AVA GRACE sudah berlari terus menerus selama hidupnya. Kejadian 5 tahun lalu membuat mentalnya hancur dan rusak karena perbuatan pria iblis itu. Sudah banyak yang terjadi di kehidupan Ava, yaitu di paksa menikah, di ambil kesuciannya dan juga di paksa untuk mengandung seorang anak.
EVAN VALACHI, pria itu adalah Bos Mafia dengan wajah tampan bagai iblis. Dia selalu memaksa Ava 5 tahun lalu, sehingga pada akhirnya wanita itu hamil di usia 21 tahun.
Hubungan toxic itu tidak bisa di biarkan dan terus berlanjut. Sejak Ava melahirkan putra mereka 5 tahun lalu, Evan mempersilakan Ava pergi sejauh mungkin. Menghapus seluruh hubungan sakit itu, membiarkan Evan yang mengurus putra mereka sendirian.
Tetapi bagaimana jadinya jika Tuhan berkehendak lain?
Mereka kembali bertemu dengan tidak sengaja. Tidak, itu bukan ketidaksengajaan bagi Evan. Pria itu selalu memperhatikan istrinya dari jarak jauh, berusaha membuat putranya mengenal sosok cantik jelitanya sang ibu.
Apa yang akan Ava lakukan dengan kejadian tersebut? Apa dia akan kembali pada pria itu dan hidup bersama putranya, atau pergi sejauh mungkin dari keluarga kecilnya?
Mari kita ikuti kehidupan Ava dan Evan beserta dengan putranya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fasyhamor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menginap di apartemen Mama
Evan dan Ava berjalan beriringan menuju meja makan di pojokan sana.
Kedunya duduk saling berhadapan. Evan memanggil seorang pramusaji untuk memberikan kursi anak kecil supaya bisa di gunakan oleh Noel.
“Aku mau duduk di pangkuan Mama.” pinta Noel.
Evan menatapnya tajam, gelengan kepalanya membuat Noel menelan salivanya.
“Itu tidak sopan, duduk di kursimu sendiri.” pria itu mengangkat tubuh Noel dengan mudah dan mendudukkannya di kursi anak kecil saat seorang pramusaji sudah menaruhnya di meja mereka.
Noel mencebikkan bibirnya kesal.
“Dasar pelit.”
“Itu bukan pelit. Kamu tidak boleh duduk sembarangan saat sedang makan.” Evan menasihati dengan sesabar mungkin.
Ava menahan senyum melihat anaknya yang memanyunkan bibirnya kesal.
“Hanya sekali saja memang tidak boleh?” Noel bertanya pada ayahnya sambil bersedekap dada.
Evan mengangkat alisnya, anaknya benar-benar keras kepala sekali. Mata pria itu beralih dari putranya ke wanita di hadapannya.
“Kamu lihat itu, Ava? Dia sama keras kepalanya sepertimu.” ucap Evan pada Ava.
Ava menoleh kaget karena namanya tiba-tiba saja di sebut.
“Aku?” tanya wanita itu dengan tatapan polos.
Evan menahan tawa dan senyumnya, lalu menggeleng pelan. Tangannya meraih kain putih untuk di taruh di leher Noel supaya saat makan, makanannya tidak jatuh dan berantakan.
Ava mencebik kesal melihat Evan yang tidak menjawab pertanyaannya, dia mengalihkan tatapannya kearah menu di tangannya.
“Apa yang kamu pesan?” tanya Evan penasaran setelah selesai menaruh kain tersebut.
“Aku….tidak tahu. Kamu tidak ingin memesankannya untukku? Seperti beberapa tahun lalu?” tanya Ava, mendongak dan membalas tatapan Evan.
Evan mengerjap pelan. “Kamu bebas memesan makananmu.”
Ava mendengkus dan kembali menunduk untuk membaca menu di tangannya.
“Aku pesan spaghetti dan cola.” Ava membuka suara setelah lamanya membaca menu tersebut.
Seorang pramusaji yang sedari tadi berdiri di belakang mereka mengangguk dan menulis pesanan makanan pelanggannya.
“Aku ingin burger!” Noel mengucapkannya dengan riang.
Evan tersenyum dan mengatakan pesanan makanan untuk dirinya dan juga untuk Noel. Pramusaji itu mengangguk dan pergi menuju dapur.
“Apa kamu tidak tidur lagi?” Ava membuka percakapan, matanya menatap lekat pada bawah mata Evan yang terlihat menggelap, sama seperti beberapa hari lalu.
Evan menyentuh bawah matanya. “Ya, aku sulit untuk tidur dengan tenang selama ini.”
Ava mendengkus di dalam hati.
“Kamu mempunyai mimpi buruk?” tanya Ava.
Evan menatap lekat wajah cantik istrinya. Semakin bertambahnya tahun, semakin cantik juga wajah istrinya. Ava terlihat semakin dewasa.
“Kita sama-sama memiliki mimpi buruk.” jawab Evan pelan.
Ava tersenyum miring. “Tapi mimpi burukku itu kamu, Evan.”
“Haruskah kita bertengkar sekarang? Di depan putra kita?” Evan menatap menantang pada wanita itu.
Ava mengembuskan napas panjang dan mengalihkan tatapannya ke arah putranya yang sedang menatap bergantian pada ayah dan ibunya.
“Apa yang mama dan papa bicarakan?” tanya Noel dengan tatapan penasaran, kakinya yang pendek terlihat mengayun-ayun.
Ava tersenyum melihat putranya, tidak menyangka dia bisa melahirkan anak selucu Noel.
“Ini pembicaraan orang dewasa.” Evan menjawabnya, merapihkan rambut Noel yang terbang terkena kipas.
“Apa kalian bertengkar?” Noel bertanya dengan takut, tangannya yang kecil memutar-mutar sendok.
“Tidak, sayang. Kita tidak bertengkar.” jawab Ava, memaksakan senyum lebar pada Noel.
Noel semakin riang mengayunkan kedua kakinya. Senyum lebarnya tidak luntur sedikitpun.
Dua orang pramusaji datang membawa nampan berisi makanan mereka bertiga. Noel menatap senang melihat makanan kesukaannya.
“Yeay, burger!”
Evan menaruh burger itu di piring lain dan memotongnya menjadi kecil, lalu menaruh sebagin burger itu keatas piring Noel.
“Makanlah pelan-pelan.” Evan mengingatkan.
Ava mengangkat garpunya dan memakan spaghettinya, sesekali dia membersihkan mulut putranya yang kotor terkena makanannya.
Ava terperanjat kaget ketika menatap ibu jari Evan yang tiba-tiba saja menyentuh sudut bibirnya. Matanya melotot tajam kearah pria itu.
“Kamu sama seperti Noel, cara makanmu selalu berantakan.” Evan menjawab keterkejutan Ava.
Wanita itu memundurkan kepalanya, membuat ibu jari Evan tidak lagi menyentuh sudut bibirnya. Ava segera meraih serbet dan mengelap kotoran yang mengenai sudut bibirnya dengan kasar.
Noel tiba-tiba saja terkekeh geli menatap ibu dan ayahnya.
“Mama sama sepertiku, makan dengan berantakan.” Noel membeo.
Ava menjadi malu, kedua pipinya memerah karena Evan dan Noel seperti sedang mengejeknya.
Evan ikut tertawa ringan mendengar kekehan geli putranya, tangannya naik mengusap puncak kepala Noel.
“Berhenti tertawa dan habiskan makananmu, Noel.” ucap Evan.
Noel mengangguk semangat, dia kembali memakan makanannya.
•
•
Acara makan bersama itu selesai pukul 6 sore. Ava kembali menggendong Noel menuju mobil dengan Evan yang berjalan di sebelahnya. Mobil hitamnya terparkir di seberang restoran dan mereka harus menyeberang terlebih dahulu.
Evan merangkul pinggang Ava selama mereka menyeberang jalanan, membuat wanita itu menegang seketika. Perpisahan mereka sudah terjadi selama lima tahun, dan sekarang mereka kembali bertemu. Jika Evan terus berusaha untuk menyentuhnya seperti ini, membuat Ava di liputi perasaan yang aneh.
Evan membukakan pintu untuk Ava dan mempersilahkan wanita itu untuk masuk terlebih dahulu, setelahnya pria itu masuk ke dalam sambil menutup pintu.
“Apa Mama akan ikut pulang kerumah kita?” Noel bertanya, menatap bergantian pada ayah dan ibunya.
“Tidak….aku harus pulang ke apartemenku sendiri.” Ava menjawab duluan sebelum Evan dapat menjawab.
Noel memanyunkan bibirnya sedih.
Ava ikut merasa sedih melihatnya.
“Kita bisa bertemu lagi, Noel.” Ava mengatakannya sambil memangku putranya, sama seperti saat mereka berangkat menuju restoran.
“Antar kami ke apartemen Lily.” Evan mengatakannya pada sang supir yang duduk di kursi pengemudi.
Noel masih menunjukkan raut sedih, beberapa tetes air mata jatuh membasahi pipinya.
“Jangan menangis, Noel. Kamu masih bisa bertemu ibumu lagi.” Evan membawa kepala putranya untuk mendongak kearahnya dan mengusap air mata bocah itu.
“Bolehkah kita menginap di rumah Mama?” pinta Noel, bola matanya berair, bocah itu berusaha menunjukkan raut lucu supaya ayah dan ibunya mau menuruti keinginannya.
Evan menatap Ava, meminta jawaban untuk pertanyaan putra mereka.
Ava berdeham sejenak sebelum menjawab, “ya, tentu saja boleh.” wanita itu tersenyum manis pada Noel yang sekarang sudah tidak lagi bersedih dan terlihat senang.
•
•
Mereka menempuh waktu belasan menit, hari semakin malam dan langit semakin gelap.
Keduanya keluar dari mobil. Ava berjalan di sebelah Evan yang sedang menggendong Noel yang sudah tertidur nyaman.
Sesampainya di apartemennya, Ava segera membuka pintu kamarnya dan membiarkan Evan untuk menidurkan Noel di kasurnya, sama seperti beberapa hari lalu.
“Aku akan tidur di sofa ruang tamu.” celetuk Evan setelah menaruh tubuh Noel berbaring di kasur.
Ava berdiri canggung di kamarnya sendiri, sekarang hanya ada dirinya dan pria itu.
“Sofaku kecil.” jawab Ava.
“Tidak masalah.”
Evan berjalan keluar dari kamar, Ava mengikutinya untuk keluar dari kamar menuju dapur guna meminum air dingin. Matanya melirik sosok Evan yang sedang merebahkan tubuh tinggi dan besarnya pada sofa kecil itu, bahkan kakinya saja harus melayang menyentuh tembok.
“Evan, lebih baik kamu tidur di kamarku saja.” wanita itu berjalan menuju ruang tamu dan berdiri disebelah sofa.
Evan membuka kedua matanya yang sebelumnya terpejam.
“Mana mungkin kamu mau tidur dengan pria iblis sepertiku?” tanya Evan.