Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nona Eriva Benci Bunga Suka Coklat
Bab 2
Gedung megah dengan arsitektur modern itu berdiri gagah di pusat kota. Para pelaku bisnis dari berbagai penjuru negeri memenuhi aula utama. Hari itu, digelar Simposium Keberlanjutan Bisnis Global, sebuah acara akbar yang dinanti-nantikan.
Acara ini menjadi panggung besar bagi para pengusaha untuk berbagi wawasan, menjalin kemitraan, dan memperkenalkan inovasi terbaru. Namun, semua mata tidak hanya tertuju pada pembicaraan bisnis hari itu. Ada kabar bahwa Kakek Surya Pradhana, pemimpin legendaris Perguruan Jagat Pradhana, akan hadir bersama cucu perempuannya yang misterius.
"Kakek, apa aku sanggup?" tanya gadis anggun, yang sedang gelisah di dalam mobil mewah.
"Kamu pasti bisa, Nak. Kamu adalah cucu dari perguruan Jagat Pradhana. Tidak ada ketakutan dalam bentuk apa pun dalam diri kita."
Gadis itu mengangguk mantap, ini pertama kalinya dia mengikuti perkumpulan besar dunia bisnis, yang kelak menggantikan posisi Kakeknya.
Ketika pintu besar aula dibuka, suasana yang semula ramai langsung berubah hening. Karpet merah digelar sempurna, dan dari balik pintu muncul Kakek Surya Pradhana. Ia pria tua dengan postur tegap dan janggut putih yang melambangkan kebijaksanaan. Mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang terlihat mahal, auranya memancarkan wibawa luar biasa. Di sampingnya, seorang gadis muda dengan gaun panjang berwarna biru safir berjalan anggun.
Gadis itu adalah Eriva. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai dengan hiasan tiara kecil bertatahkan berlian yang bersinar lembut di bawah lampu kristal aula. Gaun birunya membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan siluet anggun yang memukau. Perhiasan kalung zamrud yang menggantung di lehernya menambah kesan elegan. Namun, meski terlihat lembut dan tenang, tatapan matanya menyiratkan ketegasan.
Para tamu undangan berdiri memberikan penghormatan, membungkukkan badan saat Kakek Surya melangkah masuk, diiringi pengawalnya yang berjubah hitam. Bisik-bisik kekaguman terdengar di antara kerumunan.
“Cantik sekali gadis itu,” ujar seorang tamu wanita dengan decak kagum.
“Dia tidak hanya cantik, tapi juga pewaris dari salah satu perguruan paling berpengaruh. Masa depan dunia bisnis ada di tangannya,” balas pria di sebelahnya.
Ketika keduanya hampir mencapai tengah aula, langkah Eriva mendadak terhenti. Ia menoleh ke sekeliling dengan raut wajah tak nyaman. Mata tajamnya tertuju pada dekorasi bunga-bunga yang memenuhi sudut ruangan.
Dengan suara lembut namun penuh kewibawaan, ia berkata, “Aku tidak suka bunga-bunga itu ada di sini. Tolong bersihkan segera.”
Tidak ada nada arogan dalam ucapannya, tetapi perintah itu terasa mutlak. Orang-orang yang bertugas langsung bergegas. Beberapa pria dengan setelan hitam segera mengangkut dekorasi bunga keluar dari aula, sementara sisanya sibuk memastikan ruangan kembali rapi.
Samir, yang berdiri di dekat pintu masuk, mengamati kejadian itu dengan alis terangkat.
“Aneh sekali, gadis anggun seperti ini tidak suka bunga? Tapi perintahnya membuat semua orang bergerak. Siapa sebenarnya gadis ini?” gumamnya pelan.
Tak lama kemudian, Tuan Gunawan, salah satu pengusaha paling berpengaruh di kota itu, bersama istrinya maju untuk menyambut Kakek Surya dan Eriva. Mereka membungkukkan badan dengan hormat.
“Guru Besar Surya, sungguh suatu kehormatan besar bagi kami menerima kedatangan Anda,” kata Tuan Gunawan dengan nada penuh penghormatan.
“Dan tentu saja, cucu Anda sangat cantik. Saya hampir tidak percaya bisa bertemu dengan wanita semenarik dirinya,” tambah istrinya sambil tersenyum manis ke arah Eriva.
Eriva menanggapi dengan senyum tipis dan anggukan kecil, tetap menjaga sikapnya yang anggun.
Acara pun dimulai. Pembicaraan serius tentang strategi bisnis dan peluang investasi mengisi waktu. Kakek Surya memberikan pidatonya, yang dipenuhi kebijaksanaan tentang pentingnya integritas dalam dunia bisnis. Para tamu mendengarkan dengan seksama, terkesima oleh kepiawaiannya.
Namun, di sudut ruangan, Tuan Gunawan tampak gelisah. Ia melirik ke arah Samir dengan wajah memerah.
“Samir!” panggilnya, nadanya keras namun tertahan agar tidak menarik perhatian.
Samir mendekat dengan hati-hati. “Ada apa, Om Gunawan?”
“Di mana Diaz? Mengapa dia tidak hadir di acara sepenting ini? Apa dia tidak tahu betapa krusialnya kehadirannya hari ini?” suara Tuan Gunawan naik setingkat.
“Dia… dia sedang ada urusan mendesak, Om” jawab Samir dengan ragu, berusaha mencari alasan yang terdengar masuk akal.
“Urusan mendesak? Apa yang lebih mendesak dari acara ini?!” Tuan Gunawan mendesis.
Samir hanya menunduk, tidak ingin memperkeruh suasana.
Untungnya, saat itu Paman Hanavi datang membawa nampan berisi cangkir-cangkir cokelat panas. Ia tahu bahwa cokelat adalah kelemahan Tuan Gunawan, terutama di saat emosinya sedang meluap-luap.
“Minum dulu, Tuan Gunawan. Ini cokelat hangat favoritmu,” ujar Paman Hanavi sambil menyodorkan secangkir cokelat.
Tuan Gunawan menghela napas panjang, mengambil cangkir itu, dan menyeruputnya perlahan. Raut wajahnya mulai melunak.
Di sisi lain aula, Eriva mencium aroma cokelat yang menguar. Matanya berbinar, dan ia berbisik lembut pada kakeknya, “Kakek, aku ingin cokelat juga.”
Kakek Surya menoleh ke arah pengawal di belakangnya. “Berikan segelas cokelat panas untuk cucuku” perintahnya.
Sang pengawal beranjak mendekati paman Hanavi, menyampaikan apa kata Kakek Surya. Paman Hanavi melangkah menuju keberadaan Kakek Surya dan Eriva.
"Nona, anda menginginkan coklat ini? Silakan." Paman Hanavi memberikannya dengan sopan.
"Eh, tidak, tidak. Maaf, kala ada, aku ingin coklat yang belum diseduh." Eriva berkata sangat sopan pada Hanavi.
Paman Hanavi merasa heran, "Em, maksud anda coklat, makanan coklat? Seperti batangan coklat?" tanya Paman Hanavi memastikan.
"Benar. Apakah ada?" tanya Eriva dengan lembut.
"Ada, Nona. Tentu saja ada. Sebentar saya ambilkan." Paman Hanavi begitu senang bisa memberikan apa yang cucu Guru besar inginkan.
Samir yang memperhatikan dari kejauhan merasa sesuatu mencuat di benaknya. "Dia tidak suka bunga… tapi dia suka cokelat. Gadis ini, ada sesuatu yang familiar tentangnya."
Samir terus memperhatikan Eriva. Dia jadi teringat pada Diaz. Apakah ini wanita yang dimaksud? Tapi mengapa dia cucu dari seorang tokoh besar?
Samir melihat pada Papanya Diaz, kemudian mendekat dan bertanya dengan lirih. "Om, aku mau tanya sesuatu."
"Katakan," jawab Tuan Gunawan, dengan secangkir coklat masih ada di tangannya.
"Nona itu, apakah cucu Guru Besar sungguhan?"
"Apa maksudmu? Apa kau pikir ada cucu palsu?" Tuan Gunawan sedikit tidak suka dengan pertanyaan sahabat dari putranya ini.
"B-bukan begitu maksudku, Om. Soalnya selama ini, dalam beberapa pertemuan, Nona itu tidak pernah ikut serta, tapi kali ini ...." Samir menjelaskan dengan hati-hati, dia takut salah bicara.
"Ya, Nona Eriva tentu cucu kandung dari perguruan Jagat Pradhana. Dia baru menginjak usia 25 tahun, di mana usianya itu sudah dianggap matang dan layak terjun ke dunia bisnis, menggantikan Kakek Surya," papar Tuan Gunawan. "Memangnya, ada apa kau bertanya seperti itu?" lanjutnya.
"T-tidak Om. Saya hanya kagum saja," ucap Samir. Dia buru-buru pergi, takut lebih salah berkata-kata.
Samir berpapasan dengan Paman Hanavi yang hendak memberikan sebatang coklat pada Nona Eriva.
"Paman, biar aku saja yang memberikan," pinta Samir.
Paman Hanavi diam sejenak, "Maaf Tuan, izinkan saya yang memberikan langsung," ucap Paman Hanavi, langsung berlalu dari hadapan Samir.
Kening pemuda berwajah cukup tampan itu berkerut. 'Ada apa ini? Kenapa karisma Nona Eriva begitu kuat. Hingga Paman Hanavi pun sepertinya tidak menyia-nyiakan momen untuk lebih dekat dengan Nona ini,' batin Samir.
"Aku harus hubungi Diaz. Biar aku foto Nona itu," gumam Samir.
Dia berjalan agak jauh, mencari tempat supaya tidak terlihat saat mengabadikan Nona Eriva.
"Sebentar, aku video saja. Biar Diaz bisa lihat dengan jelas Nona ini."
Bersambung...