NovelToon NovelToon
Waiting For You 2

Waiting For You 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Hamil di luar nikah / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Keluarga
Popularitas:910
Nilai: 5
Nama Author: Uppa24

novel ini adlaah adaptasi dari kelanjutan novel waiting for you 1

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

masa lalu?

Di dalam rumah, Alvio berdiri di ambang pintu ruang baca, menatap ibunya yang menangis. Meski ia masih kecil, ia tahu bahwa perasaan besar sedang terjadi di antara dua orang dewasa itu. Dengan langkah kecil, ia mendekati ibunya dan memeluknya tanpa berkata apa-apa.

Elena merangkul putranya erat-erat, menyadari bahwa selama ini Alvio adalah alasan terbesar baginya untuk terus maju.

"Aku janji, Vio... Ibu akan tetap menjaga dunia kita tetap aman," bisik Elena. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa dunia itu sedang retak, sedikit demi sedikit, di hadapan matanya.

...~||~...

Pagi berikutnya, Elena memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan Alvio di taman privat yang berada di dekat rumah. Ia merasa perlu mengalihkan pikirannya dari kejadian malam sebelumnya. Mengenakan gaun santai berwarna krem, ia menggenggam tangan kecil Alvio sambil berjalan di antara pohon-pohon yang menjulang. Suara burung-burung pagi terdengar jelas, seolah menenangkan pikirannya yang bergolak.

"Ibu, apa Ibu kenal pria yang datang tadi malam?" tanya Alvio tiba-tiba, memecah keheningan.

Langkah Elena terhenti sejenak. Ia menatap Alvio, memikirkan bagaimana cara terbaik menjawab pertanyaan polos itu tanpa menambahkan beban pada pikiran kecil putranya. "Hanya seseorang dari masa lalu, sayang," jawab Elena dengan senyum lembut yang sedikit dipaksakan.

"Masa lalu?" Alvio mengulang, alisnya mengerut seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kenapa dia kelihatan sedih?"

Elena tertegun. Pengamatan Alvio yang tajam terkadang membuatnya lupa bahwa di balik wajah polos itu terdapat kecerdasan yang luar biasa. Ia berjongkok hingga sejajar dengan putranya, lalu menggenggam kedua tangan Alvio. "Terkadang, orang dewasa punya banyak hal yang sulit dijelaskan, Vio. Tapi yang terpenting, kamu tidak perlu khawatir. Ibu akan selalu ada untukmu," ucap Elena dengan suara tenang, meskipun dalam hatinya ia merasakan kekhawatiran yang besar.

Alvio mengangguk, meskipun wajahnya masih tampak ingin tahu. "Aku juga akan selalu ada untuk Ibu," katanya dengan tulus, membuat Elena memeluknya erat-erat.

Namun, suasana damai mereka segera terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Elena berbalik dan melihat Pak Jen berjalan tergesa-gesa ke arah mereka.

"Maaf mengganggu, Nona Elena," katanya dengan nada resmi, meskipun ada kekhawatiran di wajahnya. "Ada seseorang yang ingin bertemu Anda. Ia mengatakan ini penting."

Elena merasakan hatinya berdebar kencang. Tanpa perlu bertanya, ia sudah tahu siapa orang yang dimaksud.

...~||~...

Di ruang tamu, Aidan berdiri sambil menatap hiasan interior rumah yang mewah. Tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku celana, sementara wajahnya penuh dengan ekspresi serius. Ia mendengar langkah-langkah mendekat, lalu melihat Elena masuk ke ruangan bersama Alvio, yang menggenggam erat tangan ibunya.

"Apa yang kau inginkan kali ini, Aidan?" tanya Elena langsung, nadanya tegas namun terkontrol.

Aidan menatap Alvio sejenak, lalu kembali memusatkan perhatian pada Elena. "Kita perlu bicara, Elena. Tapi tanpa anak kita."

Kata "anak kita" membuat Elena mendadak menegang, tetapi ia tidak menunjukkan emosinya di depan Aidan. "Apa yang kau katakan tidak ada hubungannya dengannya," balas Elena, menarik Alvio lebih dekat.

Namun, Alvio yang merasa dirinya menjadi pusat perhatian, memandang Aidan dengan penuh rasa ingin tahu. "Apakah kau pria di mimpiku?" tanya Alvio tiba-tiba, membuat Elena dan Aidan sama-sama terkejut.

Aidan menatap bocah itu dengan raut wajah lembut yang tidak sering terlihat darinya. "Mungkin saja," jawabnya sambil tersenyum kecil.

Elena menarik napas panjang dan berkata dengan suara tenang, "Vio, sayang, bisakah kamu bermain di taman sebentar? Ibu akan menyusul setelah ini."

Meskipun ragu, Alvio mengangguk. "Baik, Ibu. Tapi jangan lama-lama," katanya sebelum berlari kecil keluar dari ruangan, meninggalkan mereka berdua.

Setelah memastikan Alvio sudah cukup jauh, Elena menatap tajam ke arah Aidan. "Apa kau gila? Menghadapi Alvio begitu saja tanpa persetujuanku?"

"Aku tidak berniat melukai siapa pun, Elena," jawab Aidan dengan nada yang lebih tenang, tetapi matanya menunjukkan keteguhan. "Tapi aku tidak bisa terus dikecualikan dari hidup anakku."

Elena tertawa sinis. "Anakmu? Beraninya kau mengklaim sesuatu yang bahkan kau tidak pernah tahu? Kau tidak ada saat aku membutuhkannya, Aidan. Kau tidak tahu apa yang harus kuhadapi untuk melindungi Alvio."

Aidan menggertakkan giginya, merasa terpojok oleh ucapan Elena. "Kau tidak memberiku kesempatan untuk tahu!" ia balas dengan nada lebih tinggi, sebelum menarik napas untuk menenangkan dirinya. "Aku tidak di sini untuk bertengkar, Elena. Aku hanya ingin berada di kehidupan anak itu. Dia memiliki hak untuk mengenal ayahnya."

Elena menggenggam sandaran kursi, berusaha menjaga dirinya tetap tenang. "Ini bukan hanya tentang hakmu, Aidan. Ini tentang keselamatan Alvio. Dunia ini penuh dengan kekacauan, intrik, dan ancaman. Jika kau mulai mengklaim bahwa dia adalah anakmu, itu akan membuka pintu bagi masalah yang lebih besar."

Aidan melangkah lebih dekat, meskipun masih menjaga jarak. "Aku bersedia mengambil risiko itu," katanya dengan tegas. "Apapun yang terjadi, aku akan melindungi dia—dan kau."

"Ini bukan tentang keberanianmu mengambil risiko, Aidan," kata Elena dingin. "Ini tentang memastikan anakku tidak menjadi alat untuk kekuatan atau dendam orang lain. Alvio adalah segalanya bagiku, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun—bahkan kau—merusaknya."

Suasana tegang meliputi ruangan. Aidan menyadari bahwa Elena tidak akan menyerah begitu saja. Namun, ia juga tahu bahwa perjuangannya tidak akan berhenti di sini.

"Kau bisa membenciku seumur hidupmu, Elena. Tapi aku akan tetap mencari cara untuk membuktikan bahwa aku layak berada di sisi Alvio," katanya akhirnya, sebelum berbalik dan pergi meninggalkan ruangan.

Setelah kepergian Aidan, Elena masih berdiri di ruang tamu dengan tatapan kosong. Kata-kata terakhirnya terus terngiang di benaknya. Ia merasa marah, tapi di balik amarah itu ada sebuah celah kecil di hatinya—celah yang mengingatkannya pada masa-masa ketika ia masih percaya pada cinta dan masa depan yang bahagia.

Namun, saat ini bukan saatnya untuk larut dalam nostalgia. Ia memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar: memastikan Alvio tumbuh tanpa terluka oleh masa lalunya.

Elena menarik napas panjang, berusaha menenangkan gejolak dalam dirinya. Ia kemudian berjalan keluar menuju taman, tempat di mana Alvio tengah bermain. Dari kejauhan, ia melihat putranya duduk di atas ayunan kecil, kakinya bergerak maju-mundur perlahan. Senyum lembut muncul di wajah Elena saat melihat Alvio mencoba melupakan kerisauan dengan menikmati pagi yang cerah.

"Ibu sudah selesai?" tanya Alvio saat Elena mendekat.

Elena mengangguk, lalu duduk di bangku taman dekat ayunan. "Ya, sayang. Kau menikmati waktumu di sini?"

Alvio mengangguk kecil. Tapi kemudian, ekspresi serius menghiasi wajah mungilnya. "Pria tadi... apakah dia orang yang penting untuk kita, Bu?"

Pertanyaan itu menusuk hati Elena. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus menghindar, tapi memberi jawaban yang tepat untuk seorang anak tiga tahun juga bukan hal mudah.

"Dia..." Elena memulai dengan hati-hati, "dia seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa lalu Ibu, Vio. Tapi untuk saat ini, dia bukan bagian dari hidup kita."

"Kenapa?" tanya Alvio dengan polos, matanya yang tajam menatap langsung ke arah Elena.

Elena menelan ludah. "Karena kadang, beberapa orang dari masa lalu tidak bisa kembali menjadi bagian dari masa kini. Itu demi kebaikan semua orang."

Alvio terdiam, seolah mencerna kata-kata ibunya. Meski begitu, pikiran kecilnya terus bekerja. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya penasaran—sesuatu yang membuatnya merasa terhubung.

"Ibu," kata Alvio akhirnya, "apa aku pernah bertemu dia sebelumnya?"

Elena terguncang. Seolah bocah kecil itu dapat melihat jauh lebih dalam daripada yang diinginkannya. Tapi ia menutupi kegugupannya dengan senyum tipis. "Tidak, sayang. Itu mungkin hanya perasaanmu saja."

Namun, Alvio belum menyerah. "Kalau begitu, kenapa rasanya dia mengenalku?"

Elena merasa seperti berada di ujung jurang. Setiap pertanyaan dari putranya adalah jaring yang menahannya dari mengatakan kebenaran, tapi ia tahu bahwa Alvio terlalu pintar untuk dibiarkan dalam ketidakpastian.

Ia meraih tangan kecil Alvio dan menggenggamnya erat. "Vio, yang terpenting adalah kau tahu bahwa Ibu mencintaimu. Apapun yang terjadi, Ibu akan selalu ada untukmu. Kau adalah alasan Ibu untuk bertahan."

Alvio mengangguk, meskipun ia masih menyimpan rasa penasaran. Baginya, jawaban Elena bukanlah akhir, melainkan awal dari pencarian baru. Dalam hatinya, ia bertekad untuk memahami lebih jauh tentang siapa pria itu dan apa artinya bagi dirinya dan ibunya.

Di sisi lain, Aidan telah kembali ke mobilnya. Ia duduk di kursi kemudi, memandang kosong ke arah jalan yang membentang di depannya. Percakapan dengan Elena tadi masih terngiang di benaknya. Ia tahu bahwa wanita itu masih menyimpan luka yang dalam, tetapi ia juga yakin ada sesuatu yang lebih besar yang dirahasiakan darinya.

"Alvio..." gumam Aidan pelan, namanya meluncur seperti mantra. "Dia bukan hanya sekadar anak biasa. Aku bisa merasakannya."

Aidan tahu dia harus bertindak cepat untuk mendapatkan jawaban. Dia tidak ingin melukai Elena atau Alvio, tetapi haknya sebagai seorang ayah tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan pikiran yang dipenuhi oleh berbagai kemungkinan, Aidan mengambil teleponnya dan menghubungi seseorang.

"Mulai selidiki kehidupan Elena selama beberapa tahun terakhir," perintahnya kepada orang di seberang telepon. "Aku perlu tahu semuanya, terutama tentang anak itu."

Di sisi lain telepon, suara serak laki-laki menjawab, "Saya akan melakukannya segera, Tuan Aidan."

Aidan menutup telepon dan memejamkan matanya. Ia sadar bahwa apa yang akan ia lakukan mungkin akan membuka luka yang lebih dalam, tetapi ia merasa tidak memiliki pilihan lain. Jika Alvio benar-benar anaknya, maka ia tidak akan menyerah begitu saja.

...~||~...

Malam itu, Elena berbaring di tempat tidur sambil memandang langit-langit. Rasanya seperti semua dinding perlindungannya yang ia bangun selama bertahun-tahun mulai runtuh. Kehadiran Aidan membuka kembali luka-luka lama yang ia pikir sudah ia sembuhkan.

Tapi ia tidak bisa menunjukkan kelemahan. Tidak di depan Alvio.

Sementara itu, di kamarnya sendiri, Alvio duduk di tepi tempat tidur dengan laptop kecilnya terbuka di depan. Dia telah mempelajari sesuatu yang menarik dari sistem keamanan di rumah mereka—video singkat dari pertemuan antara Elena dan Aidan di aula perjamuan beberapa hari lalu.

Matanya menatap tajam ke layar, menganalisis setiap ekspresi, setiap gerak-gerik. "Aku tahu ada yang lebih dari ini," gumamnya. "Dan aku akan mencari tahu."

Alvio mungkin baru tiga tahun, tapi dia sudah memutuskan satu hal: dia tidak akan membiarkan ibunya menanggung segalanya sendirian. Jika Aidan benar-benar memiliki hubungan dengan mereka, maka dia harus membuktikannya—dan dia akan memastikan bahwa apa pun yang terjadi, Elena tetap menjadi prioritas utama.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!