam, matanya mengamati Ivan seolah ingin menembus isi kepalanya.
"Jadi, bagaimana rasanya?" Ivan melanjutkan. "Bagaimana rasanya menjadi seseorang yang selalu dikejar masa lalu?"
"Kau sama gilanya dengan adikmu yang bunuh diri itu, keluarga kalian berantakan, bermasalah. Aku akan pastikan kau terkurung di sini dengan waktu yang lama,"
"Apa kau akan membayar orang untuk membunuhku?" tanya Ivan dengan percaya diri. "Oh, wanita baik itu pasti akan melarangmu melakukan hal tersebut bukan?" sindirnya lagi.
Renzo menyalakan rokoknya dan menghembuskan asap itu ke depan wajah Ivan, matanya yang tajam menyiratkan kebencian. Renzo menatapnya tajam dari atas ke bawah, Ivan tidak bisa menebak pikirannya.
"Jadi apa pekerjaanmu sesungguhnya?"
"Tak perlu kau tahu, jika aku mati dan terbukti yang membunuh adalah dirimu maka kau akan menyesal. Kau dan wanita itu tidak akan hidup tenang!" Ivan tertawa meledek Renzo.
"JANGAN BAWA-BAWA DIA!!" teriak Renzo.
Johan yang sedari tadi berdiri di belakang Renzo berusaha menenangkan agar tidak terjadi perkelahian.
.
Renzo menyalakan rokoknya kembali, setelah keluar dari lapas.
"Cari tahu tentang dia, Jo. Apa yang dia kerjakan selain menjadi barista gadungan di kafe itu.” sambil mengisap rokoknya.
"Saya baru mencari tahu tentang Ivy, Tuan. Kematiannya tidak pernah tercatat di mana pun," ucap Jo.
"Lalu orang tua mereka bagaimana? Apakah masih hidup atau sudah mati?" ia mulai penasaran dengan seluk beluk keluarga Ivan. "Kehadiran mereka bisa menghancurkanku, bahkan keluargaku dan juga Luna."
Johan mengangguk mengerti apa yang di perintahkan Renzo. Ia segera mengantar Tuan-nya ke kantor.
Mobil hitam itu melaju mulus di melewati jalanan yang senggang di sore hari. Renzo duduk di kursi belakang dengan ekspresi dingin, sesekali mengetukkan jarinya ke lututnya.
"Oke, segera kabari saya lagi... "
Renzo mendengar Johan menjawab panggilan yang entah dari siapa.
"Tuan, saya mendapat informasi baru bahwa ayah mereka sudah meninggal terkena serangan jantung saat berpesta dengan wanita-wanita muda. Sedangkan Ibunya yang sedari dulu meninggalkan mereka kini ada di panti jompo." Johan melirik ke arah spion tengah.
Johan menelan ludah. "Kalau benar begitu, Tuan... bisa jadi Ivy masih hidup."
Renzo terdiam. Matanya menatap keluar jendela, pikirannya berkecamuk. Jika Ivy masih hidup, apakah dia yang mengendalikan semua ini dari balik layar?
"Jadi Ivan sengaja menyembunyikan kematian Ivy?"
"Tapi ada satu hal yang mencurigakan, Tuan." Johan menambahkan, dan Renzo masih menatap spion di kursi belakang.
"Ivan memiliki seorang wali. Seseorang yang bertanggung jawab atas hidupnya setelah orang tuanya tiada."
Renzo mengernyit. "Siapa?"
"Saya masih mencari tahu itu lebih lanjut, Tuan. Segera setelah mendapatkan informasi yang akurat saya akan laporkan."
Sepanjang perjalan menuju kantor kepala Renzo di penuhi teka-teki yang harus ia pecahkan. Apa sebenarnya yang terjadi selama ini, apakah ketika dia mendekati Luna maka Ivy baru muncul untuk balas dendam?
.
Dret!
Dret!
Ponsel Renzo berbunyi ada dua pesan masuk, nama yang tertera di ponselnya adalah Mama. Dia membuka isi pesan dari Maharani dengan cepat, orang yang dia sayang tidak boleh menunggu lama terkait kabarnya.
"Sayang, bisa segera pulang ke mansion. Ada yang mau di bahas oleh Papamu terkait masalah yang terjadi padamu akhir-akhir ini."
"Bicarakan dengan kepala dingin, Oke? Mama selalu mendukungmu, Mama selalu bersamamu, jangan buat keributan lagi dengan Papamu."
Renzo hanya membalas. "Ya, aku ke mansion sekarang."
"Jo, kita pulang sekarang. Papaku ingin bicara sepertinya terkait masalahku dan Luna, karena aku sempat sakit kemarin. Dia pasti sudah siap menghina dan memakiku."
Johan menyalakan lampu sein mobilnya ke kiri, mengambil jalur yang berbeda dari tujuan utama mereka.
Hanya butuh waktu setengah jam, Renzo sudah tiba di mansion. Baru mengetahui Papanya ingin bicara saja dia sudah naik pitam rasanya.
"Banyak sekali rencana hidupnya, apa dia tidak bekerja selalu mengurusiku terus. Seperti pengangguran saja!" gumam Renzo.