Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9~ APA PAPA AKAN MEMAAFKAN AKU?
"Papa gak ada niat mau jenguk anaknya Cinta di rumah sakit?" tanya mama Ratih yang tengah makan siang bersama anak dan suaminya. Sejak kedatangan Laura, meja makan hanya diisi mereka bertiga. Sedang Cinta tak diizinkan untuk bergabung bersama mereka lagi. Kalau tidak membawa makanannya ke kamar, Cinta akan makan bersama mbok Darmi di dapur.
Papa Haris melirik istrinya itu sekilas, lalu kembali fokus pada makanannya. "Enggak," jawabnya datar.
"Memangnya, anaknya Cinta kenapa, Ma?" Indri menatap mamanya. Semalam ia pulang larut, dan sejak bangun memang tidak melihat Cinta dan anaknya. Ia pikir mereka jalan-jalan di sekitar komplek sebab ini hari libur.
"Kena diare, di rawat sejak kemarin siang," jawab mama Ratih.
"Oh." Indri pun kembali menyantap makanannya.
Papa haris makan dengan tampak melamun tanpa disadari oleh istri dan anak tirinya. Setelah makanannya habis, ia pun meninggalkan ruang makan dan langsung menuju ruang tengah. Mengeluarkan ponsel dari saku celana lalu menghubungi seseorang.
Sementara itu di ruang makan. Indri dan mama Ratih tak langsung meninggalkan ruang makan meski mereka juga sudah selesai makan. Keduanya mengobrol membahas tentang Cinta.
"Kenapa sih, Papa gak mengusir aja dia dari rumah? Apa lagi yang bisa Papa banggakan dengan anak yang jelas-jelas sudah membuat muka Papa tercoreng dengan punya anak tanpa suami. Menarik semua fasilitas dan mencabut haknya saja itu belum cukup untuk memberi dia pelajaran. Seharusnya di usir juga dari rumah!"
"Sabar, Indri. Ada masanya nanti Cinta dan anaknya juga akan angkat kaki di rumah ini, kita tinggal tunggu saja waktunya. Sekarang, setidaknya Papa tidak mempedulikan dia lagi itu sudah cukup memuaskan." Mama Ratih menggenggam tangan anaknya.
"Tapi aku khawatir Papa akan luluh lagi sama dia, Ma. Apalagi setiap hari melihat Laura, dia itu menggemaskan sekali, bisa-bisa Papa tergoda sama anak itu dan mau menerimanya. Aku gak mau Cinta sampai kembali ke posisinya pemimpin perusahaan." Indri tampak geram seiring sebelah tangannya terkepal.
"Itu gak akan terjadi. Mama sendiri yang akan memastikan itu." Mama Ratih berusaha menenangkan anaknya.
"Ya, Mama harus memastikan itu. Jika tidak, kita berdua hanya akan menjadi pajangan di rumah ini." Indri lalu beranjak dari tempat duduknya. "Aku mau temui Papa dulu, ada yang mau aku bicarakan sama Papa," ucapnya lalu mengayun langkah meninggalkan ruang makan.
Papa Haris buru-buru menutup telepon ketika melihat kedatangan Indri. Ia meletakkan ponsel di atas meja, tersenyum pada anak tirinya itu.
"Papa lagi telpon sama siapa?" tanya Indri seraya duduk di samping papa Haris.
"Sama teman. Ngobrol, biasalah udah lama gak ketemu," jawab papa Haris.
"Oh." Indri terdiam sejenak, memikirkan kalimat yang tepat untuk ia sampaikan pada papa Haris.
"Aku sudah pernah cerita, kan, sama Papa, tentang Vano yang sudah hampir dua tahun ini menjalin kerjasama dengan perusahaan kita?"
Papa Haris mengangguk. "Hem, kenapa dengan dia? Apa cara kerjanya tidak profesional?" Papa Haris balik bertanya.
"Enggak, Pa, bukan begitu. Dia sangat profesional, kok."
"Terus, ada apa dengan dia?"
"Vano itu ternyata masih lajang, Pa. Dan ... aku tertarik sama dia." Indri menatap papa Haris dengan penuh harap. Ia yakin sang papa sudah bisa menebak apa keinginannya.
Papa Haris menarik sudut bibirnya tersenyum tipis. "Jadi, apa yang harus Papa lakukan?" tanyanya.
"Em, mungkin Papa bisa dekat dengan orangtuanya Vano terlebih dahulu. Dan... ."
"Oke, Papa paham." Papa Haris tersenyum sambil menggenggam sebelah tangan Indri. "Nanti Papa usahakan, ya."
Indri seketika tersenyum lebar, merasa sangat senang mendapat dukungan dari sang papa. "Terima kasih, Pa. Papa memang yang terbaik." Ia memeluk lengan papanya.
Papa Haris hanya menanggapinya dengan senyuman.
Sementara itu di rumah sakit...
Cinta sudah beberapa kali menghubungi nomor Sean, namun tak ada jawaban. Ia ingin mengucapkan terima kasih karena sudah memindahkan putrinya ke kamar rawat VIP, sekaligus ingin meminta izin untuk tidak masuk kerja selama beberapa hari.
"Kok gak diangkat ya?"
"Gak bakal diangkat. Bos lagi sibuk membujuk pacarnya yang lagi ngambek," kata Vano tanpa melihat kearah Cinta. Pandangannya terus tertuju pada Laura yang tertidur. Semakin ia perhatikan, ia merasa ada kemiripan diantara mereka. Bentuk alis Laura serta hidung dan bibirnya sama persis sepertinya. Mereka berdua juga memiliki lesung pipi. Apakah Cinta tidak menyadari itu?
"Kamu tahu darimana? Memangnya Bos kasih tahu kamu?" tanya Cinta.
"Hem, tadi aku telepon minta Izin gak masuk. Nanti masuk kerjanya bareng kamu aja."
"Huh?" Cinta tercengang. "Stev, jangan bercanda. Kamu bisa dipecat nanti!"
Vano mengulum senyum. "Gak akan di pecat. Tenang aja." Ia beralih menatap Cinta.
"Stev, please kamu masuk kerja. Aku gak mau karena aku, kamu sampai di pecat." Cinta menatap penuh permohonan.
Vano terkekeh. "Iya iya, besok aku masuk kerja. Oh ya, aku pamit pulang ya. Nanti malam aku balik kesini lagi."
"Ok, tapi gak usah nginap. Kamu sudah disini semalaman."
Vano terpaksa mengiyakan. Tapi lihat saja nanti malam, ia tetap akan menginap. Terlalu sayang untuk melewatkan kebersamaan dengan Laura. Jika nanti anak itu sudah diperbolehkan pulang, ia akan sulit untuk bertemu Laura lagi.
Setelah Vano pulang, Cinta merebahkan tubuhnya di bed khusus penunggu pasien. Ia lelah dan mengantuk, badannya juga terasa pegal-pegal sebab semalam tidur dengan posisi duduk. Bersyukur sekarang putrinya telah dipindahkan ke kamar VIP, ia pun bisa beristirahat dengan nyaman.
.
.
.
"Van," panggil papa Azka ketika putranya yang baru saja pulang, melintasi ruang tengah.
Vano berhenti melangkah dan menatap papanya. "Kenapa, Pa?" tanyanya.
"Kesini sebentar."
Vano mengangguk, ia pun menghampiri sang papa dan duduknya di sampingnya.
"Kamu belum mandi?" tanya papa Azka melihat memperhatikan pakaian putranya masih yang semalam.
"Iya, Pa." Vano tersenyum cengengesan.
"Sean gak kasih pinjam kamu baju?" tanya papa Azka lagi.
Vano menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Bingung harus menjawab apa.
Papa Azka menarik sudut bibirnya. "Sejak kapan kamu belajar berbohong? Papa sudah telpon Om Erick, dan dia bilang kamu gak menginap di rumahnya. Semalam Sean pulang sendirian."
Vano terdiam, tak tahu harus mengatakan apa.
"Van, kamu bukan anak kecil lagi. Gak masalah kalau kamu gak pulang. Tapi kenapa harus bohong? Mama kamu pasti kecewa kalau tahu kamu sudah membohonginya."
"Maaf, Pa." Hanya itu yang dapat dikatakan Vano.
"Kemana kamu semalaman?"
Vano pun memberanikan diri menatap sang papa. Ia tahu tidak akan bisa menyembunyikan masalahnya terlalu lama.
"Pa, andai aku melakukan kesalahan. Apa Papa akan memaafkan aku?"
"Tergantung, bagaimana cara kamu memperbaiki kesalahan itu."
...VISUAL ...
...SEAN _ MAURA _ INDRI ...